HARI YANG KUNANTIKAN
Gaudeamus
igitur iuvenes dum sumus
Vivat
qeademia, vivat profesores
…………………………………………….
Dua baris puisi di atas
adalah penggalan lagu ‘kebangsaan’
para akademia (masyarakat ilmiah) yang tersohor. Lagu yang biasa dinyanyikan pada
saat wisuda. Lagu yang mengiringi selama upacara pemeteraian seseorang menyandang
predikat sarjana.
Seseorang akan sampai ke
tahap itu bila telah menyelesaikan proses belajarnya di suatu perguruan tinggi.
Proses belajar yang harus ditempuh selama paling sedikit delapan semester.
Sesudah itu ia siap berkarya di dalam masyarakat.
Aku telah melewati semua
proses itu. Kini pita topi sarjanaku akan dipindahkan dari kiri ke kanan.
Prosesi itu berlangsung di Gedung Serbaguna Fakultas Pendidikan Olahraga dan
Kesehatan (FPOK) IKIP Jakarta. GSB FPOK IKIP Jakarta menjadi saksi bisu tatkala
kami dilantik.
Walaupun pemindahan pita
itu aku (kami, para wisudawan) lakukan sendiri namun berlangsung hikmat. Pelaksanaannya
apik di bawah tuntunan dan komando sang Rektor yang cantik, Prof. Dr. Conny R.
Semiawan. Ia terlebih dahulu mengucapkan kata-kata “keramat” sebelum pita
dipindahkan.
Hari itu adalah Sabtu
tanggal dua puluh tujuh Februari tahun seribu sembilan ratus delapan puluh
delapan. Ya, hari itu aku dilantik menjadi seorang sarjana Sosiologi
Keolahragaan.
Aku dilantik setelah
melewati masa perkuliahan yang panjang dan membosankan. Yaitu selama empat
setengah tahun atau sembilan semester. Sejak Juli delapan tiga hingga Februari
delapan delapan.
Sungguh tak dapat dipungkiri
bahwa upacara itu merupakan suatu kebahagiaan dan sukacita yang tak terhingga.
Sedemikian tak terhingga sampai aku tidak dapat menyatakannya dalam untaian
kata.
Betapa leganya manakala
seseorang telah menyelesaikan suatu pekerjaan yang monoton dan menjemukan. Seperti
mengikuti kuliah sekian lama dalam kurun waktu yang cukup panjang dan dalam
suasana yang itu-itu juga. Tapi syukur sudah dilantik.
Menyandang gelar sarjana
adalah awal dari suatu jenjang karir yang harus ditempuh dalam masyarakat. Awal
dari suatu babak baru. Suatu masa di mana aku harus mampu
mempertanggungjawabkan segala tindakan dan perbuatan.
Tapi okelah, tidak
masalah. Karena itu adalah bagian dari cirikhas orang dewasa. Dewasa secara
fisik, emosi, sosial dan psikis. Sebagai orang dewasa ia harus memiliki
akuntabilitas yang mantap dalam segala hal.
Setelah menggondol gelar
tersebut timbul pertanyaan lain. “Mampukah aku berbicara, berbuat dan bertindak
sebagai seorang sarjana?” Pertanyaan ini mengingatkanku pada saat ujian akhir
salah satu mata kuliah.
Ketika itu salah satu
dosen favoritku yaitu Dr. Arie S. Sutopo menasihatkanku. Ia berkata: “Sebentar
lagi kau akan menjadi seorang sarjana. Berbuatlah dan bersikaplah sebagai
seorang yang berpendidikan/sarjana.”
Beliau mengajar mata
kuliah Ilmu Faal dan Ergofisiologi. Aku suka dengan gaya mengajarnya yang
sederhana tapi sangat bernas berisi. Ia menjadi barometerku mengajar kelak.
Selain Dr. Arie, aku juga mengidolakan Prof. Dr. Bernard Edward Rahantoknam
(almarhum). Ia tegas dan langsung pada sasaran. Tidak mutar-mutar saat
mengajar.
Nasihat semacam itupun
juga diterima oleh Bung Karno. Ia mendapat nasihat itu saat dilantik menjadi
seorang sarjana teknik. Bung Karno diberi nasihat oleh Rektornya. Waktu itu ITB
masih bernama Technische Hoogeschool te
Bandoeng.
Ia berkata: “Ir.
Sukarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di satu saat. Ia tidak
kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal
adalah karakter seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun
sudah mati.”
Jadi, sesungguhnya yang dituntut dari seorang yang menyandang gelar sarjana adalah kepribadiannya yang mantap dan dapat diandalkan. Bukan sekedar sepotong gelar yang tertera di selembar kertas. Semoga aku mampu mengejawantahkannya!
Comments
Post a Comment