BELAJAR BERMAIN MUSIK

Aku mengenal musik di tahun delapan satu. Alat musik pertama yang kupelajari dan mainkan adalah gitar. Waktu itu aku masih duduk di kelas dua SGO. Sekolah Guru Olahraga. Sekolahnya yang menempa pribadi-pribadi yang bakal menjadi guru olahraga. Ia setingkat sekolah menengah atas.

Berikut aku ceritakan bagaimana aku jatuh cinta dengan gitar pada pandangan pertama. Dari situasi ini aku menuangkannya ke dalam sebuah cerita pendek yang kuberi judul: Kencan.

Pada suatu siang yang waktu itu adalah jam istirahat. Aku melihat temanku, Aloysius Kase dan Yafet Kolimo (teman sekelas) sedang bermain gitar. Mereka duduk di bawah salah satu pohon ketapang di belakang gedung sekolah kami di pinggir pantai.

Aku sudah tidak ingat lagu apa yang sedang mereka mainkan. Yang masih segar kuingat adalah gitar yang sedang dipangku berwarna abu-abu. Warna milenium. Senarnya terbuat dari kawat atau istilah inggrisnya: Steel guitar. Seperti kata Allan Jackson sang pelantun lagu-lagu cowboy/country asal Paman Sam. Bukan senar nilon.

Aku mendatangi mereka dan melihat caranya bermain gitar. Bagaimana menghasilkan nada-nada merdu dari benda ajaibitu. Terkesan dengan permainan mereka aku minta diajari. Dan nada dasar pertama yang mereka ajarkan adalah ‘D.’

Kesan pertama dan sensasi seru menjalar di seluruh rasaku saat bermain gitar. Sejak hari itu ia menggodaku terus-menerus. Godaan itu juga yang memaksa memberanikan diriku meminjam gitar milenium milik Yafet itu setiap Sabtu.

Artinya aku belajar di rumah setiap hari Sabtu dan Minggu. Dan akan kukembalikan pada hari Senin berikutnya. Bahkan tak jarang sampai satu atau dua minggu gitarnya menginap di rumahku. Untung orangnya baik. Tak masalah baginya. Oke-oke saja sejauh aku bisa menjaga memeliharanya.

Aku belajar mati-matian di rumah setiap kali aku membawa pulang gitar pinjaman itu. Tidak ada waktu luang yang kubiarkan terbuang. Pasti kuisi dengan berlatih memetik gitar. Kupaksa diri menguasai teknik dan chord yang telah diajarkan.

Lagu pertama yang bisa kunyanyikan sambil bermain gitar adalah ‘Burung Kakatua.’ Aku sering lupa waktu kalau lagi ‘bekencan’ dengan gitar itu. Sering hingga larut malam yang sangat larut. Saking getol dan girangnya belajar jari-jariku sampai melepuh.

Makhlum dawai kawat dan keras pula. Tapi aku tidak gampang menyerah dan tidak mau menyerah. Maka bila sudah sakit dan melepuh aku gunakan air panas untuk menyembuhkannya.

Caranya: Jari-jari yang melepuh aku tempelkan di dinding gelas yang kuisi air panas. Kalau airnya sudah dingin kuganti lagi dengan yang baru dan kutempelkan kembali jari-jari itu. Demikian seterusnya sampai hilang rasa sakitnya. Setelah itu, mengalun kembali tembang yang sama lagi: Burung Kakatua.

Karena baru belajar maka sering cekcok tak kompak antara suaraku dan bunyi gitar. Tidak sejalur. Bunyi gitar ke kiri, suaraku ke kanan. Selalu bersebrangan. Kondisi ini membuat seisi rumah menjadi geli cenderung mau muntah mendengarku bernyanyi.

Malah, ada yang sakit giginya makin menjadi akibat perselisihan nada sumbang gitar dan suara falsku menendang gendang telinganya. Aku tak ambil pusing. I kept on playing guitar and singing as well.

Aku ingin sekali mewujudkan impianku sebagai pemain gitar. Maka aku membeli sebuah gitar di tahun berikutnya dengan uangku sendiri. Uang itu kuperoleh dari beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Nusa Tenggara Timur.

Gitar itu kubeli di Toko Tjong. Sebuah toko di jantung kota Kupang. Harganya waktu itu sebesar dua puluh lima ribu rupiah. Gitar itu berdawai kawat juga seperti gitar Yafet. Warnanya merah bata.

Hanya sekitar enam bulan aku memainkan gitar itu. Atau mungkin kurang dari itu. Karena selanjutnya aku berangkat ke Jakarta. Seyogyanya aku bawa serta gitara itu. Tapi aku memilih tinggalkan dengan satu harapan adik-adikku mau belajar.

Ternyata tidak. Karena setelah aku selesai kuliah dan kembali kampung tidak ada satupun adikku yang mampu bermain gitar. Dan gitar itupun raib entah ke mana. Mungkin dibawa terbang oleh Burung Kakatua. Walahualam!

Aku sangat suka dan senang sekali bermain gitar. walaupun tidak terlalu mahir. Ya, sekedar pelipur lara. Hingga kini aku belum berhenti bermain (belajar dan berlatih) gitar. Aku terus menambah pengetahuanku melalui berbagai media dan cara.

Membaca buku. Mendengar dan mengikuti musik dari kaset, radio atau tv. Dari you tube. Sering pula aku melihat cara bermain dari orang lain. Melihat langsung ataupun tidak langsung. Satu kelebihan yang paling ‘oke’ dari kesukaanku bemain musik, gitar khususnya, adalah tidak bisa membaca not. Angka pun balok.

Dari bermain gitar aku jatuh hati pula pada piano. Itu terjadi di tahun sembilan enam ketika aku mengajar di SHB. Sekolah Harapan Bangsa. Lokasi sekolahnya di perumahan Kotamodern atau modernland Tangerang, Banten.

Waktu itu aku sedang tidak mengajar. Jam kosong. Untuk mengisi waktu luang itu aku masuk ruang musik. Ruangan itu berisi piano, keyboard, gitar, senar drum dan gurunya, Ari Noya.

Ia sedang bermain piano. Rupanya ia sedang memainkan lagu-lagu klasik. Kedengarannya ribet di telinga tapi sedap di dalam rasa. Nalarku tak mengerti tapi rasaku berseri. Aku mendekati berniat untuk ‘menyontek dan mencuri’ caranya bermain. Semoga di kemudian hari aku bisa mempraktikkan.

Melihat kudatang ia berdiri lalu ‘minggat’ dari kursi piano. Kemudian ia duduk di balik meja kerjanya. Ia membelakangi pianonya dan aku. Aku memberanikan diri duduk di kursi piano yang lowong itu sambil merajuk.

“Bung, gimana mainin-nya?” Aku berharap mendapat tutorial sederhana nan bernas darinya. Malah sebaliknya. Dia berespon ringan tanpa menengokku.

Ya, udah lo pencet aja.” Ada rasa kecewa sesungguhnya. Tapi aku tak patah arang. Aku lawan rasa kecewa dengan pencet dan terus memencet tuts sekenanya. Kulakukan seperti yang dia sarankan. Bunyi yang terlahir antara nada klasik dan/atau nada berisik.

Susah payah dan jatuh bangun aku melakukannya. Aku tak bosan. Tak putus asa. Aku terus dan terus belajar. Belajar dengan langsung menekan tuts maupun bertanya pada pakarnya. Aku masih melakukannya hingga saat ini.

Ada jenis musik yang menjadi kesukaanku dari hasil mendengar dan bermain musik. Ya, genre musik yang aku gandrungi adalah Blues dan Country. Selain enak didengar, juga gampang diikuti. Itu pun kalau lagu-lagu yang sederhana. Karena banyak lagu blues dan country yang sulit.

Itu bukan berarti aku fanatik dengan kedua aliran musik itu saja. Karena bagiku alunan musik apapun oke saja. Asalkan otak dan hati atau nalar dan rasaku masih mampu mencerna. Sejauh aku bisa mengikuti dan menikmati nada serta melodinya.

Setelah mampu bermain gitar aku belajar mentransfer ilmuku kepada orang lain. Siapa pun yang mau belajar berlatih. Aku sudah menerapkan caraku kepada beberapa orang termasuk anak-anak. Dan mereka berhasil memainkan gitar dengan mengagumkan. Anda tertarik?

Tentang cara dan keberhasilan mereka bergitar akan kuceritakan di lain kesempatan. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL