SEKRETARIS
Pada suatu rapat Dewan
Guru SMA Tunas Karya aku ditunjuk sebagai sekretaris. Aku divitakompli sebagai
sekretais panitia Ebta/Ebtanas tahun akademik sembilan dua sembailan tiga. Itu
suatu kehormatan tapi tantangan berat buatku.
Tugas yang harus kuemban
adalah menangani masalah surat-menyurat, menyiapkan laporan-laporan berupa
uraian dan angka-angka. Aku terperangah mendengar keputusan itu. Persoalannya
aku tak mampu mengoperasikan komputer.
Melihat kegelisahanku,
teman yang duduk persisi di sebelahku menyikut dan berkata: “Tenang Joy, terima
aja.” Sarannya tanpa beban. Dia tidak
tahu kalau aku seperti ditiban papan yang berjibun.
Di luar ruangan baru aku
jelaskan duduk masalahnya kepada temanku yang menyikut tadi, Drs. Rudi Buntoro.
Aku memberitahukannya bahwa aku buta soal komputer. Aku belum pernah bekerja
menggunakan mesin tulis kotak berkaca itu.
“Gimana gua bisa jadi sekretaris?” Begitu keluhku. Mendengar keluhan
itu dia tidak berempati dan mengasihaniku. Ia justru mendorong dengan kata-kata
yang lumayan menyayat. Karena kami sahabat yang karib, dia sengaja menyayat
hayatku agar kubangkit.
“Belajar dong. Gua aja bisa, masa elu kagak.”
Aku tersentak tertempelak. Wow, sebuah dorongan yang menohok harkat
kemanusiaanku. Aku seperti didorong dari lantai empat belas. Ya, aku harus
belajar.
“Kalau dia bisa, aku pun
harus bisa. Tidak ada pilihan lain,” gumamku menahan geram. Aku sungguh
bertekad menelanjangi kebodohanku sendiri. Semoga ada teman berkenan dan mau
menolongku.
Mulailah setiap hari aku
tongkrongi orang yang lagi
mengoperasikan komputer di saat tidak mengajar. Apakah di kantor tata usaha
atau di ruang belajar/kelas (komputer) bersama siswa.
Aku benar-benar menelanjangi
segala kebodohanku dengan bertanya sedetail mungkin. Semua yang tidak kuketahui
dan yang asing bagiku aku tanyakan tanpa malu. Aku bertanya pada guru komputer
atau murid yang kutemui yang kuanggap pandai dalam hal ini.
Tak dinyana kami, guru-guru
yang mau ditawari belajar komputer secara gratis. Penawaran ini dari dari BKN
(Bina Komputer Nusantara). BKN adalah lembaga yang memberi pelajaran komputer
di sekolah kami (SMA Tunas Karya).
Rencana dan rancangan
lama belajarnya akan berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Aku tidak
menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Syukur aku bisa mengikuti dan mencernanya
dengan baik. Walaupun terasa sulit pada awalnya.
Setelah kursus percaya
diriku bertambah. Pekerjaan sebagai sekretaris yang diembankan kepadaku dapat
aku selesaikan dengan baik. Selain itu, sebagai wali kelas aku mencoba
memanfaatkan ‘kotak ajaib’ itu untuk meringankan tugasku.
Aku merancang leger (daftar nilai) sebelum dipindahkan
ke buku rapor. Hasil rancanganku menjadi contoh bagi teman-teman walaupun tidak
sempurna. Kebanyakan rekan guru mempelajarinya dariku. Dengan sukarela aku
mengajarkan. Gratis. Tanpa bayar.
Aku bangga karena aku
yang dianggap anak bawang dapat berbuat sesuatu yang berguna. Sebagai
sekretaris, aku dianggap cukup berhasil. Itupun mungkin dipicu oleh hinaan
(baca: tantangan) dari temanku. Thank
you, brother Rudi!
Waktu di Kelapa Gading
itu aku gunakan komputer ‘jangkrik’ yang notabene belum terlalu canggih. Lain
lagi ceritanya ketika aku bergabung di SHB. Semua komputernya – menurut
ukuranku – canggih sekali. Semuanya pakai ‘tikus’ – Mouse.
Aku bengong (ternganga) menyaksikan mesin-mesin itu. Kembali aku
seperti terpuruk ke titik beku. Walaupun aku pernah belajar, namun melihat
komputer Macintosh aku bingung. Aku
belajar lagi. Aku telateni lagi
seperti dahulu. Syukurlah, aku bisa.
Setelah mampu
mengoperasikan mesin-mesin macintosh
itu, aku sekali lagi membuat terobosan baru. Sementara semua teman guru
memberikan laporan nilainya secara manual (tulis tangan), aku mengerjakannya
dengan ‘kalkulator’ besar, komputer.
Seperti di Tunas Karya, teman-temanku pada ‘menyontek’ dan meng-copy cara dan hasil kerjaku. Sampai di sini aku dapat membuktikan dan membenarkan kata-kata lawas sarat motivasi nan keren ini: “Where there is a will, there is a way.”
Comments
Post a Comment