RIAM JERAM YANG TAK BERUJUNG
Aku pernah mengikuti
arung jeram di sungai Citarik Sukabumi, Jawa Barat. Dua kali aku mengikuti
kegiatan adventur menegangkan itu. Yang pertama di tanggal sepuluh Juni dua
ribu satu. Dan yang kedua di tanggal
lima belas Mei dua ribu tiga.
Berarung jeram itu seru.
Satu kegiatan yang memberi kesan beragam. Ada kesenangan dan kesegaran karena
kita bakal menikmati pemandangan alam nan asri. Di sana juga ada ketegangan
karena harus berhadapan dengan banyak rintangan.
Bila kita sedang
berarung jeram maka kita akan mengalami dan menemui batu-batu besar yang
menghadang. Aliran deras yang menghanyutkan. Kelokan tajam menyeramkan. Hal-hal
ini bisa membuat nyali kerdil bila hanya dengar cerita.
Tidak hanya batu, aliran
deras dan kelokan tajam yang ada. Bahkan ada tubir curam yang mematikan. Satu
keadaan yang dapat membahayakan bila salah melangkah. Bila meleset
perhitungannya. Bila keliru mengambil keputusan.
Perlu disadari dan
diingat bahwa rintangan-rintangan itu tidak mungkin disingkirkan. Tapi tidak
perlu risau juga karena ia bisa dihindari. Kita sebagai pelaku arung jeram
harus berupaya menghindari setiap hadangan yang merintang.
Nah, teman! Hidup di dunia fana ini seperti halnya kita mengarungi
riam jeram. Terutama hidup berumah tangga. Hanya akan ada dua kemungkinan: (1)
berhasil sampai akhir dengan usaha keras menghindari mengatasi rintangan, (2)
atau sebaliknya, tenggelam dan hanyut terhempas pasrah.
Hidup adalah tantangan.
Oleh karenanya, selama hayat masih dikandung badan selama itu pula tantangan
akan terus membayang menghadang. Ia bisa datang dari diri sendiri. Bisa juga
dari lingkungan. Atau datang dari orang lain.
Ia dapat berupa
fisik-materil, non-fisik-imateril atau kedua-duanya. Itu sebabnya, dalam
menjalani kehidupan ini kita dituntut untuk selalu belajar. Terus belajar agar
sanggup menerobos berbagai tantangan yang merintang.
Belajar adalah senjata
yang tepat untuk membelah terobos segala rintangan itu. Belajar tidak selalu berkonotasi
sekolah. Esensi belajar yang sesungguhnya adalah berusaha. Berusaha
menyibak-merebak rahasia masa depan. Berusaha mengenal lingkungan dan berusaha
memahami-menyelami orang lain.
Ihwal apa soal belajar dalam
hidup rumah tangga ini yang paling sulit? Hingga kini sepanjang yang aku tahu
dan alami adalah upaya menyelaraskan persepsi. Yaitu pandangan dan kemauan kita
dengan orang lain. Apalagi latar belakang sisio-kultural berbeda.
Memasuki usia
perkawinanku yang ke sekian tahun aku belum
dapat dengan mulus menjalaninya. Aku belum dapat menyelaraskan persepsi,
pandangan serta kemauan dengan istriku. Masih ada saja hal yang menyebabkan
terjadinya benturan-benturan kecil di antara kami.
Ibarat kata para
orangtua: bagaimanapun berhati-hatinya kita meletakkan cangkir pada tatakannya,
pasti akan menyebabkan bunyi jua. Itu pula yang aku alami selama menjalani
hidup berumahtangga. Cangkirku selalu berbunyi di tatakannya.
Namun satu hal yang
sangat teliti kuperhatikan bahwa bunyi karena gesekan itu normal. Asal jangan
sampai salah satunya, cangkir atau tatakannya pecah. Demikian juga dengan
perkawinanku.
Dengan kesadaran dan
kekuatan penuh dari Tuhan yang menyatukan kami aku berusaha untuk tetap
mempertahankannya. Syukur pada Tuhan bahwa kami, aku dan istriku, diberi
pengertian dan pemahaman yang baik tentang esensi berumah tangga.
Roh Kudus selalu mengingatkan
kami tentang firman Tuhan ini: “…Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia.” Firman-Nya ini tertulis di kitab Matius pasal
sembilan belas ayat enam.
Aku percaya bahwa kami akan
terus bertambah arif bijak bestari seiring bertambahnya usia. Apakah itu usia
individu ataupun usi pernikahan. Kearifan itu akan semakin nyata kami
praktikkan dalam kehidupan berkeluarga.
Untuk itu kami masih terus belajar dan belajar terus, khususnya aku. Belajar mengerti menguasai diri. Belajar memahami menyelami pasangan hidup. Belajar memahami menyeleksi tuntutan lingkungan. Ya, aku bagai sedang mengarungi riam jeram yang tak berujung.
Comments
Post a Comment