BELAJAR MENULIS

Aku menapak-memasuki dunia tulis-menulis, arena karang-mengarang yaitu kesukaan menata olah kata ini melalui tahapan-tahapan tidak disengaja. Timbul dengan sendririnya. Mungkin karena dorongan yang cukup kuat dari dalam diriku. Entah!

Pertama, dalam hal ekspresi jiwa. Aku pertama kali belajar merangkai kata adalah melalui puisi. Puisi pertama yang kugores adalah pada tahun delapan satu. Ketika itu aku duduk di kelas dua SGO.

Judulnya aku lupa. Tetapi garis besar isi ceritanya masih kuingat kendati agak samar. Yaitu tentang jeritan hati seorang anak. Ia menjerit karena ia berjuang sendiri menghadapi kekejaman hidup tanpa ayah. Tanpa ayah yang pernah membesarkannya.

Anak itu pernah menikmati indahnya hidup bersama ayah. Namun Tuhan menentukan lain. Ayahnya meninggal, dipanggil Tuhan. Sejak sepeninggal mendiang ayahnya, hidupnya menjadi kacau. Langit bagai runtuh. Bumi tempatnya berpijak terasa goncang. Tiada tempat yang nyaman baginya untuk hidup.

Kedua, tentang pemanfaatan mesin tik. Sampai usia tujuh belas tahun aku tidak pernah diajari bagaimana menggunakan mesin tulis manual ini. Padahal seingatku Papa punya. Aku sering melihatnya mengetik dengan mesin penata huruf itu.

Mesin yang diciptakan pertama oleh C. Latham Sholes, Carlos Glidden dan Samuel W. Soule pada tahun delapan belas enam tujuh. Aku mencobanya justru ketika aku telah berada di Jakarta. Di Jaya College. Saat aku mengikuti kursus bahasa Inggris.

Di Jaya College selain pelajaran Bahasa Inggris, ada juga Akuntansi dan Mengetik. Maksudnya di sana ada kelas bahasa Inggris. Kelas Akuntansi. Dan kelas Mengetik. Ruang kelas mengetik berada di depan setelah pintu masuk. Jadi setiap masuk dan/atau keluar kami pasti melewati ruang itu.

Mesin tik bertebaran bertengger di mana-mana. Ia ada di atas semua meja yang memenuhi ruangan itu. Maka untuk menghabiskan waktu baik sebelum atau sesudah belajar aku mencobanya. Kuiseng menekan tuts atau tombol-tombol huruf pada mesin tik.

Aku mencobanya dengan menempatkan sepuluh jariku dengan baik dan benar. Aku mempraktikkan seperti yang kulihat dari para siswa peserta kelas mengetik. Pengetahuan dan keterampilan itu yang kupakai hingga kini. Lumayan. Tidak sia-sia. Malah cukup berguna. Bahkan sangat membantu.

Ketiga, menyangkut penempatan tanda baca. Adalah Drs. Yusuf Tariallo, M.M., orang yang sangat berjasa bagiku dalam hal ini. Beliau berkarir di SMA Tunas Karya Kelapa Gading sebagai guru Ekonomi merangkap wakil kepala sekolah sejak awal berdirinya sekolah itu. Akhirnya ia dipercayakan sebagai kepala sekolah sampai usia pensiun.

Waktu itu aku sedang mengetik karya tulis, tugas kuliah. Aku mengerjakannya di rumah kontrakan yang kami sewa tempati di Rawamangun. Kebetulan kami tinggal serumah. Mesin tik yang kupakai pun adalah miliknya.

Melihat keseriusanku, ia iseng menengok sambil lalu. Dan secara tidak sengaja ia melihat kekeliruanku menempatkan tanda koma (,). Maka secara halus ia mengoreksi dan memberitahukan di mana seharusnya tanda itu kutempatkan.

Ketika itu aku menempatkan koma (,) jauh dari kata yang diikutinya. Misalnya: Anak itu , Rico , tinggal di sini. Tanda koma tidak menempel pas di huruf terakhir dari kata sebelumnya. Ia dengan ramah mengoreksinya. Ini sebuah edukasi yang aplikatif.

Sejak saat itu hari lepas hari aku terus menekuni dan menelusuri teknik menulis yang baik dan benar. Yaitu cara menempatkan tanda baca dalam hal ini. Baik belajar melalui tulisan orang lain maupun teori-teori yang kudapat. Kutelisik cara menempatkan tanda baca dari buku-buku bacaan maupun referensi.

Dengan bekal suka membaca, aku terus mencari dan menggalinya. Aku menimbanya dari buku-buku berbahasa Indonesia dan Inggris. Aku sangat getol membaca buku teori menulis semacam itu. Buku-buku yang sedikitpun tidak menyinggung keahlianku sebagai guru olahraga.

Karenanya seorang rekanku yang guru bahasa pernah bersloroh nyeletuk: “Mau jadi guru bahasa, ya?”

Sambil tersenyum aku berespon dan menjawab: “Belajar boleh, kan?”

Sampai aku menulis menyelesaikan kisah ini, dunia kepengarangan terus menggoda hatiku. Bahkan telah merampas sebagian perhatianku. Semakin aku belajar, semakin kurang rasanya pengetahuanku.

Aku terus belajar melalui membaca dan menulis. Sekalipun aku tak punya instrumen canggih semacam mesin tik atau computer untuk menulis. Aku tetap dan terus menuangkan ide-ide yang mengalir. Aku patrikan ide yang berdatangan dalam kepala ke atas kertas bekas. Itu sudah cukup. Dan, semoga berguna. Ya, seperti tulisan ini! 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL