RAU KATTU (Bagian III: Jadi Tamu di Ammu Keppue)

Kami berenang dengan ikan besi membelah gelombang samudera selama dua belas jam kurang lebih. Akhirnya kami pun berarak dari dalam perut kapal setelah ia merapat bersandar di dermaga Seba, Sabu. Kami menginjak tanah Sabu pada hari Jumat tanggal 21 Agustus 2020 jam 08.30 wita.

Sebelum meninggalkan dermaga, kami harus disemprot desinfektan dan mencuci tangan. Ini adalah prosedur standar protokol kesehatan masa covid-19. Sesudah itu kami menuju Luibali Mehara, Sawu yang berada di bagian barat pulau. Kami perlu beberapa jeda mempersiapkan kendaraan dan membagi kelompok keberangkatan.

Sekali lagi kami beriring dengan tiga mobil yang mengangkut rombongan. Kendaraan paling depan dikemudikan oleh Mone Ama. Mobil yang di dalamnya ada Rau Kattu dan beberapa pendamping. Kedua mobil lainnya hanya dibolehkan menyertai mengiring di belakang.

Mereka, kedua mobil pengiring itu tidak diperkenankan mendahului kendaraan yang membawa Rau Kattu. Tindakan itu sebagai penghormatan kepada mendiang. Itupun sekaligus sebagai tindakan penyelamatan agar tidak kualat. Intermezzo saja!

Iring-iringan itu menempuh perjalanan menuju Ammu Keppue (rumah tua) di Luibali Mehara selama kurang lebih satu jam. Seharusnya tidak selama itu. Tapi karena ada pelebaran jalan sehingga lalu lalang kendaraan agak terhambat. Khususnya di ruas jalan memasuki dan di dalam Kecamatan Mesara atau Mehara.

Karena sedang dalam pembangunan, maka sepanjang jalan kami harus bermandi debu tanah putih. Jalan yang berkelok mendaki menuruni bukit dan gunung itu menghantar kami sampai di Luibali Mehara. Jam menunjukkan pukul sepuluh kurang beberapa menit saja kami memasuki halaman Ammu Keppue.

Setelah berada di pelataran Ammu Keppue, kami berdiri bersyaf (satu baris panjang ke samping). Sebagai kepala barisan adalah Ha’o Rau Kattu (pembawa/pemegang Rau Kattu). Kemudian berdiri di sebelah kanannya, Mone Ama yang diikuti anggota rombongan lainnya berjejer berurut ke sebelah kanan.

Sesudah semua rapi berdiri dalam posisi bersyaf, diadakanlah apa yang mereka sebut Happo Hawu. Yaitu semacam upacara menerima orang atau anggota  keluarga yang baru pertama kali datang.

Yang bertindak sebagai penerimanya adalah Mone Matta Para Ammu. Dia adalah orang yang menjadi tuan rumah dan sekaligus sebagai pemimpin di Ammu Keppue. Orang yang diberi tanggung jawab sebagai Mone Matta Para Ammu adalah orang yang paham silsilah keluarga. Dalam hal ini adalah silsilah keluarga besar Djami.

Setelah upacara Happo Hawu selesai, kami diperkenankan masuk ke rumah tua, Ammu Keppue. Ha’o Rau Kattu mendahului kami semua termasuk Mone Matta Para Ammu. Satu persatu kami menaiki tangga menuju ‘aula’ rumah panggung tersebut.

Pembaca yang terhormat, ijinkan saya gambarkan sedikit mengenai Ammu Kepue.

Bentuk rumahnya oval memanjang ke arah matahari terbit dan terbenam. Ia berbentuk rumah panggung bertrap atau bertingkat tiga. Trap/tingkat pertama semacam terasnya yang dalam bahasa Sabunya disebut Kelaga Rai. Trap kedua, Kelaga. Dan trap ketiga, Dammu.

Kelaga Rai (teras) berfungsi sebagai ruang tamu. Yaitu tempat untuk menerima tamu. Selain itu, ia berfungsi juga sebagai tempat untuk makan dan minum, tidur siang, dan sebagai tempat untuk menenun. Menenun kain tradisional Sabu: Selendang, sarung untuk perempuan dan kain/selimut untuk lelaki.

Trap atau tingkat kedua itulah ruang utama dari Ammu Keppue. Ruang utama ini dalam bahasa Sabu disebut Kelaga. Kelaga ini terdiri dari dua bagian, yakni: Kelaga Ae dan Kelaga Raha.

Kelaga Ae berfungsi sebagai tempat beristirahat pada malam hari dan untuk menyimpan barang-barang penting. Biasanya juga berfungsi sebagai tempat ritual adat. Sedangkan Kelaga Raha merupakan tempat menyimpan periuk tembikar yang berisi gula air. Ia juga menjadi tempat menyimpan bahan makanan lainnya, serta perabot makan.

Trap atau tingkat ketiga disebut Dammu. Trap ini layaknya balkon di rumah-rumah pada umumnya. Jadi tidak luas seperti lantai di bawahnya. Dia hanya berukuran antara 75 cm hingga satu meter lebarnya dari atap ke dalam. Ia merupakan tempat menyimpan barang-barang atau perlengkapan ritual adat.

Dalam budaya Sabu, Ammu Keppue selalu menghadap ke Utara atau Selatan saja dan hanya memiliki dua pintu utama. Satu pintu sebagai akses masuk. Dan satu lagi sebagai akses keluar. Masing-masing pintu mempunyai namanya yaitu: Duru (Uba Kelae Duru) dan Kopo (Uba Kelae  Kopo).

Penentuan nama pintu sangat tergantung pada posisinya, menghadap ke mana Ammu Keppue itu. Bila menghadap ke Utara maka Uba Kelae Duru berada di bagian barat dan Uba Kelae Kopo di sebelah timur. Jika menghadap ke Selatan berarti sebaliknya, Uba Kelae Duru di Timur. Sedangkan Uba Kelae Kopo di Barat.

Kebetulan Ammu Keppue milik keluarga besar Djami di Luibali Mehara menghadap ke Selatan. Maka dengan sendirinya Uba Kelae Duru berada di Timur. Dan di bagian Baratnya adalah Uba Kelae Kopo.

Semua konstruksi Ammu Keppue dibuat dari bahan-bahan alam yang diambil dari lingkungan sekitar. Bahan-bahan itu terdiri dari: Kayu akasia, papan atau balok dari pohon lontar, bambu, dan daun lontar. Pembangunan rumahnya tanpa menggunakan paku. Hanya dengan ikatan dari rotan dan/atau sejenisnya.

Kayu akasia dipakai untuk tiang penyanggah. Sebagai sokoguru Ammu Keppue. Semua beban rumah ada padanya. Balok dari bongkahan lontar dipakai sebagai penyanggah atap dan papan dari lontar untuk lantai. Bambu dipakai sebagai tempat untuk mengikat daun lontar yang menjadi atapnya.

Pembaca yang budiman! Selanjutnya Ha’o Rau Kattu (pemegang atau pembawa rambut mendiang) meletakkan kedua wadah yang dibawa dari rantau (Kupang). Ia meletakkannya di lantai dekat tiang utama bagian timur yang disebut Latarru.

Wadah pertama berisi: Celana dan sarung yang dikenakan saat mendiang putus nyawa, sirih dan pinang. Sebagai perlambang orang yang pernah lahir dan sekarang sedang sakit, diletakkan di sebelah kiri Latarru.

Wadah kedua berisi: Kayu cendana, buah pala, baju yang dikenakan saat putus napas, hahabok (alat penumbuk sirih pinang almarhum) atau dalam bahasa Sabunya disebut nalehu, permen, air mineral dan sirih pinang. Ini sebagai perlambang orang yang telah meninggal dan akan dikubur, diletakkan di sebelah kanan Latarru.

Setelah semua anggota rombongan sudah berada di Kelaga (ruang utama), acara ritual Rau Kattu pun dimulai.    

 

 Tilong-Kupang, NTT

Kamis, 27 Agustus 2020 (23.28 wita) 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL