BELAJAR FOTOGRAFI

Pertama kali aku memegang dan menggunakan kamera pada tahun tujuh delapan. Kamera ini aku pinjam dari Papa. Aku pinjam untuk memotret ‘orang besar’ dari ibukota RI. Orang nomor satu yang mengatur kemaslahatan pendidikan Indonesia.

Aku sudah lupa mereknya. Tetapi yang jelas kuingat adalah kamera itu semi-auto. Semi fokus. Kamera Papa ini kecil ukurannya. Tapi bukan kamera poket. Lensanya tidak bisa dibongkar pasang. Dia tetap seperti itu di situ sampai ajal menjemput.  

Di lensanya tertera gambar gunung artinya untuk pemandangan atau pengambilan gambar jarak jauh. Ada gambar dua orang artinya untuk pengambilan gambar jarak sedang. Dan ada terpampang gambar satu orang setengah badang berarti untuk jarak dekat dan close up.

Waktu itu sekolahku, SMP Negeri II Kupang sedang kedatangan seorang tamu agung dari Jakarta, Dr. Daoed Yoesoef. Ia berkunjung ke sekolah kami dengan kapasitas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia.

Maka aku meminjam kamera Papa untuk mengabadikannya. Lumayan untuk kenang-kenangan. Tapi gambarnya yang telah kuambil entah di mana sekarang? Mungkin telah hilang atau dimakan rayap.

Aku tidak membeli film. Sebab masih tersisa beberapa di dalam kamera. Karena kamera itu adalah milik Papa, maka pastilah film yang masih ada di dalam kamera itu milik Papa juga. Ia yang beli. Ia biasa menyisakannya untuk mengambil momen-momen tertentu yang pantas menurut dia.

Dengan berbekal kamera yang sudah ada isi itu aku bergaya. Aku jepret sang Menteri dari segala sudut. Apakah ia sedang duduk, bicara atau berjalan. Semua aku abadikan. Aku berlagak seperti seorang fotografer top atau wartawan foto yang sangat menguasai teknik foto.

Aku berpindah dari satu tempat ke tempat lain membidik kamera. Aku berbaur dengan juru potret lain yang betul –betul profesional. Mereka berasal yang dari ibukota maupun yang lokal. Semua berebut membidik demi mendapat gambar terbaik.

Tidak terasa filmnya habis. Film yang ada dalam kamera tak bisa berputar lagi. Sementara aku tak punya persediaan yang baru. Akhirnya aku tak lagi beraktivitas dengan kamera. Aku hanya menyaksikan saja kegiatan yang berlangsung.

Setelah kukembalikan kameranya, Papa bukannya memuji. Malah sebaliknya memarahiku habis-habisan sampai tuntas. Pangkal persoalannya karena aku menghabiskan sisa filmnya. Ampun dech boss! Sekalipun marah, Papa tetap mencetaknya.

Apa yang terjadi? Dari sekian banyak gambar yang aku ambil, hanya lima lembar yang jadi. Maksudnya ada gambar, walaupun dengan wajah yang terpotong, badan dibelah dan lain-lain. No Problem. Yang penting ada wajah Pak Menteri yang terhormat.

Pengalaman ini adalah yang pertama sekaligus yang terakhir. Setelah itu vakum. Aku tidak pernah lagi menggunakan tustel, sampai aku hijrah ke Jakarta. Aku melanjutkan pendidikan di sana. Pendidikan yang tidak ada kaitannya dengan fotografi.

Kegiatan potret-memotret, mengintip dari balik kamera ini aku ‘tekuni’ waktu aku mampu membeli sebuah tustel bekas. Aku membeli dengan uang pinjaman dari sekolah. Itu aku lakukan untuk mengabadikan anakku, Lorrinne, di hari ulang tahunnya yang pertama bulan April tahun sembilan satu.

Aku tidak mengerti merek dan kualitas. Sama sekali buta pengetahuanku tentang foto. Baik tentang teknik maupun mesinnya. Oleh karena itu aku datang ke toko kamera bekas (loak) di Pasar Baru. Aku hanya sekedar lihat-lihat. Bila ada yang menarik dan dapat disesuaikan dengan ‘ketebalan’ kocek, kubeli.

Ternyata aku ditawari. Penjualnya menerangkan panjang lebar tentang segala keunggulan kamera itu. Aku hanya mengangguk kosong. Sekedar menghidupkan suasana dan biar tetap terjalin kontak atau komunikasi dengan penjualnya. Dan juga agar aku tak dibilang bloon. Padahal ia.

Setelah tawar-menawar, kami sepakat. Aku berikan uangnya dan dia menyerahkan kameranya. Mereknya: Yashica. Berlensa focus 50 mm. Tipe: FX-3 2000. Warna kameranya hitam sempurna. Tidak besar. Sedang-sedang saja.

Sejak saat itu aku giat belajar untuk menguasai teknik foto yang sesungguhnya. Aku membaca majalah atau buku fotografi. Aku juga bertanya pada para professional yang aku kenal untuk menambah pengetahuan tentang foto. Aku pun terus belajar menjiwai kameraku.

Dari belajar keras itu, aku dapat menghasilkan gambar-gambar apik yang bisa kupajang di rumah. Aku menjepret istri dan anak-anakku. Aku senang memajang gambar-gambar mereka. Aku bangga kalau bisa mengahasilgambarkan wajah-wajah mereka. Puas rasanya aku memandang dinding yang bergelantungan potret mereka hasil jepretanku.

Aku memotret manusia, binatang, kembang, dan pemandangan. Apa saja yang kupandang layak untuk diabadikan. Bila artistik menurut ukuranku aku jepret. Itupun kalau ada uang untuk membeli film dan memprosesnya setelah digambar.

Dari semua obyek yang pernah kufoto, pemandangan dan kembang lebih menggoda dan mengusik perhatianku. Menurutku, mereka sangat menantang daya kreativitasku. Sangat atraktif dan indah untuk dipotret.

Padahal menurut teori fotografi yang pernah kubaca obyek foto yang bagus bukan itu. Para praktisi senior di dalam dan luar negeri yang sudah membuana juga mengatakan hal yang sama.

Menurut mereka obyek foto yang paling memiliki nilai seni dan nilai artistik tinggi adalah wanita. Mereka mengatakan, setiap ruas dari tubuh seorang perempuan merupakan obyek foto yang terindah.

Itu sebabnya semoga aku memiliki cukup uang untuk bisa bergaya dengan kameraku. Sehingga aku bisa mengambil gambar istri dan anak perempuanku. Akan aku praktikkan sampai berhasil membuktikan teori itu.

Aku akan menguji kebenaran teori tersebut. Aku bilang ‘kalau cukup punya uang.’  Karena memang fotografi menghabiskan biaya yang besar. Ia merupakan salah satu hobi orang-orang berkantong tebal. Sementara aku sendiri orang yang berkantong tambal. 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL