BERIRING

Ilustrasi: travel.tempo.com.
Beriring adalah
kebiasaan orang Timor. Terutama kami yang hidup di kampung pedalaman. Satu
kebiasaan yang – mungkin – tak dipunyai teman-teman dari suku lain di se antero
nusantara ini. Sekali lagi, kebiasaan itu adalah berjalan beriringan.
Dari mana dan ke mana
saja selalu beriring. Dari rumah ke tempat-tempat ibadah dan sebaliknya. Mau
kondangan dan sepulangnya. Menuju ke tempat keramaian apapun ataupun
kembalinya. Semua dilakoni dengan berjalan beriring.
Beriring artinya setiap
individu berada dalam satu barisan panjang. Satu banjar yang mengekor ke
belakang. Beriring dalam suka maupun duka. Beriring saat senang pun susah.
Mereka selalu berjalan beriring dalam satu iringan panjang mengular.
Dalam beriringan itu,
masing-masing membawa dirinya dalam diam membisu. Kecuali ada sesuatu yang
mendesak untuk diomong. Maka omongannya akan disampaikan secara sekedar. Ala
kadar. Yaitu dibicarakan tanpa tatap muka. Mereka bercakap tanpa kontak mata.
Banjar yang memanjang
itu bag kawanan semut. Semut-semut yang sedang meniti melewati seutas benang
panjang yang menggantung melintang. Mereka
mengarahkan pandangnya hanya ke depan. Kondisi ini nyata bila dipandang
dari ketinggian.
Beriring berbanjar
panjang mengekor tanpa kontak itu, paling tidak, memiliki dua tata susila. Ia menunjukkan
dua karakter keteladanan yang patut ditiru. Dapat diteladani oleh siapa pun.
Dari daerah dan golongan mana pun.
Pertama, ada nilai kesopanan (sopan santun) di jalan raya. Tidak
menimbulkan kegaduhan yang meresahkan masyarakat setempat yang dilalui. Yang
kedua, tertib. Tidak mengganggu lalu lintas yang berlalu-lalang. Beriringan
dalam ketenangan.
Aku mempunyai
pengalaman yang mengharu biru. Pengalaman yang memilukan. Pengalaman yang
menyayat kalbu. Sebuah pengalaman tentang berjalan beriringan. Yaitu beriring
dalam diam. Dalam sepi. Dalam kelu. Dalam tenang.
Tapi, maukah teman
meluangkan waktu sejenak? Maukah teman menyendengkan telinga dan mendengarnya?
Baiklah. Kalau begitu, sebelumnya, aku harus sampaikan ribuan terima kasih.
Terima kasih yang tulus atas kesediaanmu mengikuti dan mendengarnya.
Begini!
Aduh kawan, belum juga
mulai aku sudah merasa takut. aku takut tak mampu menuntaskannya. Oleh karena
itu, biarkanlah aku tarik napas panjang sebentar. Biar aku bisa netralkan
emosi dulu, ya.
Kawan! Pada bulan
November 2019. Tepatnya tanggal lima, mamaku tercinta (Cornelia
Djami-Loemnanu) dipanggil pulang. Pulang ke haribaan Sang Khalik. Ia kembali
dalam usia delapan puluh empat tahun. Tanpa sakit berarti. Dia meninggalkan
kami semua setelah beberapa hari terbaring lemah di tempat tidur.
![]() |
| Mama Cornelia Djami-Loemnanu. Raknamo, Natal 2014. Dokpri |
Ia pulang dalam suasana
romantisme memilukan. Dia mengucapkan selamat tinggal dalam diam yang mesra. Dia
menggenggam erat tangan Papa, Leonard Djami, kekasih hatinya. Kekasih yang
sudah ditemaninya selama enam puluh sembilan tahun. Kini mereka berpisah untuk
selamanya.
![]() |
| Genggaman ucapan selamat tinggal, dokpri. |
Ah, kawan kau telah
memaksaku cengeng. Aku jadi termehek-mehek
mewek dengan menceritakannya kembali. Huh… Tapi tidak mengapa. Biar
perlahan kurangkai memori itu supaya teman tidak mencapku bohong. Maafkanlah aku.
Setelah Mama tiada, aku bilang pada kakak adik semua: “Kita harus siap mental. Karena dalam hitungan
hari Papa akan menyusul.” Dan mereka tak menampiknya. Itu aku katakan karena
Papa dan Mama selalu bersama-sama di setiap waktu.
Tetapi ternyata aku keliru. Papa berangsur kokoh ditemani dan dihibur anak-anak, cucu dan cicitnya.
Papa kembali sehat dan bisa bercengkerama dengan orang-orang terkasih di
sekelilingnya. Kami gembira karena Papa dapat beraktivitas normal.
Tapi dalam kegembiraan
itu justru kakakku tertua berpulang. Ah, kawan. Rasanya belum terhapus air mata
ini karena Mama wafat, kakak pulang. Ia terbujur kaku setelah berjuang berjibaku
melawan kanker payudara. Kanker yang diidapnya sejak beberapa tahun silam.
![]() |
| Bersama Susi Nona - Noekele, 2016. Dokpri |
![]() |
| Foto Susi Nona di Banner: dokpri. |
Kakakku, Maritje Astrid
Liliya Thao-Djami meninggal pada tanggal 18 Januari 2020. Ia menghembuskan
napas terakhir sebelum corona menyerang. Ia menghadap Penciptanya setelah
mengarungi lautan hidup selama enam puluh dua tahun.
Papa kelihatan tegar
walau kehilangan dua perempuan yang dikasihinya. Istri tercinta dan anak
perempuannya. Dalam ketegaran semu itu ia mengumpulkan kami di sekeliling
jenazah Susi Nona. Demikian kami memanggil kakakku ini semasa hidupnya. Ia duduk
di sisi peti jenazah bagian kepala lalu memberi wejangan. Wejangan yang lumayan
lama.
Kalimatnya yang tetap
terngiang di telingaku adalah: “Tetaplah saling mengasihi satu dengan yang
lain.” Kemudian mungkin lelah, ia ingin beristirahat. Dia berdiri dan
mengarahkan dirinya ke kamar lalu melangkah. Hanya satu langkah dia mampu
memindahkan kakinya.
Selanjutnya ia dibopong.
Salah satu cucunya yang kebetulan berada di dekatnya secara sigap langsung
menggendong. Lalu membawa dan membaringkannya di tempat tidur. Tempat yang
biasa dipakai tidur anak perempuannya yang sedang terbujur kaku itu semasa
masih hidupnya.
Menjelang hari
penguburan Kakak, perhatian kami terpecah. Sebagian melakukan persiapan
penguburan Susi Nona di Noekele. Lainnya merawat melayani Papa yang membutuhkan
perhatian ekstra. Papa terbaring lemah di rumah sakit.
Sehari sesudah Kakak
bersemayam selama-lamanya dalam liang keabadian, Papa berangkat pulang tanpa
pamit. Ia menghembuskan napas terakhir tanggal 21 Januari 2020 dalam usia delapan
puluh tujuh tahun.
![]() |
| Leonard Djami - Noekele, 2016. Dokpri. |
Mereka telah beriring
pulang ke keabadiannya dalam diam. Dalam kelu. Dalam tenang. Dalam hening.
Dalam damai.
Selamat jalan Mama Cor!
Selamat jalan Susi Nona!
Selamat jalan Papa Leo!
Tilong – Kupang, NTT
Kamis, 16 April 2020 (15.51 wita)





Jadi pingin đ
ReplyDeleteTerima kasih ibu sudah membaca n berkomentar. Gb!
DeleteTetaplah mengasihi satu dengan yang lain.
ReplyDeleteMantap isi tulisannya ...
Terima kasih, Pak Etik. Gb!
DeleteTerharu aku membaca tulisanmu kakak. Cobalah kau buat buku dari kisah hidupmu ini.
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Ditta. Gb!
Deletesungguh kami terharu dan hanyut mau meneteskan air mata...
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Puji. Gb!
DeleteKasih sayang tiada batas
ReplyDeleteYa. Terima kasih, Bu Prihariyani. Gb!
DeleteInformasi baru. Bulan Maret lalu saya ke Kupang. https://ngainun-naim.blogspot.com/2020/02/senja-di-pantai-warna-oesapa.html. Semoga suatu saat bisa berkunjung lagi dan bersua dengan Bapak.
ReplyDeleteTerima kasih. Saya tunggu kedatangan bapak. Gb!
DeleteTurut berduka yang sedalam-dalamnya Pak Yo...
ReplyDeleteSungguh pengalaman "Beriringan" yang sedih, karena orang tua dan kakak dalam waktu yang sangat dekat, namun melihat pemeliharaan Tuhan melalui kehidaupan orang tua yang 84 dan 87 tahun Tuhan pelihara dan juga kakak sekalipun dalam sakitnya saya percaya Tuhan yang sama juga akan menghibur dan menguatkan Pak Yo,dan segenap keluarga yang ditinggalkan...
Amin! Terima kasih untuk doanya, Ms.
DeletePeméliharaan Tuhà n itu senantiasà luar biasa Dan ajaib. Dia selalu menawarkà n itu pada siapa saja. Tapi apakahkita mau menerima tawaran itu?
Luar Biasa KK Olis mengalir dan cair... Ah sudahlah Beta jadi termehek-mehek
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Ău baca n kasih Tenga komentar. Ya, beta ju bagitu. Setiap kali be baca pasti malele na.
DeleteTapi, biar su. Tuhan yang punya jadi katong son bisa tahan.
Ndan... tulisannya sudah sangat banyak. Ayo di bukukan komendan.Biar abadi...
ReplyDeleteSudah satu: Baomong, celoteh pepesan kosong Dari Tilong tentang hidup. Sudah Saya bedah bukunya di YPTD.
DeleteThanks, Bu!
Sungguh kehilangan orang-orang yang kita sayangi sangatlah menyakitkan. Tapi, kembali lagi kehidupan dunia hanyalah sementara dan siap tdk siap suatu saat kita semua pasti akan merasakan yg namanya kehilangan, termasuk kehilangan keluarga tercinta.
ReplyDeleteTulisannya sangat menyentuh sekali pak. Semoga pak sehat selalu. sehingga bisa terus menginspirasi dan memotivasi kami kaum muda-mudi lewat tulisan-tulisannya pak.đ
Terima Kasih untuk komentarnya.
DeleteJangan tunggu motivasi Dari orang di luar diri Anda. Paksalah diri menjadi pembelajar sejati sehingga Anda bisa memotivasi orang juga.
Sekali lagi, thanks a lot!