KARYA SPEKTAKULER MONUMENTAL
Aku tidak berhenti
mempertajam ‘naluri penciuman’ dan mempercantik ‘indera pelacakan’ dalam
duniaku ini. Dunia mengajar. Walaupun aku telah mendapat pengakuan dari sesama
‘bus kota.’ Pengakuan dari rekan-rekan guru di lingkunganku.
Pengakuan yang kumaksud
adalah mereka tidak meremehkanku karena aku guru olahraga. Sebuah mata
pelajaran pendukung bukan penentu. Pengakuan itupun hanya di lingkungan di mana
aku ada. Tidak berskala luas. Bukan juga pengakuan yang dilambangkan dengan
penghargaan atau hadiah.
Pengakuan itu semakin
memicuku untuk terus berkarya. Yaitu menghasilbuahkan karya-karya
bermutu-bergengsi. Bermutu menurut ukuranku sendiri. Bergengsi sebatas tembok
sekolah tempatku ‘mengais’ rejeki.
Aku menyebutnya karya
spektakuler monumental. Spektakuler karena belum pernah ada yang melakukan
sebelumnya di kalanganku. Dan monumental karena karya itu menjadi semacam acuan
keberhasilan dalam penyelenggaraaan berikutnya.
Jadi spektakuler
monumental menurut ukuran di kalangan sendiri. Di tempat di mana aku bergabung
dan tercatat sebagai anggota komunitas tersebut. Yaitu di sekolah tempatku
mengabdikan diri mengajar.
Karya pertama, Buku
Tahunan.
Tahun sembilan lima
merupakan tahun cerah-bersinar-benderang. Ia sekaligus menjadi tahun
suram-kelam-mengharukan bagiku. Aku menamai tahun ini sebagai masa cerberder (cerah-bersinar-benderang). Karena
aku dapat mengukir sebuah prestasi gemilang di lingkunganku bekerja, SMA Tunas
Karya.
Prestasi ini yang akan
kuceritakan di sini. Sementara cerita tentang masa surlamhar (suram-kelam-mengharukan) akan kusajikan di bagian lain. Bagian
yang masih berada dalam rangkaian kisahku selanjutnya.
Dra. Lina Susetyanti
sebagai kepala sekolah melihat prestasi kerjaku yang terus meningkat dari tahun
ke tahun. Mungkin! Maka kali ini ia memberiku kesempatan memimpin mengkoordinir
penyelenggaraan kegiatan wisuda. Yaitu upacara pelepasan siswa di penghujung
tahun akademik sembilan empat sembilan lima.
Maaf pembaca aku kurang
tahu pasti kenapa beliau memberiku kesempatan itu. Apakah mengikuti suatu
rotasi dan kebetulan ini saatku? Atau apakah aku mampu menangani masalah dan
kuselesaikan dengan baik?
Entahlah! Aku tidak
diberitahu. Tapi sebagai seorang prajurit sejati aku menerima saja perintah. Aku
berusaha melaksanakan dengan baik setiap tugas yang diembankan padaku. Sepanjang
karirku aku tak pernah menolak tugas apapun.
Aku
mengamati-mempelajari konsep dan sistematika penyelenggaraan di tahun-tahun sebelumnya.
Aku tergelitik untuk menyusun dan menampilkan satu format baru ‘menjual’
sekolah ini. Membuat Buku Tahunan.
Buku itu tidak hanya
memajangpamerkan gambar wajah-wajah ganteng dan ayu. Tetapi ia juga harus menjadi
sebuah media yang sarat informasi. Ia akan menghimpun dan menyebarkan informasi
secara kualitatif maupun kuantitatif.
Aku merancang bentuk dan
model sampulnya, konten atau muatan isi dan lay
out (tata letaknya). Perancangannya kulakukan seorang diri. Murni hasil
kreasi dan usaha kerasku.
Aku juga menghasilkan
beberapa artikel standar tentang sekolah ini. Artikel yang memenuhi buku
tersebut. Salah satunya adalah tentang sejarah berdirinya SMA Tunas Karya. Barangkali
formatnya tetap dipakai sampai sekarang dengan beberapa pengembangan.
Artikel itu kuberi
judul: Sekelumit Sejarah SMA Tunas Karya.
Yaitu tentang kapan dan bagaimana sekolah itu ada. Aku berkonsentrasi mengerahkan
segala kemampuan dan keterbatasanku mengerjaselesaikan buku itu. Sedikit
bernada sombong agar pembaca kagum biarlah kubilang: Aku habis-habisan.
Aku menyusun bagian per
bagian dengan bergradasi. Kuawali buku itu dengan suatu perjalanan napak tilas.
Mula pertama berkiprahnya sekolah ini. Dan kuakhiri dengan salam perpisahan
yang bernuansa permenungan. Sebuah ajakan yang menyentuh afeksi dan logika
pembaca.
Setiap bagian dari buku
tersebut memiliki informasi sendiri-sendiri. Ada gambar, komentar dan artikel. Semuanya
itu bertujuan untuk mengedepankan sekolah. Mengedepankan sekolah dalam arti
fisik (sarana prasarana), sistem yang mengikat setiap pelakunya, kurikulum dan
statistika prestasi yang pernah diukir.
Karya yang kedua, Workshop Musik.
Ini adalah suatu
inisiatif yang nekat. Karena aku memprakarsai satu kegiatan di luar ‘areal’
kepiawaianku. Kegiatan itu adalah Festival Band & Workshop Musik. Aku pula yang bertindak selaku konseptor dari
penyelenggaraan acara tersebut.
Ini terjadi di awal
tahun sembilan sembilan. Tepatnya pada tanggal tiga puluh satu Januari. Ketika
itu aku berstatus sebagai guru olahraga di Sekolah Harapan Bangsa (SD – SLTP).
Gedung sekolahnya berlokasi di Jalan Pulau Putri Raya Blok O1 nomor
10 Kota modern Tangerang, Banten.
Kubilang inisiatif nekat
karena berangkat dari nol besar. Nol secara pengalaman menyelenggarakan. Nol
dalam hal dana. Tapi kawan, sekalipun berangkat dari nol besar namun kami dapat
menghadirkan musisi besar bernama Idang Rasjidi.
Ia adalah salah satu
pianis jazz terbaik Indonesia kala itu. Ia bukan saja ahli dalam bidang musik. Tapi
juga dalam beberapa bidang, termasuk pendidikan. Itu terbukti dari gelar yang tertera
di kartu namanya: Dr. Idang Rajidi, M.
Ed., Ph. D., lengkapnya.
Dalam acara tersebut, ia
bertindak sebagai Ketua Dewan Juri dalam festival Band. Dan satu-satunya
pembicara dalam workshop musik. Peserta
yang hadir dan mengikuti acara ini berasal dari Jakarta, Bogor, Tangerang dan
Bekasi. Sekitar dua puluhan sekolah.
Dalam mewujudnyatakan
acara ini aku bukan pelaku tunggal. Aku tidak sendiri. Aku dibantu oleh
rekan-rekanku yang lain. Mereka adalah: Suryadharma A. M. Noya, guru Musik SHB
yang akrab dipanggil Ari. Dan Mudini, guru Olahraga untuk kelas-kelas kecil (1
– 3 SD).
Tapi aku boleh berbangga
karena akulah yang menelorlontarkan ide awal yang edan ini. Ide yang mustahil menurut masyarakat umum di sekolahku
ini. Ya, tidak soal. Maka aku berusaha membuat menyiapkan konsep dasarnya
secara detail. Dan, sukses!
Pembaca yang terhormat,
aku ingin berbagi sedikit informasi tentang kedua temanku ini. Karena mereka
berdua telah menjadi bagian dari sejarah hidupku. Mereka juga menjadi
inspirasiku dalam mengajar.
Ari kini membuka les
musik sendiri khusus instrument musik gesek (biola, dan sejenisnya) di rumahnya
di Cirebon, Jawa Barat. Sedangkan Mudini, kini menjadi dosen Bahasa Inggris di
Universitas Muhammadyah Tangerang setelah menyelesaikan S2 Pendidikan Bahasa Inggris
di Unindra Jakarta.
Kami bertiga sangat
gigih dalam usaha ini walaupun melewati berbagai rintangan. Rintangannya adalah
dalam hal dana dan pembicara. Dari segi dana, sepeser pun tidak dibantu oleh
yayasan atau sekolah. Maka yang kami lakukan adalah ‘memaksa’ beberapa
perusahaan merogoh koceknya untuk mendanai acara dimaksud.
Dari segi pembicara,
kami harus bergadang bermalam-malam bahkan sampai pagi. Kami seperti tidak
memperdulikan kesehatan demi bisa bertemu bapak Idang Rasjidi. Kami bernegosiasi
dan berkonsultasi dengannya. Sangat melelahkan. Makhlum orang sibuk!
Aku bangga. Namun
kebanggaan itu tak dapat kunikmati. Keberhasilan penyelenggaraan itu justru
membukukan nama orang lain. Ia dianggap penentu pencapaian prestasi kerja itu.
Ia dianggap tokoh kunci keberhasilan. Ia mendapatkan penghargaan dari atasan.
Entah dalam bentuk apa?
Sebab kami dijanjikan akan mendapat penghargaan setelah berhasil menyelenggarakan acara Festival Band & Workshop Musik ini. Namun hingga sekarang kami tidak menerima secarik kertas butut pun yang berisi pengakuan atau ucapan terima kasih. Apalagi piagam atau hadiah lain dari pemimpin. Maybe next time!
Comments
Post a Comment