JAKARTA, I'M COMING!

Pada waktu pengumuman kelulusan, setiap orangtua siswa diundang. Orangtuaku yang hadir hanyalah Papa. Papa saja yang mendampingiku sepanjang upacara pelepasan itu (sekolah-sekolah zaman now sering menggunakan kata, graduation).

Seperti yang sudah kukatakan, aku mendapat predikat juara pertama diikuti Sembilan rekanku yang lain. Kami yang masuk deretan sepuluh besar dipajang di depan audiens didampingi orangtua masing-masing. Hanya itu. Tidak ada hadiah, namun cukup membanggakan. Terutama bagi orangtua.

Seusai upacara pengumuman itu, Papa dipanggil oleh Kepala Sekolah, Drs. F. D. Laturette. Beliau berbincang-bincang dengan Papa secara tertutup di ruang kepala sekolah. Ia mengembuskan angin surgA kepada Papaku agar sekolahku dilanjutkan.

Teruskan ke perguruan tinggi, Fakultas Olahraga. Papa memberitahukan hal ini padaku ketika kami dalam perjalanan pulang. Papa mengatakan bahwa ia, Pak Didi, panggilan akrab kepala sekolahku, menyarankan ke Jakarta. Alasannya di Jakarta cukup lengkap fasilitasnya dengan sumber informasi yang banyak dan lengkap pula.

Aku hanya tersenyum bingung. Dari mana biayanya? Tapi rupanya Papa berani menerima tantangan itu. Aku diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Jawa, sekalipun aku belum pernah ke sana.

Dengan persiapan seadanya aku berangkat ke Jakarta. Sebelum berangkat, sanak familiku berkumpul untuk mengadakan kebaktian pengucapan syukur. Pada tanggal 22 Mei 1982, aku terbang ke Jakarta bersama teman karibku, Aloysius Kase.

Kami terbang dengan Foker-28 Garuda Indonesia yang waktu itu masih memakai nama lama, GIA (Garuda Indonesian Airways). Tepat pukul dua siang/sore kami tinggalkan Penfui (sekarang bernama Eltari) Kupang. Karena tidak ada penerbangan langsung, kami harus singgah di Bali.

Betapa tersayatnya hatiku ketika kami telah mengangkasa. Aku akan meninggalkan keluargaku. Dan tanah kelahiran yang kucintai dan pergi ke tempat yang sama sekali asing bagiku. Ketika itu aku baru berusia tujuh belas tahun. Sangat minim pengalaman. Namun terpaksa harus berjuang sendirian mengejar sebuah cita-cita.

Dari ketinggian aku tak dapat mengidentifikasi sesuatu. Kecuali datar permukaan bumi sejauh mataku memandang. Dan gumpalan-gumpalan putih yang melayang-layang di atasnya di bawah perut pesawat.

Kira-kira satu setengah jam kemudian kami mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali untuk transit. Di pulau Dewata itu, kami rehat selama hampir satu jam menunggu pesawat yang akan membawa kami ke tempat tujuan sesungguhnya.

Aku tercengang sekaligus bangga menyaksikan keindahan pulau ini. Maka untuk mengusir kejenuhan sekalian mengenal daerah baru itu, aku berkeliling melihat-lihat. Aku menikmati pemandangan alamnya di sekitar bandara.

Aku berlagak seperti orang yang telah berkali-kali ke sana. Bag wisnu (wisatawan nusantara) yang sedang menikmati hari liburnya. Aku menjinjing tas bawaan sambil berjalan berkeliling sesukanya.

Setelah bosan ke sana ke mari, kami pun memasuki perut pesawat. Kami menapaki tangga pesawat yang cukup tinggi. Pesawatnya parkir jauh di tengah lapangan. Maka kami harus berjalan ke sana dengan menancapkan kaki kuat-kuat karena anginnya yang super kencang.

Kami berganti pesawat. Kali ini dengan DC-10 Garuda Indonesia. Wow! “Besar sekali,” gumamku dalam hati. Selain itu, hanya kami berdua yang orang Indonesia, kecil-kecil pula. Yang lainnya bule. Pesawatnya tidak penuh. Tapi cukup banyak penumpangnya.

Aku lupa di nomor berapa kami berdua duduk. Tapi kami berada dekat jendela agak di tengah. Hanya kami berdua di satu deret tempat duduk itu. Sehingga kami seperti penguasa di sekitar tempat duduk itu. Bebas. Tidak ada yang memperhatikan kami.

Kami disuguhi makanan kecil dan minuman. Para penumpang bebas memilih dan menentukan. Tapi pilihannya hanya yang sudah tersedia. Boleh kopi, teh atau air putih. Bukan minuman ringan (kaleng).

“Kopi,” pesanku pada sang pramugari cantik yang sedang melayani. Aloy juga memesan yang sama. Dasar belum berpengalaman juga karena haus, minuman yang datang langsung kusambar dan minum. Berharap langsung enak ternyata sebaliknya.

Puaaah.” Kopi yang sudah dalam mulut kutumpahkan kembali.

“Panas. Pahit lagi,” kataku pada Aloy. Aku tak tahu kalau harus meracik mengaduknya sendiri dengan gula yang tersedia dalam bentuk saset (bungkus kecil). Oh, maluku! Norak. Udik sekali. Kami berdua tertawa ‘merayakan’ ketololan sendiri.

“Dasar orang kampung.” Celoteh kami bersamaan.

Pukul delapan belas Waktu Indonesia Barat kami mendarat di Halim Perdana Kusumah. Bandara yang berada di wilayah Jakarta Timur. Daerah yang pernah menjadi salah satu spot pengambilan film Gerakan 30 September.

Kami dijemput oleh Kak Jimmy, kakak sepupu Aloy yang sudah lama tinggal di Jakarta. Sepanjang jalan dari Halim sampai rumah aku tak habis-habisnya mengagumi apa yang Nampak.

Aku juga tak bosan-bosannya menikmati segala gemerlap yang disuguhkan kota metropolitan. Kudengar gemuruh dalam dadaku mendesahkan kata-kata ini: “Selamat jumpa Jakarta. I’m coming! 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL