EUREKA!

Aku diminta oleh Abner Bangu Radjah untuk menggantikannya mengajar di SMA Tunas Karya. Dia selain teman juga adalah kakak kelas di FPOK. Aku diminta untuk menggantikannya mengajar Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Olahraga.

Ini dilakukannya karena ia harus meninggalkan Jakarta. Ia akan kembali ke kampungnya di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur karena ada suatu urusan keluarga.

SMA Tunas Karya berlokasi di Jalan Pelepah Kuning III Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara. Bila dari pintu gerbang utama Pulomas ke arah mall Kelapa Gading maka ia berada di sudut bundaran sebelum berbelok ke jalan Yos Sudarso.

Di sekolah ini pernah tercatat tergabung Prof. Kebamoto sebagai salah seorang guru. Waktu itu ia sedang menyelesaikan program strata satunya dari jurusan Fisika UI. Sebelumnya ada Prof. Yohanes Surya yang merupakan ikon olimpiade fisika Indonesia saat ini.

Aku diminta menggantikan mengajar di sekolah ini pada akhir tahun ajaran delapan enam delapan tujuh. Saat itu aku sedang dalam proses perampungan seluruh beban kuliah dan mulai menggarap skripsi secara mencicil. Aku tidak terlalu repot.

Itu sebabnya dengan senang hati aku menerima tawarannya. Lumayan. Hitung-hitung untuk menambah uang jajan. Aku menjadi ‘peran pengganti’ hanya satu bulan. Setelah itu kuserahkan kembali kepada ‘yang berwajib’ ketika ia sudah kembali dan berada lagi di kota metropolitan.

Pada bulan Juli sembilan belas delapan tujuh aku diminta lagi bukan sebagai stuntman. Tetapi untuk menggantikan dan ‘mengambil alih’ kedudukan Pak Abner sebagai guru olahraga di sekolah ini.

Itu dilakukannya karena kesibukannya di tempat lain yang sangat menyita waktu dan perhatian. Yaitu di SMPK VII BPK Penabur. Letaknya di kawasan perumahan elit Sun Rise Garden, Jakarta Barat.

Pada saat itu resmilah aku menjadi guru pendidikan jasmani di SMA Tunas Karya. Aku diterima dengan tangan terbuka sebagai salah satu staf guru di sana. Kendatipun cuma honorer, guru separuh waktu.

Di tahun-tahun pertama kiprahku di blantika kepengajaran aku seperti seorang remaja. Aku sedang berada dalam proses pencarian identitas di arena mencerdaskan kehidupan bangsa di sekolah ini.

Suatu usaha untuk menemukan jati diriku sesungguhnya. Ini menjadi barometer yang menentukan laik tidaknya aku meneruskan profesi sebagai seorang pendidik. Sosok pendidik yang mengajar dan pengajar yang mendidik.

Seiring berjalannya waktu, aku terus berjuang mempersempit jurang kelemahanku. Kelemahan dalam hal keterampilan mengajar. Kelemahan dalam hal kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Orang pintar biasa menyebutnya  interpersonal skill.

Aku terus bergiat menambah pengetahuan di luar olahraga dan mengajar. Aku belajar bagaimana mengorganisasi suatu kegiatan. Aku belajar semua itu dari para guru senior. Atau aku cari gali sendiri melalui berbagai literatur. Baik dari buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah atau yang kubeli.

Aku juga tak berhenti berjuang memperkecil meminimalkan berbagai rintangan. Aku akhirnya berhasil menghapus paradigma negatif yang telah terinternalisasi dalam diriku. Paradigma yang mengatakan bahwa guru olahraga adalah guru lapisan terbawah-terendah.

Aku menemukan diriku berdiri sama tinggi dengan rekan-rekan ‘Umar Bakrie’ lainnya dari bidang apapun. Keinginan untuk maju terus berkobar membakar semangat dalam dada. Semakin giat menambah pengetahuan semakin haus rasanya.

Aku memaksa diri untuk tidak cepat merasa puas. Tidak cepat berpuas dengan pencapaian yang kuraih. Pencapaian dalam hal apa saja. Makanya setiap tantangan apapun yang disodorkan kuhadapi dan selesaikan tuntas ikhlas maksimal.

Hari lepas hari kepercayaan ‘internasional’ di lingkunganku bekerja mulai tumbuh. Pandangan mereka, rekan sesama ‘bus kota’ mulai positif-konstruktif. Positif terhadap sosok yang ‘berjudul’ guru olahraga atau penjaskes. Minimal terhadap diriku. Oleh karenanya, sebagaimana Archimedes, akupun boleh berseru: “EUREKA! 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL