DILEMA

Perkuliahan berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Lancar karena dari awal telah kuniati. Dari kampung sudah ada tekad kuat untuk selesaikan pendidikan apapun kendalanya. Lancar karena aku tak mau terhambat. Sebisa mungkin setiap masalah terpecahkan.

Apapun persoalannya aku tak mau tenggelam tergilas oleh masalah. Masalah yang berhubungan dengan ekonomi. Masalah akademik. Apa saja. Karena masalah-masalah itu akan selalu ada dan terus menguntit dengan setia. Selama manusia itu ada, masalah akan tetap ada. Maka aku tak mau berfokus pada persoalan tapi pemecahannya.

Secara akademis aku tidak pandai sekali, apalagi jenius. Tapi terus terang aku rajin dan tekun. Ya, penilaian subyektifku saja. Maksudnya aku tak mau menunda apapun yang bisa kubereskan sekarang. Jadi setiap kegiatan yang berhubungan dengan kuliah aku selalu kerjakan dengan baik dan maksimal. Tuntas.

Ya, seperti kuhadapi kali ini. Kejadian yang menurutku cukup berkesan. Maka perkenankan kuceritakan kembali kepada pembaca yang terhormat. Semoga dapat dinikmati dengan sukacita. Demikian!

Pada waktu itu adalah masa-masa ujian semester. Mata kuliah yang akan kuhadapi adalah praktik senam. Namanya Senam Artistik. Berarti secara fisik harus prima. Ujian akan dilaksanakan pada pukul empatbelas. Jam dua siang.

 

Ijinkan aku memberitahukan sedikit situasi kampus. Tentang budaya belajar kami yang sudah terinternalisasi. Khususnya dalam mata kuliah praktik.

Di fakultas tempatku menuntut ilmu, antara mata kuliah praktik dan teori adalah fifty-fifty. Seimbang. Kami benar-benar dituntut untuk tetap prima secara fisik, mental dan intelektual. Tak jarang setelah praktik di lapangan kami harus masuk kelas dan belajar teori kemudian praktik lagi.  

Praktik yang dimaksud seperti: Atletik, Sepakbola, Bolabasket, Bolavoli, Renang, Silat, dan masih banyak lagi. Yang jelas hampir semua cabang olahraga; kecuali golf, ski, terjun payung dan cabang-cabang lainnya. Karenanya kami dengan sendirinya harus prima. Aku lebih sering menuntut memaksa diri agar tidak ketinggalan. 

Aku harus serius dan berkonsentrasi penuh agar lulus karena ini adalah ujian akhir, ujian semester. Sebab bila sebaliknya, gagal maka aku harus mengulang lagi. Mengulang di semester yang sama tahun mendatang. Itu berarti rugi. Rugi waktu. Rugi tenaga. Dan otomatis rugi dana. “Aku harus lulus,” begitu tekadku kuat.

Sekali lagi harus kuberitahu bahwa kami diberi target bila ingin lulus. Dalam semua cabang olahraga ada target masing-masing. Bila target tidak tercapai artinya mengulang lagi. Tidak ada toleransi. Termasuk yang sakit, apalagi yang bolos. Sudah dipastikan mengulang. Tidak lulus.

Targetnya seperti begini! Di antaranya. Lari seratus meter harus dua belas detik. Lompat tinggi harus satu koma empat puluh lima meter. Senam harus menggabungkan gerakan-gerakan yang mengandung unsur keseimbangan, kelenturan, kekuatan dan keindahan. Begitulah.  

Nah, tempat tinggalku jauh dari kampus. Jadi kalau aku pulang rumah waktunya tidak cukup. Maka sambil menunggu tibanya jam ujian, aku main ke tempat kos temanku. Kami biasa memanggilnya Jimmy Montoya padahal nama aslinya Mohammad Taufik.

Ia bukan hanya teman kuliah tapi juga adalah teman sedaerah. Kami juga adalah teman sekelas waktu di SGO Negeri Kupang. Ia telah almarhum. Meninggal tahun sembilan empat akibat penyakit lever berkepanjangan yang diidapnya.

Jam makan siang tiba. Perut harus diisi agar ada tenaga waktu ujian. Sebab sejak pagi belum sebutir pun nasi yang masuk. Aku hanya minum teh manis. Maka aku berharap Jimmy punya stok makanan. Paling tidak, makanan kecil atau cemilan. Ternyata tidak.

“Joy, sori nggak ada makanan. Uang, apalagi!” Katanya lirih.

“Bagaimanapun, kita harus makan,” balasku. Aku merogoh kantong. Menggeledah ke segala sudut celana dan baju. Berharap ada uang ribuan terselip. Eh, benar. Dapat. Tujuh puluh lima rupian. Hanya itu. Itupun untuk ongkos pulang yang waktu itu tarif regulernya masih lima puluh rupiah. Aku bingung. Bimbang. Galau.

“Sekarang mana yang harus kuprioritaskan, mana yang harus kukesampingkan?” Semua penting. Otakku bekerja keras. “Kalau makan, pulang jalan kaki. Kalau nggak makan berarti lemas. Nggak ada tenaga. Konsentrasi buyar. Hasilnya bisa hancur.”

Di puncak kebimbangan yang berkecamuk di benakku kuambil uang itu. “Nih, Jim, be (saya) cuma punya itu.” Sambil menyerahkan uang itu kulanjutkan: “Terserah Bu (bung) mau beli apa. Pokoknya katong (kita) musti makan.” Kataku dalam logat Kupang yang kental.

Tanpa basa-basi. Bagai kilat ia menyambar uang itu dan menghilang. Sebentar kemudian ia kembali dengan sebungkus besar nasi yang dibasahi kuah dan dua potong tahu semur. Dengan lahap dan penuh ucapan syukur, kami habiskan menu istimewa itu tanpa sisa. Uennaak tenan. Sedaap! 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL