Posts

Showing posts from September, 2020

SEKRETARIS

Pada suatu rapat Dewan Guru SMA Tunas Karya aku ditunjuk sebagai sekretaris. Aku divitakompli sebagai sekretais panitia Ebta/Ebtanas tahun akademik sembilan dua sembailan tiga. Itu suatu kehormatan tapi tantangan berat buatku. Tugas yang harus kuemban adalah menangani masalah surat-menyurat, menyiapkan laporan-laporan berupa uraian dan angka-angka. Aku terperangah mendengar keputusan itu. Persoalannya aku tak mampu mengoperasikan komputer. Melihat kegelisahanku, teman yang duduk persisi di sebelahku menyikut dan berkata: “Tenang Joy, terima aja .” Sarannya tanpa beban. Dia tidak tahu kalau aku seperti ditiban papan yang berjibun. Di luar ruangan baru aku jelaskan duduk masalahnya kepada temanku yang menyikut tadi, Drs. Rudi Buntoro. Aku memberitahukannya bahwa aku buta soal komputer. Aku belum pernah bekerja menggunakan mesin tulis kotak berkaca itu. “ Gimana gua bisa jadi sekretaris?” Begitu keluhku. Mendengar keluhan itu dia tidak berempati dan mengasihaniku. Ia justru mendo

PASAR BARU

“Kamu bisa nggak , nyetir ?” Tanya lelaki hitam berambut keriting dari balik stir kepadaku. Ia adalah sopir sebuah angkutan umum. Mikrolet M 12. Mikrolet M 12 ini setiap harinya melalulalangi rute: Kota – Senen, via Harco Pasar Baru. Aku adalah salah seorang penumpang yang sering menggunakan jasa angkutan itu. Siang itu aku duduk di belakang sang sopir. Suatu siang yang merupakan hari naas. Tapi juga bermakna historis bagiku. Kenapa merupakan hari naas sekaligus bermakna historis? Sila menelusur alur tuturku berikut! Aku mengajar di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mengajar Olahraga. Tempat tinggalku di Kota, Jakarta Barat. Masuk sekolah pukul tujuh pagi. Pulang jam 13.30. Waktu tempuh sekitar satu jam. Berarti setiap hari aku menghabiskan waktu di perjalanan kurang lebih dua jam. Itu kalau jalanan lancar. Kecuali hari Minggu dan hari libur. Kebiasaanku menghabiskan waktu di perjalanan di atas angkutan umum ini adalah membaca atau tidur. Tergantung kondisinya. Kalau berangkat p

BELAJAR FOTOGRAFI

Pertama kali aku memegang dan menggunakan kamera pada tahun tujuh delapan. Kamera ini aku pinjam dari Papa. Aku pinjam untuk memotret ‘orang besar’ dari ibukota RI. Orang nomor satu yang mengatur kemaslahatan pendidikan Indonesia. Aku sudah lupa mereknya. Tetapi yang jelas kuingat adalah kamera itu semi-auto. Semi fokus. Kamera Papa ini kecil ukurannya. Tapi bukan kamera poket. Lensanya tidak bisa dibongkar pasang. Dia tetap seperti itu di situ sampai ajal menjemput.   Di lensanya tertera gambar gunung artinya untuk pemandangan atau pengambilan gambar jarak jauh. Ada gambar dua orang artinya untuk pengambilan gambar jarak sedang. Dan ada terpampang gambar satu orang setengah badang berarti untuk jarak dekat dan close up . Waktu itu sekolahku, SMP Negeri II Kupang sedang kedatangan seorang tamu agung dari Jakarta, Dr. Daoed Yoesoef. Ia berkunjung ke sekolah kami dengan kapasitas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia. Maka aku meminjam kamera Pa

BELAJAR MENULIS

Aku menapak-memasuki dunia tulis-menulis, arena karang-mengarang yaitu kesukaan menata olah kata ini melalui tahapan-tahapan tidak disengaja. Timbul dengan sendririnya. Mungkin karena dorongan yang cukup kuat dari dalam diriku. Entah! Pertama, dalam hal ekspresi jiwa . Aku pertama kali belajar merangkai kata adalah melalui puisi. Puisi pertama yang kugores adalah pada tahun delapan satu. Ketika itu aku duduk di kelas dua SGO. Judulnya aku lupa. Tetapi garis besar isi ceritanya masih kuingat kendati agak samar. Yaitu tentang jeritan hati seorang anak. Ia menjerit karena ia berjuang sendiri menghadapi kekejaman hidup tanpa ayah. Tanpa ayah yang pernah membesarkannya. Anak itu pernah menikmati indahnya hidup bersama ayah. Namun Tuhan menentukan lain. Ayahnya meninggal, dipanggil Tuhan. Sejak sepeninggal mendiang ayahnya, hidupnya menjadi kacau. Langit bagai runtuh. Bumi tempatnya berpijak terasa goncang. Tiada tempat yang nyaman baginya untuk hidup. Kedua, tentang pemanfaatan mesi

