Posts

Showing posts from August, 2020

A TROUBLE SHOOTER

A trouble shooter artinya seorang pemecah masalah dalam bahasa Indonesianya. Artinya orang yang tidak betah bersahabat dengan masalah. Artinya orang yang suka mencari solusi. Bukan membuat polusi. Bukan pembuat persoalan. Seorang pemecah masalah bukan berarti tidak punya masalah. Mungkin justru orang yang paling banyak dirundung masalah. Sebab setiap insan yang masih hidup di dunia pasti menemui masalah dalam hidup. Hidup yang dijalani sehari-hari. Seorang pemecah masalah tidak mau hidupnya dililit masalah. Orang yang bermasalah atau tanpa masalah pasti ada saja masalah. Hidup memang senantiasa berhadapan dengan masalah. Maka dia menjadi pemecah masalah. Bagaimana seorang pemecah masalah menyikapi masalah yang dihadapi? Pertama tidak tergopoh-gopoh menggocohnya. Tidak juga meremehkan sekalipun hal remeh temeh yang dihadapi. Dia akan mengamati dengan kacamata ketenangan. Sekali lagi, tidak tergopoh mengeksekusi. Tidak tergopoh menyimpulkan. Dia akan berusaha melihat dari segala

EUREKA!

Aku diminta oleh Abner Bangu Radjah untuk menggantikannya mengajar di SMA Tunas Karya. Dia selain teman juga adalah kakak kelas di FPOK. Aku diminta untuk menggantikannya mengajar Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Olahraga. Ini dilakukannya karena ia harus meninggalkan Jakarta. Ia akan kembali ke kampungnya di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur karena ada suatu urusan keluarga. SMA Tunas Karya berlokasi di Jalan Pelepah Kuning III Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara. Bila dari pintu gerbang utama Pulomas ke arah mall Kelapa Gading maka ia berada di sudut bundaran sebelum berbelok ke jalan Yos Sudarso. Di sekolah ini pernah tercatat tergabung Prof. Kebamoto sebagai salah seorang guru. Waktu itu ia sedang menyelesaikan program strata satunya dari jurusan Fisika UI. Sebelumnya ada Prof. Yohanes Surya yang merupakan ikon olimpiade fisika Indonesia saat ini. Aku diminta menggantikan mengajar di sekolah ini pada akhir tahun ajaran delapan enam delapan tujuh. Saat itu aku seda

TRAGEDI GROGOL

Aku mulai mengajar ketika usiaku menginjak sebilan belas tahun. Pada waktu itu aku baru memasuki semester lima di FPOK-IKIP Jakarta. Tepatnya pada bulan Juli. Awal tahun ajaran delapan lima delapan enam. Ini merupakan awal karir keguruanku. Aku mengajar dengan alasan: (1) mencari pengalaman sebelum lulus, dan (2) karena aku membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Waktu itu aku ditawari oleh Drs. Abner Bangu Radjah untuk menggantikannya. Abner adalah kakak kelasku sejak di SGON Kupang dan di kampus FPOK-IKIP Jakarta. Ia sendiri mengajar Penjaskes (Pendidikan Jasmani dan Kesehatan) di SMPK 2 Penabur yang beralamat di jalan Pembangunan, Jakarta Barat. Lokasinya di samping gedung Gajah Mada Plaza. Kemudian ia pindah ke SMPK Penabur Sun Rise, Jakarta Barat. Dan terakhir sampai pensiun di SMPK Penabur Gading Serpong, Tangerang, Banten. Bung Abner, demikian aku memanggilnya pensiun tahun dua ribu sembilan belas.  Tempatku mengajar berlokasi di Teluk Gong, Jakarta Barat. Tempat tinggal

RAU KATTU (Bagian III: Jadi Tamu di Ammu Keppue)

Kami berenang dengan ikan besi membelah gelombang samudera selama dua belas jam kurang lebih. Akhirnya kami pun berarak dari dalam perut kapal setelah ia merapat bersandar di dermaga Seba, Sabu. Kami menginjak tanah Sabu pada hari Jumat tanggal 21 Agustus 2020 jam 08.30 wita. Sebelum meninggalkan dermaga, kami harus disemprot desinfektan dan mencuci tangan. Ini adalah prosedur standar protokol kesehatan masa covid-19. Sesudah itu kami menuju Luibali Mehara, Sawu yang berada di bagian barat pulau. Kami perlu beberapa jeda mempersiapkan kendaraan dan membagi kelompok keberangkatan. Sekali lagi kami beriring dengan tiga mobil yang mengangkut rombongan. Kendaraan paling depan dikemudikan oleh Mone Ama . Mobil yang di dalamnya ada Rau Kattu dan beberapa pendamping. Kedua mobil lainnya hanya dibolehkan menyertai mengiring di belakang. Mereka, kedua mobil pengiring itu tidak diperkenankan mendahului kendaraan yang membawa Rau Kattu . Tindakan itu sebagai penghormatan kepada mendiang. I

RAU KATTU (Bagian II: Keberangkatan)

Ketemu lagi dengan saya, pembaca yang terhormat, setelah tidak tayang beberapa saat. Kali ini saya akan meneruskan cerita tentang Rau Kattu . Yaitu tentang keberangkatan. Proses membawa mengantarnya yang dilaksanakan di hari Kamis tanggal 20 Agustus 2020. Proses Pengambilan/Penjemputan Mendiang Leonarnd Djami dengan nama Sabunya Lakki Jira selama hidupnya berdomisili di Raknamo. Sebuah kampung di sebelah Timur Kupang yang terkenal karena Bendungannya yang keren dan besar. Bendungan Raknamo yang mendunia yang diresmikan awal Desember 2017 oleh Presdiden Joko Widodo. Sedangkan para penjemput yang datang dari Mehara, Sabu sementara berada di Kupang. Maka mereka harus ke rumah mendiang untuk mengambil Rau Kattu -nya yang pada tulisan pertama sudah saya uraikan tentang isinya . Namun agar ceritanya mengalir, perkenankan saya menungkapkannya kembali. Pada uraian sebelumnya tentang persiapan telah saya jelaskan bahwa kotak atau wadah Rau Kattu yang akan dibawa ke Luibali Mehara, Sa

RAU KATTU (Bagian I: Persiapan)

Hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020 adalah pertemuan persiapan yang ketiga. Persiapan terakhir sebelum berangkat membawa Rau Kattu ke Sabu. Pertemuan pertama dan kedua telah dilaksanakan beberapa hari sebelumnya. Pertemuan pertama hanya khusus di lingkup keluarga yang berduka. Pembahasannya adalah persiapan apa saja yang harus dibawa ke Sabu. Bawaan yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan upacara Rau Kattu itu. Pertemuan kedua adalah pertemuan yang melibatkan kerabat yang lebih luas. Dan dalam pertemuan itu, Mone Ama yang memimpin dan mengarahkan acara dimaksud. Ia akan menanyakan dan meneliti segala persiapan yang telah dilakukan. Apakah sudah sesuai dengan yang dimintakan atau tidak. Dan seterusnya. Mone Ama adalah orang yang dituakan dalam sebuah klen atau keluarga Sabu. Ia adalah sesepuh, seseorang yang memiliki kharisma kepemimpinan dan pengaruh yang kuat. Dalam hal ini, klen Djami dikomandani Drs. Dumulyahi Djami, M.Si.  Pertemuan ketiga ini hanya semacam pengeceka

RIAM JERAM YANG TAK BERUJUNG

Aku pernah mengikuti arung jeram di sungai Citarik Sukabumi, Jawa Barat. Dua kali aku mengikuti kegiatan adventur menegangkan itu. Yang pertama di tanggal sepuluh Juni dua ribu satu.  Dan yang kedua di tanggal lima belas Mei dua ribu tiga. Berarung jeram itu seru. Satu kegiatan yang memberi kesan beragam. Ada kesenangan dan kesegaran karena kita bakal menikmati pemandangan alam nan asri. Di sana juga ada ketegangan karena harus berhadapan dengan banyak rintangan. Bila kita sedang berarung jeram maka kita akan mengalami dan menemui batu-batu besar yang menghadang. Aliran deras yang menghanyutkan. Kelokan tajam menyeramkan. Hal-hal ini bisa membuat nyali kerdil bila hanya dengar cerita. Tidak hanya batu, aliran deras dan kelokan tajam yang ada. Bahkan ada tubir curam yang mematikan. Satu keadaan yang dapat membahayakan bila salah melangkah. Bila meleset perhitungannya. Bila keliru mengambil keputusan. Perlu disadari dan diingat bahwa rintangan-rintangan itu tidak mungkin disingki

HARI YANG KUNANTIKAN

Gaudeamus igitur iuvenes dum sumus Vivat qeademia, vivat profesores …………………………………………….   Dua baris puisi di atas adalah penggalan lagu ‘ kebangsaan ’ para akademia (masyarakat ilmiah) yang tersohor. Lagu yang biasa dinyanyikan pada saat wisuda. Lagu yang mengiringi selama upacara pemeteraian seseorang menyandang predikat sarjana. Seseorang akan sampai ke tahap itu bila telah menyelesaikan proses belajarnya di suatu perguruan tinggi. Proses belajar yang harus ditempuh selama paling sedikit delapan semester. Sesudah itu ia siap berkarya di dalam masyarakat. Aku telah melewati semua proses itu. Kini pita topi sarjanaku akan dipindahkan dari kiri ke kanan. Prosesi itu berlangsung di Gedung Serbaguna Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) IKIP Jakarta. GSB FPOK IKIP Jakarta menjadi saksi bisu tatkala kami dilantik.   Walaupun pemindahan pita itu aku (kami, para wisudawan) lakukan sendiri namun berlangsung hikmat. Pelaksanaannya apik di bawah tuntunan dan komando san

TAE KWON-DO

Aku mengenal Tae Kwon-Do ketika kuliah di FPOK IKIP Jakarta. Bagaimana aku bisa mengenalnya dan terlibat di dalamnya? Berikut aku sajikan sedikit uraiannya. Juga pengertian Taekwondo yang kukutip dari Wikipedia.   Taekwondo adalah seni bela diri asal Korea yang juga sebagai olahraga nasional Korea. Ia biasa juga dieja dengan  Tae Kwon Do  atau  Taekwon-Do . Ini adalah salah satu seni bela diri populer di dunia yang dipertandingkan di Olimpiade . Pengertiannya adalah seperti ini.  Tae berarti "menendang atau menghancurkan dengan kaki." Kwon berarti "tinju." Do artinya "jalan" atau "seni." Jadi,  Taekwondo  dapat diterjemahkan dengan bebas sebagai "seni tangan dan kaki" atau "jalan" atau "cara kaki dan kepalan." Sekilas di atas telah kusampaikan arti dari beladiri asli Korea ini. Selanjutnya akan aku tuliskan mengenai perkenalanku dengan Taekwondo. Dan sosok yang membuatku mengenal dan bergelut dalamnya. Wa

TUKANG KREDIT

Tugas kuliah mulai banyak dan berat. Jam kuliahnya tak beraturan. Artinya kuliah, interval satu sampai dua jam kemudian kuliah lagi. Kalau selama jeda waktu yang satu atau dua jam itu aku pulang rumah dulu, tidak mungkin. Jarak antara rumah dan kampus cukup jauh. Pasti tidak keburu karena kondisi jalan yang selalu macet. Lagi pula aku pakai kendaraan umum. Waktu habis di perjalanan. Akhirnya bukan istirahat, malah capeknya dua kali lipat. Mengingat dan mempertimbangkan hal ini, aku memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Aku harus mencari rumah atau kamar di dekat-dekat kampus. Aku harus indekos untuk menghemat biaya atau dana, tenaga dan waktu. Untuk itu aku harus mensurvei tempat-tempat strategis di sekitar kampus. Tempatnya haruslah yang mudah dicapai dengan berjalan kaki. Dalam radius tidak lebih dari satu kilometer. Antara dua ratus sampai lima ratus meter. Tujuh ratusan meter juga okelah. Hari itu hanya ada kuliah teori. Tidak ada praktik. Aku tak perlu

DILEMA

Perkuliahan berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Lancar karena dari awal telah kuniati. Dari kampung sudah ada tekad kuat untuk selesaikan pendidikan apapun kendalanya. Lancar karena aku tak mau terhambat. Sebisa mungkin setiap masalah terpecahkan. Apapun persoalannya aku tak mau tenggelam tergilas oleh masalah. Masalah yang berhubungan dengan ekonomi. Masalah akademik. Apa saja. Karena masalah-masalah itu akan selalu ada dan terus menguntit dengan setia. Selama manusia itu ada, masalah akan tetap ada. Maka aku tak mau berfokus pada persoalan tapi pemecahannya. Secara akademis aku tidak pandai sekali, apalagi jenius. Tapi terus terang aku rajin dan tekun. Ya, penilaian subyektifku saja. Maksudnya aku tak mau menunda apapun yang bisa kubereskan sekarang. Jadi setiap kegiatan yang berhubungan dengan kuliah aku selalu kerjakan dengan baik dan maksimal. Tuntas. Ya, seperti kuhadapi kali ini. Kejadian yang menurutku cukup berkesan. Maka perkenankan kuceritakan kembali kepada p

JAKARTA, I'M COMING!

Pada waktu pengumuman kelulusan, setiap orangtua siswa diundang. Orangtuaku yang hadir hanyalah Papa. Papa saja yang mendampingiku sepanjang upacara pelepasan itu (sekolah-sekolah zaman now sering menggunakan kata, graduation ). Seperti yang sudah kukatakan, aku mendapat predikat juara pertama diikuti Sembilan rekanku yang lain. Kami yang masuk deretan sepuluh besar dipajang di depan audiens didampingi orangtua masing-masing. Hanya itu. Tidak ada hadiah, namun cukup membanggakan. Terutama bagi orangtua. Seusai upacara pengumuman itu, Papa dipanggil oleh Kepala Sekolah, Drs. F. D. Laturette. Beliau berbincang-bincang dengan Papa secara tertutup di ruang kepala sekolah. Ia mengembuskan angin surgA kepada Papaku agar sekolahku dilanjutkan. Teruskan ke perguruan tinggi, Fakultas Olahraga. Papa memberitahukan hal ini padaku ketika kami dalam perjalanan pulang. Papa mengatakan bahwa ia, Pak Didi, panggilan akrab kepala sekolahku, menyarankan ke Jakarta. Alasannya di Jakarta cukup len

MAU JADI GURU

Setelah lulus sekolah menengah pertama aku mendaftar di sekolah guru olahraga negeri (SGON) Kupang. SGO setingkat SMA atau SMU. SGO adalah tempat mencetak guru-guru yang siap mengajar olahraga di jenjang sekolah dasar. Ia merupakan evolusi dari SGPD (sekolah guru pendidikan djasmani) lalu berubah nama menjadi SMOA (sekolah menengah olahraga atas). Kemudian  menjelma menjadi SGO. Akhirnya tidak ada lagi seterusnya. Dihapus sama sekali. Ia menghilang selamanya dari blantika dunia pendidikan Indonesia. Tidak ada yang menyarankanku untuk belajar di SGO. Apalagi memaksa. Itu sekolah satu-satunya pilihanku. Aku memilih sekolah itu bukan karena cita-cita sejak kecil.  Mungkin anak yang tidak punya cita-cita adalah aku. Dan tak berani bercita-cita. Kalau anak-anak ditanya ingin jadi apa kalau sudah besar selalu ada jawaban. Mereka akan menjawab: Dokter, insinyur, pilot, dan lain-lain. Aku tidak punya itu. Sekolah, ya, sekolah saja tanpa berpikir mau menjadi apa kelak. Di benakku waktu it