TRAGEDI GROGOL
Aku mulai mengajar
ketika usiaku menginjak sebilan belas tahun. Pada waktu itu aku baru memasuki
semester lima di FPOK-IKIP Jakarta. Tepatnya pada bulan Juli. Awal tahun ajaran
delapan lima delapan enam. Ini merupakan awal karir keguruanku.
Aku mengajar dengan
alasan: (1) mencari pengalaman sebelum lulus, dan (2) karena aku membutuhkan
uang untuk bertahan hidup. Waktu itu aku ditawari oleh Drs. Abner Bangu Radjah
untuk menggantikannya.
Abner adalah kakak
kelasku sejak di SGON Kupang dan di kampus FPOK-IKIP Jakarta. Ia sendiri
mengajar Penjaskes (Pendidikan Jasmani dan Kesehatan) di SMPK 2 Penabur yang
beralamat di jalan Pembangunan, Jakarta Barat.
Lokasinya di samping
gedung Gajah Mada Plaza. Kemudian ia pindah ke SMPK Penabur Sun Rise, Jakarta
Barat. Dan terakhir sampai pensiun di SMPK Penabur Gading Serpong, Tangerang,
Banten. Bung Abner, demikian aku memanggilnya pensiun tahun dua ribu sembilan
belas.
Tempatku mengajar
berlokasi di Teluk Gong, Jakarta Barat. Tempat tinggalku di Rawamangun, Jakarta
Timur. Maka, untuk menempuh jarak Rawamangun – Teluk Gong aku membutuhkan waktu
sekitar satu jam lebih.
Nama sekolah tempatku
bergabung adalah SMEA Bethel. Bernaung di bawah bendera Yayasan Ora Et Labora.
Bangunan sekolahnya berada di belakang bioskop Fajar. Kalau dari arah Kota ke
Pesing sesudah jembatan layang kali jodoh di kanan jalan.
Di sekolah ini aku hanya
mengajar selama satu semester. Ya, aku hanya mengajar enam bulan karena
kesibukan kuliah yang lumayan padat. Kondisi kuliah yang memerlukan perhatian
dan konsentrasi optimal. Aku memilih dan memutuskan berhenti mengajar.
Dari hasilku mengajar
selama enam bulan itu, aku membeli sebuah jam tangan seharga dua puluh lima
ribu rupiah dari gaji pertamaku. Besar upahku sebulan adalah tiga puluh ribu
rupiah ditambah susu bubuk satu dus seberat satu kilogram. Itu saja. Lumayan
untuk menambah gizi.
Ada satu pengalaman
pahit yang aku alami sewaktu mengajar di sekolah ini. Pengalaman yang tak akan
pernah aku lupakan. Pengalaman yang cukup tragis. Pengalaman yang hampir
merenggut nyawaku.
Hari itu aku harus
mengajar renang di kolam renang Pluit, Jakarta Utara. Aku hanya punya waktu
sempit karena harus mengikuti kuliah dahulu. Untuk mengatasi mengejar waktu aku
pinjam motor teman. Namanya Theny Pattikawa.
Ia tidak sempat
menyelesaikan studinya di FPTK-IKIP Jakarta karena kesibukannya. Sebagai orang
Ambon, ia memiliki penampilan dan suara yang keren. Penampilan dan suara yang
diidolakan banyak wanita. Sampai kini aku tidak tahu di mana rimbanya.
Sewaktu kuliah kami
sempat membentuk grup musik dengan nama Trio
Petra. Trio ini beranggotakan Theny Pattikawa, pemain gitar utama dan
menyanyi dengan suara alto. Almarhum
Oktovianus Fufu sebagai lead vocal
atau sopran. Dan aku sendiri sebagai pemain gitar kedua plus nyanyi dengan
suara tenor.
Aku berangkat dari
Rawamangun dengan mengendarai motor Theny. Aku menuju kolam renang Pluit
melalui rute: Cempaka Putih, Senen, Harmoni, Roxy dan Grogol. Untuk selanjutnya
aku akan belok kanan ke arah yang kutuju.
Sampai di lampu merah di
kolong jembatan layang Grogol aku stop. Aku berada paling depan di belakang zebra cross. Aku mengambil lajur paling
kanan untuk kemudian berbelok ke arah Pluit, Jakarta Utara.
Ketika motor kuarahkan
ke kanan tiba-tiba tanpa kuduga sebuah truk tanah dengan kecepatan tinggi
menyerempet menyeretku dari sebelah kanan. Untung aku masih mempunyai refleks
yang baik. Aku melompat melewati stang
motor lalu jatuh berguling di aspal.
Aku selamat dari maut.
Hanya jaket satu-satunya yang kumiliki yang melekat di badan yang agak lecet.
Jaket training almamater ini lecet di bagian yang membungkus tulang belikat
kanan. Motor yang kukendarai lumayan hancur. Tuhan menyelamatkan aku.
Agak tertatih aku
melangkah berjalan menuju motor yang terlempar cukup jauh. Kustater dan
melanjutkan perjalanan walaupun dengan kondisi badannya yang agak miring. Aku
berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi motor yang tidak normal.
Aku seperti seorang
petinju yang habis terkena KO. Sedang berusaha berdiri setelah hitungan ke
Sembilan untuk melanjutkan pertarungan. Demikianlah motor itu berjalan dalam
keadaan setengah sadar. Ia terseok sempoyongan merayap membawa diriku.
Keesokan harinya baru terasa pegal seluruh tubuhku. Padahal tak ada yang lecet sedikit pun di badan. Rasa sakit itu semakin menjadi karena di kolam renang ternyata tak ada satupun anak murid. Sial! Mau untung, malah buntung.
Comments
Post a Comment