BELAJAR BERMAIN MUSIK

Aku mengenal musik di tahun delapan satu. Alat musik pertama yang kupelajari dan mainkan adalah gitar. Waktu itu aku masih duduk di kelas dua SGO. Sekolah Guru Olahraga. Sekolahnya yang menempa pribadi-pribadi yang bakal menjadi guru olahraga. Ia setingkat sekolah menengah atas. Berikut aku ceritakan bagaimana aku jatuh cinta dengan gitar pada pandangan pertama. Dari situasi ini aku menuangkannya ke dalam sebuah cerita pendek yang kuberi judul: Kencan. Pada suatu siang yang waktu itu adalah jam istirahat. Aku melihat temanku, Aloysius Kase dan Yafet Kolimo (teman sekelas) sedang bermain gitar. Mereka duduk di bawah salah satu pohon ketapang di belakang gedung sekolah kami di pinggir pantai. Aku sudah tidak ingat lagu apa yang sedang mereka mainkan. Yang masih segar kuingat adalah gitar yang sedang dipangku berwarna abu-abu. Warna milenium. Senarnya terbuat dari kawat atau istilah inggrisnya: Steel guitar . Seperti kata Allan Jackson sang pelantun lagu-lagu cowboy/country asal Pa

MENJADI ATLET

Cerita tentang menjadi atlet ini tadinya ingin aku tampilkan di bagian sebelumnya. Sebab ia serangkai atau berdampingan dengan sub judul Tae Kwon-Do. Namun aku berubah pikiran dan menempatkannya di sini. Karena menjadi atlet adalah bagian dari sebuah karir. Setelah berhasil memprakarsai lahirnya Tae Kwon-Do IKIP Jakarta kami berlatih serius. Latihannya dua kali seminggu di kampus Timur gedung FPOK lantai dua. Kami yang sembilan orang itu dibimbing dengan disiplin dan keras. Baik dalam hal teknik maupun soal performa fisik. Kami dimotivasi untuk bertarung di arena setelah memperoleh sabuk kuning  polos. Sabuk kuning adalah tingkataan kedua setelah putih. Berarti kami baru naik satu anak tangga. Dengan demikian keterampilan dan pengalaman belum mumpuni. Belum siap untuk bertarung di arena kejuaraan. Namun kami bertekad untuk ikut. Kejuaraan antarmahasiswa ini diselenggarakan oleh Upancas (Universitas Pancasila). Waktu itu kampusnya masih berlokasi di sekitar jalan Proklamasi. Upanc

PERINGATI HAORNAS DENGAN SENAM PGRI

Tanggal sembilan September selalu diperingati sebagai Hari Olahraga Nasional Indonesia. Hari kemerdekaan para pelaku olahraga di nusantara tercinta. Dan hari Rabu ini adalah peringatan ke 37. Tadi pagi di kampus FKIP UPG 1945 NTT, mahasiswa dan dosen PJKR merayakannya secara sederhana. Perayaan yang tetap memberlakukan protocol kesehatan. Perayaan peringatannya hanya dengan senam bersama. Kegiatan ini berlangsung di lantai tiga FKIP UPG 1945. Peserta hadir terdiri dari unsur mahasiswa dan dosen yang khusus dari prodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (PJKR). Jumlah seluruhnya sekitar 35 orang. Mahasiswa yang terlibat berasal dari semester satu, tiga dan lima. Semester tujuh tidak hadir karena sedang menjalani program KKN. Atau istilah yang biasa dipakai di lingkungan UPG 45 NTT adalah Kukerta, kuliah kerja nyata. Tidak semua mahasiswa dan dosen hadir. Ini karena mereka mempunyai berbagai alasan yang dapat diterima. Seperti: Sakit, masih berada di kampung halaman, atau a

SEPEDA

… Laju sepeda kumbang di jalan berlubang S’lalu begitu sejak zaman Jepang … Itu sepeda butut dikebut lalu cabut Kalangkabut sampai kentut …   Penggalan syair di atas kukutip dari lagu gubahan Iwan Fals yang bertajuk “Umar Bakrie.”Lagu ini menceritakan tentang seorang guru yang pegawai negeri. Ia hanya mempunyai upah kecil sekali tapi masih pula gajinya dikebiri. Disunat. Dipotong. Seorang guru yang setiap harinya hanya mampu menggunakan sepeda. Ia hanya mampu bersepeda ke ‘ladang’ untuk menanam ‘benih-benih’ kecerdasan. Benih kecerdasan kepada para siswa asuhannya. Anak-anak calon pemimpin bangsa. Sebagaimana Umar Bakrienya Iwan Fals, akupun demikian. Hanya bedanya ia pegawai negeri sementara aku pegawai swasta. Ia pakai sepeda kumbang butut, aku pakai sepeda gunung. Kereta angin mentereng. Sepeda yang kunaiki tidak butut. Tapi kalau semakin cepat kukayuh semakin kencang pula kernyitannya. Bunyi-bunyi yang membising datang dari seluruh tubuhnya. Membuat semua oran

MENJADI PETANI KECIL

Pada bulan Juni sembilan lima aku beserta istri dan anak-anak menengok melancong ke Kupang. Waktu itu adalah libur panjang sekolah. Bagiku ini adalah pulang kampung. Kembali merajut nostalgia masa lalu. Tetapi bagi istri dan anak-anak ini adalah piknik-melancong-berdarmawisata. Selama aku berumah tangga baru kali ini aku memboyong mereka. Aku memperkenalkan mereka kepada sanak saudara di Noekele. Kupang. Timor. Nusa Tenggara Timur. Kami berempat ke Kupang dengan uang tabungan yang kami sisihkan. Sejak beberapa tahun sebelumnya kami telah menyisihkan sedikit demi sedikit. Kami menggunakan Sempati Air. Waktu itu maskapai ini memberikan harga khusus bagi guru dan keluarganya. Jadi murah sekali. Kami memilih lewat udara karena Rommy, putraku, masih berumur delapan bulan. Ada kapal laut yang bisa membawa kami ke sana. Namun kami, aku khususnya tidak tega. Rommy rewel bukan main. Bisa sangat mengganggu tetangga di dek (kelas ekonomi). Kami menghabiskan waktu dua minggu di Kupang. Se

KARYA SPEKTAKULER MONUMENTAL

Aku tidak berhenti mempertajam ‘naluri penciuman’ dan mempercantik ‘indera pelacakan’ dalam duniaku ini. Dunia mengajar. Walaupun aku telah mendapat pengakuan dari sesama ‘bus kota.’ Pengakuan dari rekan-rekan guru di lingkunganku. Pengakuan yang kumaksud adalah mereka tidak meremehkanku karena aku guru olahraga. Sebuah mata pelajaran pendukung bukan penentu. Pengakuan itupun hanya di lingkungan di mana aku ada. Tidak berskala luas. Bukan juga pengakuan yang dilambangkan dengan penghargaan atau hadiah. Pengakuan itu semakin memicuku untuk terus berkarya. Yaitu menghasilbuahkan karya-karya bermutu-bergengsi. Bermutu menurut ukuranku sendiri. Bergengsi sebatas tembok sekolah tempatku ‘mengais’ rejeki. Aku menyebutnya karya spektakuler monumental. Spektakuler karena belum pernah ada yang melakukan sebelumnya di kalanganku. Dan monumental karena karya itu menjadi semacam acuan keberhasilan dalam penyelenggaraaan berikutnya. Jadi spektakuler monumental menurut ukuran di kalangan sen

SUHU BUKIT SALJU LUIBALI

Bukit Salju ada di Sabu? Kalau di sana turun salju berarti dingin sekali dong! Dari mana datangnya salju yang membungkus bukit di dusun kecil, Luibali itu? Mungkin begitulah pertanyaan yang berseliweran di benak pembaca. Baiklah. Ikuti saja kisahnya. Saya beberapa hari berada di Hawu Mehara sejak tanggal 21 – 24 Agustus 2020. Di sebuah dusun kecil, Luibali tepatnya. Saya ada di sana karena bersama rombongan membawa Rau Kattu dari mendiang Lakki Djira . Seorang putra Luibali yang merantau sejak tahun 1947 dan baru kembali dalam wujud Rau Kattu . Sebagian informasi sudah saya sajikan di empat seri tulisan sebelumnya mengenai Rau Kattu . Semuanya bisa Anda baca di kompasiana.   Di tulisan pertama saya kemukakan tentang segala persiapan di Kupang, Timor. Yang kedua mengenai keberangkatan ke Luibali Mehara, Sabu. Bagian ketiga menguraikan situasi saat diterima sebagai tamu di Ammu Kepue . Dan keempat mengulas tentang puncak acara dimaksud. Sesudah acara dan sebelum meninggalkan Lui