MENJADI PETANI KECIL
Pada bulan Juni sembilan lima aku beserta istri dan anak-anak menengok melancong ke Kupang. Waktu itu adalah libur panjang sekolah. Bagiku ini adalah pulang kampung. Kembali merajut nostalgia masa lalu.
Tetapi bagi istri dan
anak-anak ini adalah piknik-melancong-berdarmawisata. Selama aku berumah tangga
baru kali ini aku memboyong mereka. Aku memperkenalkan mereka kepada sanak
saudara di Noekele. Kupang. Timor. Nusa Tenggara Timur.
Kami berempat ke Kupang dengan
uang tabungan yang kami sisihkan. Sejak beberapa tahun sebelumnya kami telah
menyisihkan sedikit demi sedikit. Kami menggunakan Sempati Air. Waktu itu
maskapai ini memberikan harga khusus bagi guru dan keluarganya. Jadi murah
sekali.
Kami memilih lewat udara
karena Rommy, putraku, masih berumur delapan bulan. Ada kapal laut yang bisa
membawa kami ke sana. Namun kami, aku khususnya tidak tega. Rommy rewel bukan
main. Bisa sangat mengganggu tetangga di dek
(kelas ekonomi).
Kami menghabiskan waktu
dua minggu di Kupang. Selama liburan itu aku bertemu dengan kakak kelas waktu
di FPOK-IKIP Jakarta. Ia menawariku pekerjaan sebagai dosen di UKAW
(Universitas Kristen Artha Wacana).
Drs. Oktovianus Fufu dan
beberapa rekannya sedang merintis program Pendidikan Jasmani di FKIP UKAW. Aku
tertarik. Dia berjanji akan memberiku kabar kalau aku sudah kembali ke Jakarta.
Setelah berada kembali di
Jakarta aku mendapat surat dari Bung Okto. Kami biasa memanggil Drs. Oktovianus
Fufu demikian sejak di kampus dulu. Surat itu sampai padaku di awal bulan
Agustus.
Isinya agar aku segera
kembali ke Kupang untuk menangani proyek di UKAW. Aku sangat gembira waktu
menerima surat itu. Rasa riang itu meletup-letup di dalam dada. Aku memang
lebih suka di daerah pedalaman dari pada di kota.
Pada dasarnya aku senang
dengan alam pedesaan. Maka ketika mendapat tawaran Bung Okto aku langsung oke.
Kegirangan itu seolah menutupi nalarku. Aku tidak sempat memikirkan atau
mengantisipasi hal terburuk yang bakal terjadi.
Aku pun tidak
berkonsultasi dengan istri. Aku tidak memperdulikan karir dan prestasi kerja
yang sudah kuukir. Yang ada dalam pikiranku waktu itu adalah berkarir sebagai
guru ‘besar’ sambil menjadi petani kecil di desa terpencil. Di kampung.
Padahal aku sudah
memiliki karir dan prestasi mengajar yang baik selama berjuang di Jakarta. Selain
prestasi yang telah kuraih, aku dan istri juga sudah memiliki penghasilan yang
cukup.
Kami berdua juga telah
memiliki sebuah rumah kecil di daerah timur Jakarta. Kendati pun kami harus
mencicil setiap bulan. Hal ini juga aku tidak mempertimbangkannya. Keputusan
telah kuambil. Pulang. Kembali ke kampung halaman untuk membangun daerah.
Begitu idealisme yang ada di kepalaku.
Tanggal lima belas
Agustus sembilan lima aku dan adikku, Sua berangkat. Ia sedang berlibur ke
Jakarta bersamaku waktu aku kembali dari Kupang. Kami bertolak dari Tanjung
Priok Jakarta menuju Tenau Kupang dengan Kapal Motor Dobonsolo.
Tiga hari sebelum
meninggalkan Jakarta aku telah memaketkirimkan semua barang. Termasuk
barang-barang elektronik, seperti: TV, computer, tape recorder, dan satu set sound
sistem sebagai ‘kekayaan’ yang aku punyai.
Istri dan kedua anak
kami, Lorrinne & Rommy menyusul. Mereka baru berangkat beberapa waktu
kemudian setelah transaksi penjualan rumah selesai. Tetapi proses penjualan
rumah terlalu lama.
Istriku memberi
rekomendasi dan kuasa kepada saudaranya untuk melanjutkannya. Mereka, anak
& istriku menyusul ke Timor pada bulan September akhir tahun sembilan lima.
Comments
Post a Comment