MAU JADI GURU

Setelah lulus sekolah menengah pertama aku mendaftar di sekolah guru olahraga negeri (SGON) Kupang. SGO setingkat SMA atau SMU. SGO adalah tempat mencetak guru-guru yang siap mengajar olahraga di jenjang sekolah dasar.

Ia merupakan evolusi dari SGPD (sekolah guru pendidikan djasmani) lalu berubah nama menjadi SMOA (sekolah menengah olahraga atas). Kemudian  menjelma menjadi SGO. Akhirnya tidak ada lagi seterusnya. Dihapus sama sekali. Ia menghilang selamanya dari blantika dunia pendidikan Indonesia.

Tidak ada yang menyarankanku untuk belajar di SGO. Apalagi memaksa. Itu sekolah satu-satunya pilihanku. Aku memilih sekolah itu bukan karena cita-cita sejak kecil.  Mungkin anak yang tidak punya cita-cita adalah aku. Dan tak berani bercita-cita.

Kalau anak-anak ditanya ingin jadi apa kalau sudah besar selalu ada jawaban. Mereka akan menjawab: Dokter, insinyur, pilot, dan lain-lain. Aku tidak punya itu. Sekolah, ya, sekolah saja tanpa berpikir mau menjadi apa kelak. Di benakku waktu itu sekolah adalah kewajiban setiap anak. Titik.

Sekalipun tak punya cita-cita aku tetap belajar dan rajin sekolah. Sekolah selanjutnya yang kupilih adalah SGO lantaran nilai pelajaran Olahragaku lumayan tinggi. Dan memang aku suka sekali berolahraga.

Hingga kini aku tetap menyukainya. Aku menyukai olahraga karena profesi dan sebagai sarana juga wahana berekspresi. Kata orang-orang pintar di layar-layar kaca: I feel free, when I am doing sport. Begitulah perasaanku ketika lagi berolahraga.

Aku memilih masuk SGO karena selain alasan suka pada olahraga juga gampang mendapat pekerjaan. Setelah lulus bisa langsung mengajar walaupun hanya di jenjang sekolah dasar. Dan tentunya cepat dapat penghasilan.

Kata orang Inggris: That was my simple frame of thinking at that time. Tidak ada yang membimbing dan mengarahkan. Aku berpikir sendiri. Mengambil keputusan sendiri. Dan melakukannya sendiri pula. Orangtuaku hanya mendukung dalam hal dana bila memungkinkan.

Ada hal istimewa yang aku dapat ketika belajar di SGO. Waktu itu aku berusia enambelas tahun. Itu pertama kalinya ada rasa suka pada lawan jenis. Aku sungguh-sungguh ingin mengenal lebih dalam tentang cewek.

Aku berusaha keras untuk belajar berkomunikasi dengan anak cewek. Dan kalau bisa memenangkannya. Maksudnya mendapatkan perhatiannya. Itu saja. Karenanya aku belajar dengan melihat mengamati teman-teman saat mereka beraksi.

Adalah alamiah bila seorang remaja mempunyai perasaan suka terhadap lawan jenisnya. Aku mengalami itu ketika duduk di kelas dua SGO. Kelas sebelas sekarang. Perasaan itu datang begitu saja. Aku tak membendungnya. Tapi tak juga membiarkannya meluap sesukanya.

Aku justru mengontrolnya dengan belajar lebih giat dan latihan lebih keras (mempertajam dan memperhalus keterampilan dalam olahraga). Aneh memang. Tapi begitulah adanya. Itulah awal aku tahu artinya suka dan jatuh cinta pada makhluk yang bernama perempuan.

Aku ingin napak tilas sedikit. Memutar kembali untuk memperlihatkan kepada pembaca apa yang terjadi dengan diriku di kelas satu. Kelas sepuluh. Di kelas satu atau sepuluh aku duduk sebangku dengan Aloysius Kase.

Ia pernah menjabat sebagai Wakil Kepala SD Abdi Siswa yang berlokasi di Taman Meruya Ilir Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Sekarang-sekarang ini ia sedang menekuni profesi baru sebagai wiraswastawan. Sekedar berbagi informasi tentang temanku ini.

Aloysius dan aku bertubuh kecil maka kami selalu duduk di barisan paling depan. Dekat dengan meja guru dan papan tulis. Dengan demikian setiap guru yang mengajar di kelas itu akan gampang menjangkau kami.

Suatu ketika kami belajar bahasa Inggris. Jam pelajaran bahasa Inggris. Gurunya adalah istri kepala sekolah. Ibu Didi, demikian kami mengenalnya. Orangnya humoris tapi tegas. Berperawakan tinggi dan tegap.

Caranya mengajar enak dan mudah dipahami. Kami semua menyukai dan menikmatinya dengan antusias. Hanya aku yang tidak paham. Terlanjur jengkel semenjak di sekolah menengah pertama.

Guruku ini selalu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Sekarang baru aku paham bahwa pengajaran bahasa yang benar adalah yang demikian. Langsung menggunakan bahasa yang sedang dipelajari. Apapun bahasanya. Itu aku dapati setelah mengeksplorasi buku-buku bahasa, termasuk inggris.

Ibu Didi selalu berbicara bahasa Inggris. Maksudnya agar telinga kami terbiasa mendengar kata-kata bahasa itu. Selain aktif mendengar kami juga didorong untuk mengucapkannya.

Dengan metode itu ia berharap kami semua dapat dengan lancar ber-cas cis cus. Berbicara bahasanya Pangeran Charles tersebut. Kecuali kalau menjelaskan tentang sesuatu konsep kebahasaan yang rumit, ia akan menggunakan bahasa Indonesia.

Aku tak memiliki fondasi yang baik dalam bahasa ini. Sekali lagi karena terlanjur terluka saat di esempe. Maka setiap kali Ibu Didi, guruku itu mengucapkan kosa kata bahasa Inggris, aku dan Aloy malah membahasnya dengan dan dalam bahasa Timor.

Perkenankan aku mengulas sedikit hubungan bahasa Inggris dan bahasa Timor. Tepatnya Timor Dawan. Yang Aloy dan aku otak atik seturut hati tergelitik. Begini!

Kosa kata bahasa Timor memiliki kemiripan bunyi atau pengucapan dan penulisan dengan bahasa Inggris. Namun pengertiannya bag utara dan selatan. Sangat jauh berbeda. Itu yang menggoda kami untuk bereksperimen saat belajar bahasa Inggris.

Misalnya: Of artinya nanti dalam bahasa Timornya. Thank you bila diucapkan dengan aksen bahasa Timor yang dimiringkan akan berbunyi sen kiu, artinya menanam pohon asam. Please bila diplesetkan akan berbunyi palis artinya biarkan. Dan lain-lain.

Kawan, kami berdua keasyikan mengata-katai kata-kata bahasa Inggris dengan kata-kata bahasa Timor. Kata-kata yang kami ucapkan mempunyai pengertian yang lain dari yang dimaksud oleh ibu. Kami pun tertawa. Kadang lucunya bersamaan dengan kata-kata yang diucapkan oleh Ibu Didi.

Pada saat seluruh kelas tertawa kami pun lucu. Kami terpingkal kegelian bukan karena lucu yang datang dari kata-kata ibu guru. Tetapi akibat pembahasan kami berdua dalam bahasa Timor. Kata anak zaman now: So far so good. Semuanya berjalan baik-baik saja. Aman sentosa dunia dan akhirat.

Kebiasaan itu membuat kami semakin menjadi-jadi. Kami terus mengotak-atik kata-kata bahasa Timor yang menyebabkan kelucuan lokal (cuma kami berdua). Kebablasan. Kami tidak memperhatikan keterangan guru lagi. Yang mestinya tidak lucu menurut ibu guru, justru kami tertawa.

Ia mulai curiga. Sekali, dua kali masih dibiarkan. Ketiga kalinya ia sudah tak tahan. Maka tanpa ekspresi marah ia menyentil hidung kami, aku dan Aloy. Hanya satu kali. Tapi cukup keras. Demikian kerasnya sehingga menyebabkan gelembung bening bergulir dari bola mataku. Bukan menangis. Rasanya seperti mau bersin yang tertunda.

Mungkin beliau tidak tega menampar atau menempeleng kami. Lalu dengan satu kalimat perintah ia bilang: “Ke sana kamu, tikus-tikus kecil” Ia menunjuk ke luar. Ke arah lapangan tempat kami biasa melaksanakan upacara bendera.

“Berdiri di tiang bendera itu sampai pulang sekolah.” Dengan mulut terkancing rapat kami berdua meninggalkan ruang kelas. Semua pasang mata mengikuti menghantar kami hingga kami tiba di singgasana kesengsaraan.

Menyadari kelakuan kami yang bejat itu, kami bersumpah untuk jangan pernah melakukannya lagi. Kami berdua berjanji di terik matahari siang yang menusuk kulit. Janji ini disaksikan pula oleh sebuah tiang yang di atasnya melambai elok sang merah putih. Kami berjabatan sambil mengucapkan ikrar: “Kita harus menjadi yang terbaik.”

Sumpah itu bukan tong kosong bohong melolong. Ikrar itu bagai pecut yang membuat kami berlari kencang. Kami membuktikannya dengan kerja keras yang membuahkan.  Kami naik kelas dengan predikat memuaskan. Sekalipun bahasa Inggrisku hancur.

Aku naik kelas dua (sebelas) dengan predikat peringkat satu. Terbaik dari seluruh siswa kelas satu (sepuluh) yang berjumlah hampir seratus anak. Kami semua terbagi ke dalam dua kelas paralel – A dan B.

Aku menjadi salah satu sorotan (perhatian) dan dikenal oleh guru dan siswa dari semua jenjang. Itu karena selain naik dengan predikat terbaik, juga karena di kelas dua (sebelas itu) aku mulai aktif dalam setiap kegiatan sekolah.

Namun kawan, biarpun sebagai seorang ‘public figure’ aku hanyalah seorang siswa di sekolah. Sebagai siswa aku tidak kebal hukum. Hal apapun bisa terjadi kapan saja atas diriku. Seperti ini. Aku mengalami satu kemalangan yang memalukan yang hampir membuat namaku cacat.

Begini ceritanya!

Waktu itu adalah jam pelajaran Fisiologi – Ilmu Faal. Ilmu yang mempelajari tentang bagian-bagian tubuh manusia dalam keadaan normal. Diam. Gurunya adalah Drs. Marten Apono yang biasa kami panggil Pak Ateng Apono.

Ia lulusan Sekolah Tinggi Olahraga Jakarta. Entah tahun berapa. Beliau juga adalah mantan atlet nasional dalam cabang olahraga tinju dan panahan. Jabatannya pada waktu itu adalah wakil kepala sekolah.

Aku biasa dan selalu duduk di barisan bangku paling depan. Tidak hanya untuk pelajaran ini. Tetapi untuk semua mata pelajaran dan di jenjang atau kelas berapa pun. Itu aku lakukan karena ukuran tubuhku kecil. Jadi aku harus duduk paling depan agar bisa melihat dengan leluasa.

Namun hari itu aku terserang sakit perut yang teramat sangat. Meskipun demikian aku tak mau ketinggalan pelajaran karena pelajaran ini cukup sulit. Terlalu banyak kata asing. “Pusssiiiing,” kata Pegy Melatisukma salah seorang pesohor tanah air.

Oleh karena itu aku memaksakan diri ikut. Aku menempati bangku paling belakang agar tidak menimbulkan ekses yang tidak dikehendaki. Akibat sakit perut itu aku lemas total. Pucat dan tak bertenaga.

Jam belajarnya di dua jam pelajaran terakhir. Artinya selesai belajar Fisiologi, pulang. Selama belajar semua berjalan lancar. Aman terkendali. Tidak ada kejadian yang berdampak apapun. Kami menyelesaikan sesi ini dengan baik.

Tetapi ketika ketua kelas mengajak kami semua berdiri untuk memberi salam ada yang ganjil. Ada yang mengeluarkan kata-kata yang tidak biasanya. Entah apa? Aku sungguh-sungguh tak konsentrasi lagi. Tak sanggup menahan rasa melilit.

Pak Ateng yang sudah berada di bibir pintu, urung meneruskan langkahnya. Ia malah berbalik ke mejanya dan meletakkan kembali buku-bukunya. Ia menghadap kami, lalu bertanya: “Siapa itu?”

Intonasinya datar. Tidak ada gejala marah. Semua diam. Bahkan tak ada yang bergerak. Masih dalam keadaan terus berdiri. Ia bertanya untuk kedua kalinya.

“Siapa itu? Lebih baik mengaku daripada saya marah.” Masih diam. Tak ada jawaban. Hanya masing-masing pasang mata saling melirik.

Dalam keadaan lemas aku melihat guruku membuka dan melepaskan jam yang dikenakan di pergelangan tangannya. Ia lalu meletakkannya di atas meja. Ia menuju ke pintu dan menutupnya sampai rapat. Kemudian kembali ke depan kami dan mengucapkan satu ultimatum yang mengerikan.

“Kalau tidak ada yang mengaku, maka kalian semua, satu per satu saya tampar sebelum meninggalkan ruangan ini.” Ia mulai menggulung lengan bajunya. Suasana semakin tegang. Aku pun semakin tidak karuan saking menahan rasa melilit. Kondisiku tak menentu.

Tiba-tiba ada yang nyeletuk: “Yolis dan Michael, Pak!” Aku terperanjat kaget. Suara itu datang dari berisan tengah. Kami berdua memang sebangku. Michael Demonsili nama lengkapnya. Memang Michael terkenal konyol. Suka membanyol yang membuat pendengarnya terpingkal. Tak terkecuali guru.

Aku sendiri siswa berprestasi. Jadi mereka berbuat itu dengan suatu harapan siapa tahu Pak Ateng tidak jadi marah. Semoga Pak Ateng bisa berbelas kasih dan mengampuni. Tapi apa lacur, tak ada yang dapat mengubah keadaan.

Perlahan namun pasti. Ia beranjak dari tempatnya berdiri menuju ke meja guru dan duduk di atasnya. Dari sana ia menjulurkan tangan kanannya ke arah kami berdua. Telapak tangannya dihadapkan ke atas. Ia menekukkan jari-jemarinya dan menggapai sambil memanggil.

“sini.” Suaranya singkat. Pendek saja. Raut wajahnya yang keras bertambah kelihatan sangar. Ditambah pula rambutnya yang kribo dan kulitnya yang hitam semakin menunjang suasana seram. Tidak pilihan. Kami beriring menyambanginya.

Dengan perasaan tak menentu aku menghampirinya diikuti Michael. Sambil melangkah aku berdoa singkat. Semoga aku dan Michael diberi kesempatan untuk menyampaikan alasan. Pembelaan diri.

Karena selama ini kutahu bahwa beliau adalah orang yang sangat baik. Bijaksana. Ramah dan tidak pernah mengumbar emosi dalam kondisi apapun. Demokratis. Ternyata semuanya di luar dugaan.

Sebelum aku sampai di hadapannya ia telah datang mendapatkan kami berdua. Dan, “plak.” Tangan kanannya menyangkut di pipi kiriku. Ujung daun telingaku perih seketika.

Pandangan mata kerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Dunia terasa goyang. Benda-benda di depanku kelihatan samar. Buram. Tidak jelas. Hanya bayang-bayang belaka. Aku berusaha eling dan berdiri tegak yang tak ajeg.

Tidak ada gerakan pembelaan dariku. Ia maju selangkah meninggalkan aku dari sisi kiriku terus menyongsong menghadang Michael. Langkah temanku ini terhenti dengan sebuah bogem mentah.

Merasa diri besar, tinggi, dan juga atlet silat, secara refleksif Michael menangkis dan mengelak. Sebaliknya, karena pukulannya ditangkis emosi Pak Ateng semakin menjadi. Seru! Kami bagai sedang menyaksikan sebuah pertandingan tinju.

Sebagai mantan petinju yang terlatih baik, reflex dan naluri ‘membunuhnya’ terpancing. Awalnya cuma tangan kiri. Akhirnya menjadi bergantian. Kanan-kiri, kanan-kiri. Terus sampai Michael tak mampu lagi berbuat banyak. Menyerah. Pasrah. Dan, KO!

Kami yang menyaksikan jadi merinding. Pak Ateng menyambar barang-barangnya yang ada di meja dan melenggang meninggalkan ruangan tanpa sepatah katapun. Seisi kelas pulang dengan perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri.

Pada hari-hari biasa, begitu bel pulang terdengar semua anak langsung berlari berhamburan meninggalkan ruang kelas. Kali ini hening senyap. Semua seperti tersirap hantu kolor ijo. Semua seperti tak memiliki pita suara.

Aku mengajak Michael pulang bersama. Kami berjalan kaki sambil berencana untuk mendatangi Pak Ateng di rumahnya. Kami bermaksud menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

Kami sepakat untuk mengunjunginya pada hari itu juga. Di sore harinya. Ketika kami tiba di rumahnya, ia sedang bertelanjang dada sambil berangin-angin di teras depan. Kami dipersilakan duduk dan menarik napas.

Otak kami sedang merancang menyusun kata-kata pembelaan untuk disampaikan. Beliau sudah lebih dahulu memberondong dengan nasihat yang panjang lebar. Seolah kami yang bersalah. Kamilah pelakunya.

Namun setelah aku jelaskan semuanya baru ia menyesal dan minta maaf. Ia berjanji untuk mengusut tuntas pelaku sebenarnya. Tapi apa mau dikata. Sampai aku lulus dari sekolah itu, tak pernah kuketahui siapa orang ‘kotor’ yang telah mencuci tangan dalam ‘baskom’ penderitaanku. Brengsek!

Setelah kejadian itu aku seperti tercemeti. Aku terus mengasah diri berpacu mengejar prestasi sebagai siswa terbaik. Akhirnya, melalui kerja keras dan doa Papa-Mama serta perkenanan Tuhan aku lulus. Secara akademis aku berhasil meraih nilai tertinggi di antara alumnus lainnya. Aku memperoleh beasiswa. 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL