RAU KATTU (Bagian I: Persiapan)
Hari Rabu tanggal 19
Agustus 2020 adalah pertemuan persiapan yang ketiga. Persiapan terakhir sebelum
berangkat membawa Rau Kattu ke Sabu. Pertemuan
pertama dan kedua telah dilaksanakan beberapa hari sebelumnya.
Pertemuan pertama hanya
khusus di lingkup keluarga yang berduka. Pembahasannya adalah persiapan apa
saja yang harus dibawa ke Sabu. Bawaan yang dimaksud adalah yang berhubungan
dengan upacara Rau Kattu itu.
Pertemuan kedua adalah
pertemuan yang melibatkan kerabat yang lebih luas. Dan dalam pertemuan itu, Mone Ama yang memimpin dan mengarahkan
acara dimaksud. Ia akan menanyakan dan meneliti segala persiapan yang telah
dilakukan. Apakah sudah sesuai dengan yang dimintakan atau tidak. Dan
seterusnya.
Mone Ama adalah orang yang dituakan dalam sebuah klen atau keluarga
Sabu. Ia adalah sesepuh, seseorang yang memiliki kharisma kepemimpinan dan
pengaruh yang kuat. Dalam hal ini, klen Djami dikomandani Drs. Dumulyahi Djami,
M.Si.
Pertemuan ketiga ini hanya
semacam pengecekan final. Pendataan tentang barang yang dibawa. Siapa saja yang
berangkat? Dari mana atau di mana titik kumpulnya? Berangkat jam berapa dan
pakai apa?
Finalisasi ini
dimaksudkan agar tidak ada sesuatu apapun dari segala persiapan yang tercecer
tak tertata. Selain itu juga agar proses keberangkatan senantiasa dalam
kebersamaan kesatuan. Artinya bergerak dalam satu waktu, satu rombongan, satu
komando oleh Mone Ama.
Kotak atau wadah Rau Kattu yang akan dibawa ke tanah
leluhur berisi: Baju, celana dan sarung saat meninggal; kayu cendana; buah
pala; kelapa kering/kopra; hahabok
(alat tumbuk sirih pinang); air mineral; permen; dan foto mendiang.
Kemudian barang bawaan
yang berhubungan dengan upacara atau prosesi Rau Kattu di Sabu antara lain: Babi; beras; kopi, teh, dan gula;
rempah-rempah dan bumbu masak; pinang, sirih dan kapur. Semua ini untuk menjamu
tetamu yang datang.
Sedangkan rombongan yang
akan berangkat berjumlah kurang lebih dua puluh orang. Terdiri dari Mone Ama
sebagai pemimpin; anggota keluarga inti (anak, menantu dan cucu ) dari mendiang
Lakki Jira, nama Sabu dari Leonard Djami; penjemput pengantar Rau Kattu dari Sabu; dan kerabat
lainnya.
Pembaca yang terhormat! Apa
itu Rau Kattu? Dua kata bahasa Sabu
ini memiliki makna yang telah menyatu terinternalisasi dalam masyarakatnya,
Sabu. Ia memiliki makna secara harafiah dan juga makna filosofis.
Pengertian harafiah dari
Rau adalah rambut dan Kattu artinya kepala. Jadi Rau Kattu berarti rambut kepala atau
rambut yang tumbuh di kepala. Secara filosofis, kedua kata ini bermakna orang
Sabu di manapun ia ada, suatu saat nanti ia harus kembali ke tanah kelahirannya
(tempat leluhurnya) yaitu Sabu.
Rau Kattu adalah sebuah prosesi jemput mengantar jasad
orang Sabu dari perantauan ke tanah kelahirannya. Sebuah prosesi penjemputan pengantaran
simbolik berupa barang peninggalan mendiang. Ritual ini telah membudaya dan
berurat akar di masyarakat Sabu.
Jadi bukan jasad yang
dibawa ke tanah leluhurnya, tetapi benda atau barang yang pernah dikenakan oleh
orang yang telah meninggal. Benda itu berupa pakaian (baju dan celana) serta
selimut (sarung) dan yang sejenisnya yang dikenakan saat menemui ajalnya.
Rau Kattu dijemput dan diantar oleh kerabat dari kampung
halamannya. Yaitu keluarga mendiang yang masih ada di tanah kelahirannya.
Mereka yang diutus khusus datang untuk menjemput ‘jasadnya’ di tanah
perantauan.
Dalam kepercayaan
mereka, Rau Kattu yang dibawa bukan
‘jasad’ tetapi orang yang sedang sakit. Sehingga saat di tanah kelahirannya, ia
tidak langsung ‘dikubur.’ Tetapi disemayamkan sehari terlebih dahulu.
Kemudian kaum kerabat di
Sabu akan diberitahu bahwa ada ‘orang sakit’ yang datang dari rantau. Lalu
setelah para kerabat dan hadaitaulan berkumpul baru dilaksanakan prosesi Rau Kattu.
Pembaca yang budimana,
demikian bagian pertama dari rangkaian ritual Rau Kattu mendiang Lakki Jira. Tentang perjalanan Rau Kattu dan
upacara atau prosesinya di Sabu akan menyusul.
Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Kamis, 20 Agustus 2020 (08.24 wita)
Comments
Post a Comment