PASAR BARU

“Kamu bisa nggak, nyetir?” Tanya lelaki hitam berambut keriting dari balik stir kepadaku. Ia adalah sopir sebuah angkutan umum. Mikrolet M 12. Mikrolet M 12 ini setiap harinya melalulalangi rute: Kota – Senen, via Harco Pasar Baru.

Aku adalah salah seorang penumpang yang sering menggunakan jasa angkutan itu. Siang itu aku duduk di belakang sang sopir. Suatu siang yang merupakan hari naas. Tapi juga bermakna historis bagiku.

Kenapa merupakan hari naas sekaligus bermakna historis? Sila menelusur alur tuturku berikut!

Aku mengajar di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mengajar Olahraga. Tempat tinggalku di Kota, Jakarta Barat. Masuk sekolah pukul tujuh pagi. Pulang jam 13.30. Waktu tempuh sekitar satu jam.

Berarti setiap hari aku menghabiskan waktu di perjalanan kurang lebih dua jam. Itu kalau jalanan lancar. Kecuali hari Minggu dan hari libur. Kebiasaanku menghabiskan waktu di perjalanan di atas angkutan umum ini adalah membaca atau tidur. Tergantung kondisinya.

Kalau berangkat pagi masih segar bisa baca. Tetapi pulang siang tenaga telah terkuras. Capek plus ngantuk. Maka agar dapat mengaso aku lebih sering menggunakan M 12. Angkot dari Senen ke Kota daripada kendaraan umum lainnya. Mobilnya tidak penuh. Bisa duduk bersandar dengan nyaman.

Hari itu aku merasa capek yang teramat sangat. Karenanya baru beberapa menit di dalam mikrolet aku tertidur. Pulas. Sampai di Pasar Baru jalanan macet. Mungkin karena alasan setoran sang Sopir ngotot. Ia tak mau mengalah.

Ia menyerobot ke kiri atau ke kanan sesukanya. Ia ingin mendahului kendaraan lain sesempit apapun jalan di depannya. Jalannya angkot itu kadang ngebut. Kadang pelan secara mendadak. Situasi seperti itu membuatku terusik. Aku kaget dan terbangun.  

Tapi kemudian aku tertidur kembali. Ia terus ngotot ingin selalu terdepan. Sedemikian ngotot sampai mobilnya seolah menempel menyambung dengan mobil yang ada di depannya. Ia membuat seperti tidak ada jarak. Tidak ada cela yang kecoa pun susah lewat saking rapatnya.

Setelah melewati jembatan penyebrangan Harco Pasar Baru, Jakarta Pusat ia semakin bringas. Di depan lorong menuju Toy’s City ia memacu kendaraannya dengan cepat sekali. Ia ingin mendahului sebuah kijang metalik di depannya.

Ia berusaha melewati dari sisi kanannya. Akibat terlalu ke kanan ia nyaris menghantam pagar pembatas jalan. Ia pun refleks menginjak rem dan berhenti mendadak. Semua penumpang yang ada di dalamnya gonjang-ganjing tak karuan dibuatnya.

Aku terbangun kaget. Aku hampir terpental ke luar. Untung kaki kananku menahan laju badanku di daun pintu. Darahku mendesir cepat. Jengkel dibuatnya. Jengkel karena nyaris celaka dan jengkel karena ‘jam tidurku’ terganggu.

“Bang! Hati-hati, dong!” Bentakku sambil menyeka keringat yang membasahi wajah dan tanganku. Aku juga melap air bening kental yang mengalir dari sudut bibir saking lamanya terlelap. Ia tidak marah. Reaksinya kalem, tapi nyelekit.

“Bisa nggak, nyetir?” Balasnya dari balik kemudi tanpa menoleh padaku.

Aku bagai terkena uppercut maut yang melumpuhkan. Aku mati langkah. Terdiam menyimpan dendam. Aku memang tidak bisa menyetir mobil. Seumur hidupku aku tidak punya niat untuk bisa mengendarai mobil sendiri.

Ngapain belajar nyetir! Mobil saja tidak punya, kok!” Pikirku demikian. Tapi setelah kejadian itu hati kecilku tersinggung berat. Aku berubah pikiran ingin belajar menyetir mobil. Aku harus bisa menyetir mobil bagaimanapun caranya.

Sejak saat itu aku selalu memohon kepada setiap teman yang kukenal. Mereka yang kebetulan mempunyai mobil untuk mengajariku. Tapi setiap aku memintanya mereka tak pernah menggubris. Rasa sakit semakin bertambah.

Meskipun demikian motivasiku tak menjadi kendor. Ia justru semakin tinggi dan kuat sekali untuk bisa. Aku semakin tertantang untuk menguasai keterampilan satu ini. Keterampilan menyetir mobil. Keterampilan yang dulunya kuanggap tidak penting.

Tanpa malu aku meminta muridku untuk mengajariku. Aku tidak mengintimidasi. Aku hanya memohon kerelaannya mengajariku. Iapun tanpa beban dengan sukarela mengabulkan-melakukannya.

Dan dia mau mengajariku cara berkendara mengendali kemudi. Ia mengajariku menyetir menggunakan mobilnya. Sebuah mobil van Daihatsu Zebra. Itu bakal menjadi pengalaman pertama sekali aku memutar atur stir.

Sepulang sekolah kami berangkat menuju kawasan elit di Kelapa Gading. Villa Gading Permai. Lokasinya hanya berjarak satu kilometer dari sekolah tempatku mengajar kala itu. Waktu itu kawasan tersebut sedang dalam proses pembangunan.

Bangunannya juga masih sedikit. Hanya para tukang yang bersibuk-sibuk bekerja. Jalannya lebar dan mulus. Cocok untuk latihan menggelindingkan mobil. Sangat sesuai untuk belajar menyetir bagi mereka yang nol besar macam aku.

Selama dalam perjalanan menuju ‘tempat latihan’ itu dia yang menyetir. Aku duduk di sampingnya. Aku dimintanya untuk memperhatikan apa yang dia lakukan. Sambil dia juga menerangkan secara gamblang apa dan bagaimana.

Dengan kepatuhan dan perhatian penuh aku ikuti semua yang dikatakan dan ditunjukkan. Mata dan nalarku mengikuti semua gerak-gerik yang ia lakukan. Sesekali aku bertanya bila yang kulihat tak kupahami.  

Ketika berada di pertengahan sebuah tanjakan kecil ia berhenti. Ia membuka pintunya dan keluar dari mobil.  Sebelum ia menutup pintunya ia berkata sambil menunjuk kursinya yang sudah kosong.

“Silakan, Pak.” Serunya memintaku mengisi jok di balik stir. Ia lalu melangkahkan kakinya dan berjalan ke arahku mengitari bemper depan. Aku terpaksa bergeser berpindah ke arah kananku. Duduk di posisinya dan dia di posisiku semula. Aku keringat dingin.

“Silakan, Pak!” Untuk kedua kalinya ia mempersilakan.

Gimana?” Tanyaku gugup setelah ‘mendiami’ joknya yang sudah tak ‘berpenghuni.’

“Bapak bisa naik motor laki, kan?

Tanpa butuh banyak waktu, aku bilang: “Bisa!”

“Sama aja,” katanya memberi dorongan.

Injak kopling, masuk gigi satu, dan gas pelan-pelan. Udah.” Ia menerangkan lebih detail. Dengan taat aku turuti petunjuknya.

Oke. Langsung enak. Langsung bisa maksudku. Hari itupun aku berkeliling areal itu dengan riang bukan kepalang. Walaupun jalannya mobil masih seperti kuda ngambek. Tersendat-sendat.

Tapi paling tidak sudah ada rasa percaya diriku untuk membalas sakit hati. Aku siap membuktikan kepada sang sopir yang pernah menelanjangi harga diriku itu. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku pun bisa menyetir.

Dengan bekal ‘keterampilan’ yang baru aku miliki ini aku ingin revans. Setiap hari bila bepergian dengan M 12 mataku selalu mengawasi mencari sopir brengsek itu. Sopir yang pernah meng-KO-ku.

Tapi apa mau dikata, apa boleh buat. Sampai kini aku tak pernah melihat batang hidungnya lagi. ‘Musuhku’ itu tak pernah kutemui. Namun aku sungguh bersyukur. Karena melalui kejadian itu aku bisa memperkaya diri dengan satu keterampilan lagi. Keterampilan yang tak perlu, tak penting tadinya. Menyetir mobil. 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL