SEPEDA

Laju sepeda kumbang di jalan berlubang

S’lalu begitu sejak zaman Jepang

Itu sepeda butut dikebut lalu cabut

Kalangkabut sampai kentut

 

Penggalan syair di atas kukutip dari lagu gubahan Iwan Fals yang bertajuk “Umar Bakrie.”Lagu ini menceritakan tentang seorang guru yang pegawai negeri. Ia hanya mempunyai upah kecil sekali tapi masih pula gajinya dikebiri. Disunat. Dipotong.

Seorang guru yang setiap harinya hanya mampu menggunakan sepeda. Ia hanya mampu bersepeda ke ‘ladang’ untuk menanam ‘benih-benih’ kecerdasan. Benih kecerdasan kepada para siswa asuhannya. Anak-anak calon pemimpin bangsa.

Sebagaimana Umar Bakrienya Iwan Fals, akupun demikian. Hanya bedanya ia pegawai negeri sementara aku pegawai swasta. Ia pakai sepeda kumbang butut, aku pakai sepeda gunung. Kereta angin mentereng.

Sepeda yang kunaiki tidak butut. Tapi kalau semakin cepat kukayuh semakin kencang pula kernyitannya. Bunyi-bunyi yang membising datang dari seluruh tubuhnya. Membuat semua orang yang kulewati terganggu dengan kebisingannya.

Umar Bakrie memacu sepedanya ngebut sampai terkentut-kentut karena takut. Aku tidak sampai kentut. Kecuali kalau lagi masuk angin dan mulas. Aku hanya menggelinding santai. Tak ada yang perlu kutakuti. Aman!

Lagu ini menggambarkan hidupku yang sesungguhnya. Setiap hari aku pergi pulang sekolah dan rumah naik sepeda. Aku mengayuh sepeda memenuhi menghiasi jalan di kota modern. Dandananku selalu tetap. Sama.  

Topi menancap di kepala, kaos plus jaket dan training spak (celana) menutupi tubuh. Warna pakaianku tak jarang saling bertabrakan. Aku tak menghiraukan. Sepatu kets serta ‘asesoris’ tas yang menyelempang menggelantung menempel di punggung.

Aku mengayuh sepeda melalui jalan-jalan setapak di kampung tempatku mengontrak rumah. Aku melintasi jalan-jalan utama di jantung kota modern Tangerang, Banten. Berangkat pagi dan pulang sore sambil bersiulkan nada-nada lagu Umar Bakrie.

Sekembali dari ‘perantauan’ selama tiga bulan di Kupang aku menganggur total. Demikian juga istriku. Untuk kembali mengajar di sekolah yang dahulu, tak mungkin. Terlanjur malu.

Jadilah kami berdua para sarjana pengangguran dengan tanggungan dua jiwa lainnya. Untunglah rumah baru terjual sepulangnya kami. Dengan uang hasil penjualan rumah itu kami bisa bertahan hidup hingga aku mendapatkan pekerjaan di Tangerang, Banten.

Awalnya kami tinggal di Bojong-Rawabuaya Cengkareng, Jakarta Barat. Tetapi karena jarak tempuh antara rumah dan sekolah tempatku mengajar terlalu jauh, aku pindah. Aku memboyong keluargaku dari Bojong ke lokasi yang lebih dekat dengan ‘ladangku.’

Faktor utama yang mendorongku untuk pindah alamat karena: Ongkos, waktu, dan tenaga. Semua faktor itu cukup berpengaruh pada kesehatanku. Untunglah istriku bijaksana dan mau mengerti.

Sudah dekat dengan sekolah bukan berarti ekonomiku makin mantap dan berlebihan. Tidak. Justru untuk pemulihan kondisi ekonomilah aku menggunakan sepeda. Satu-satunya kendaraan termahal pemberian istriku dari uang hasil jual rumah.

Berharap dengan mengendarai kereta angin ini ekonomiku kembali bangkit. Bisa kembali pulih. Sehat seperti sedia kala.  Aku Berusaha menyisihkan sedikit demi sedikit setiap bulannya dari uang transporku. Darinya aku dan keluarga kecilku bisa bertahan hidup.

Aku terpaksa harus mengalahkan rasa maluku. Sekalipun harus melewati rumah-rumah mewah di kawasan elit Modernland. Kawasan yang sebagian besar penghuninya adalah murid-muridku.

Kadang aku harus membuang perasaan minder sekalipun beriring berdampingan dengan mereka. Beriringan dengan mobil-mobil luks yang di dalamnya ada murid-muridku. Dari sana ada satu atau lebih pasang mata sedang menatapku.

Mata mereka dan/atau orangtuanya mengikutiku dengan tatapan yang aneh. Tak jarang pula aku harus mengebiri rasa dina dan papa ketika harus menstandarparkirkan sepedaku. Karena sepedaku berada di antara ‘rimba’ mobil-mobil mahal. Mobil bermerek terkenal milik anak-anak muridku. Apa boleh buat! The show must go on!

“Pak, kenapa nggak pake motor?” Tanya salah seorang muridku suatu ketika sepulang sekolah. Ia sedang menunggu mobil yang akan membawanya pulang. Kendaraannya banyak. Ia sering berganti-ganti mobil. Terhenyak terhentak aku mendengar pertanyaan itu.

Tapi dengan santai kujawab: “Bapak bukannya nggak bisa beli.” Belum selesai kalimatku ia sudah nyeletuk lagi: “Trus?” Lanjutnya tak sabar. “Nggak punya uang.” Mendengar jawabanku itu ia diam. Mungkin bingung. Mungkin heran. Atau tak percaya. Entahlah!

Yang jelas pembicaraan tentang sepeda tidak berlanjut. Berhenti terputus begitu saja. Kami pun akhirnya berpisah. Ia pulang dengan BMW. Aku juga. Maksudnya aku juga pulang dengan mengendarai sepeda reot. 

Comments

  1. Kisah yang menarik dan penuh perjuangan,,,, satu keyakinan bahwa perjuangan dan kerja keras akan menghasilkan buah yang manis, apalagi disertai dengan rasa syukur Untuk apapun yang kita terima...

    ReplyDelete
  2. Amin! Terima kasih, Abang. Sudah mampir dan tinggalkan jejak. Gb!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL