TUKANG KREDIT
Tugas kuliah mulai
banyak dan berat. Jam kuliahnya tak beraturan. Artinya kuliah, interval satu
sampai dua jam kemudian kuliah lagi. Kalau selama jeda waktu yang satu atau dua
jam itu aku pulang rumah dulu, tidak mungkin.
Jarak antara rumah dan
kampus cukup jauh. Pasti tidak keburu karena kondisi jalan yang selalu macet.
Lagi pula aku pakai kendaraan umum. Waktu habis di perjalanan. Akhirnya bukan
istirahat, malah capeknya dua kali lipat.
Mengingat dan mempertimbangkan
hal ini, aku memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Aku
harus mencari rumah atau kamar di dekat-dekat kampus. Aku harus indekos untuk menghemat biaya atau dana,
tenaga dan waktu.
Untuk itu aku harus
mensurvei tempat-tempat strategis di sekitar kampus. Tempatnya haruslah yang
mudah dicapai dengan berjalan kaki. Dalam radius tidak lebih dari satu
kilometer. Antara dua ratus sampai lima ratus meter. Tujuh ratusan meter juga
okelah.
Hari itu hanya ada
kuliah teori. Tidak ada praktik. Aku tak perlu membawa perlengkapan yang
banyak. Berarti aku tak perlu menyelempang tas besar di bahu. Cukup lenggang
menenteng sebuah buku agenda tebal.
Gunanya selain sebagai
pemantas juga berfungsi untuk mencatat materi kuliah. Materi dalam agenda baru
akan kupindahkan ke catatan sesungguhnya setelah sampai di rumah. Aku berangkat
kampus hanya dengan mengenakan jeans
dan kaos.
Seusai kuliah aku menuju
ke tempat yang kuanggap memenuhi kriteria yang kusyaratkan. Aku melacak ke
segala arah kampusku. Aku berjalan kaki seturut naluriku menuntun. Door to door, dari pintu ke pintu
kutanya setiap pemilik rumah.
Sambil menjinjing agenda
satu-satunya itu, aku terus berjalan ke mana saja kakiku melangkah. Ke mana
saja ia membawa tubuhku. Sesekali bila kulihat ada kamar kosong aku mampir dan
bertanya. Aku tidak akan berhenti sebelum menemukannya.
Aku menanyai setiap
pemilik rumah secara selektif sekiranya mereka menyewakan salah satu kamarnya.
Selektif artinya, hanya yang memenuhi syarat saja. Memenuhi syarat dalam hal
jarak dan segi kesehatan (sanitasi) serta harga.
Hari sudah cukup terang.
Deraan sinar matahari mulai terasa menyengat. Perut pun tak mau kompromi. Ia mulai
keroncongan. Keringat terus mengucur deras. Saputangan yang ada di saku
celanaku sudah tak mampu lagi menyerap keringat. Peluh yang membasahi wajah,
leher dan tangan. Biarpun sudah diperas berulang kali.
Aku mulai berpikir untuk
berhenti mencari rumah kos. Sebaliknya aku menimbang-nimbang untuk mencari dan
mampir ke warung tempat mengisi perut. Selagi kaki melangkah pikiranku terus
mempertimbangkan demi memutuskan yang terbaik.
Sementara kegalauan
semakin mengganggu, mataku tertumbuk pada sebuah kamar kosong. Kondisinya pas
dan ideal sesuai yang kucari. Aku mengetuk pintu rumah yang berada di sebelah
kamar kosong itu yang ternyata adalah pemiliknya.
“Selamat siang, Dik.”
Sapaku pada seorang anak perempuan yang kira-kira berusia enam tahunan setelah
ia membukakan pintu.
“Ada mama?” Tanyaku
selanjutnya. Ia tidak bertanya apa tujuanku datang. Tiba-tiba ia berbalik arah
membelakangiku dan menghilang di balik tirai pembatas ruang. Ia berlari ke
dalam sambil berteriak: “Ma, ada tukang kredit.” Astaga!
Darahku mengalir
kencang. Mukaku serasa terbakar. Ludahpun terasa kering di kerongkongan.
Seketika itu luntur keinginanku untuk bertanya lebih lanjut perihal kamar
kosong tadi.
“Apakah ada Carlos?”
Tanyaku sekenanya setelah ibu pemilik rumah itu berada di hadapanku.
“Maaf, nggak ada yang bernama itu. Mungkin Anda
salah alamat.” Sebelum ia melanjutkan kata-katanya aku langsung menyampaikan
permohonan maaf. Aku berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan langkah
lunglai dan perasaan teriris.
Comments
Post a Comment