MERAYAKAN NATAL ALA KAMI

“Rufus, mau ikut Papa tidak?”

“Ke mana, Pa?”

“Ke hutan. Cari bambu untuk tatakan lilin. Penghias pohon natal di gereja.”

“Mau. Sekalian, saya pengen cari bambu yang besar untuk bikin meriam. Kapan perginya, Pa?”

“Sekarang. Siap-siaplah!”

Aku persiapkan segala perlengkapan. Peralatan yang diperlukan untuk masuk hutan. Aku siapkan parang atau golok kecil dan pisau. Alat potong yang sesuai genggamanku.

Aku hanya mengenakan celana pendek. Tanpa baju alias telanjang badan. Dan tanpa alas kaki pula. Lebih nyaman tanpa alas kaki. Kalau pakai sandal atau sepatu ribet. Jadi aku mau pergi temani papa ala tarzan saja.

Tapi papa menegorku. Ia menyuruhku pakai baju. “Pakai kaos oblong yang tangan panjang. Supaya tidak digigit nyamuk. Di hutan nyamuknya banyak dan sangat ganas.” Aku menuruti nasihat papa.

Kami tidak perlu membawa makan dan minum. Hutan tempat kami mencari bambu dekat dengan tempat tinggal kami. Cuma sepelempar batu jauhnya dari rumah. Tidak terlalu banyak mengeluarkan energi untuk pergi pulangnya.

Aku dan papa sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk masuk hutan. Mama dan kakak-kakakku lagi seru dengan kue-kue. Dan berbagai masakan lain untuk perayaan hari natal dua hari kemudian.

Di kampung kami memang demikian. Setiap keluarga diberi tanggung jawab untuk natal bersama di gereja kami yang sederhana. Tahun ini keluarga kami mendapat tugas untuk menghias pohon natal. Pohon natal dan segala asesoris lainnya.

Tetapi mama memang senang membuat kue. Maka secara sukarela ia membuatnya untuk dibawa ke perayaan natal bersama. Walaupun hanya menghias pohon natal tanggung jawab keluarga kami ia menyumbang kue juga.

Pohon natal dari pohon cemara asli yang diambil bagian pucuknya. Bentuknya bagus. Lancip di bagian atas. Di bagian bawahnya lebar. Ia membentuk kerucut yang cantik sekali. Rantingnya haruslah yang kuat dan daunnya masih penuh menghijau.

Papa memanjat dan memotongnya. Kemudian dibawa ke rumah untuk dirapikan. Selanjutnya dibawa ke gereja untuk dipajang. Diletakkan di sudut tertentu yang bisa dilihat dari segala sudut. Didandani dan dihias dengan pernak-pernik natal yang berwarna-warni.

Di kampung kami masih belum ada listrik. Maka kami masih menggunakan lilin sebagai penghias sekaligus penerang. Lilin dimasukkan dalam ruas bambu sebagai alasnya. Sebagai tatakannya.

Bambu yang berisi lilin itu disangkutkan pada ranting-ranting di sekeliling pohon natal tersebut. Lilin-lilin itu akan dinyalakan pada saat bersama-sama menaikkan kidung abadi. Kidung natal yang bertajuk: “Malam Kudus.”

Aku dan papa menuju hutan setelah semua persiapan beres. Papa berjalan di depan. Aku membuntutinya di belakang. Kami berjalan beriring di jalan setapak. Kami harus berhati-hati terhadap pohon-pohon kotok ayam.

Kotok ayam mempunyai duri-duri kecil yang bisa menggaruk lengan dan kaki. Akan berbaret bila digaruk garet kotok ayam. Kotok ayam tidak terlalu tinggi. Ia sejenis gulma. Tinggi pohonnya kira-kira setinggi seorang dewasa kurang lebihnya.

Sesekali kami harus merunduk menghindari duri-duri. Duri-duri di atas kepala saat kami naik atau turun bukit. Papa mengingatkanku berkali-kali agar ekstra hati-hati. Sebab selain duri juga banyak ularnya. Aku bergidik mendengar peringatan papa.

Dan benar. Hanya dengan satu kali tebas papa seekor ular hijau tergeletak tak bernyawa. Padahal baru saja beberapa langkah dari tempat aku diingatkan papa dengan berteriak: “Awas!” Ular hijau itu menggeliat menggelepar dan akhirnya mati termutilasi di depanku.

Kami juga harus mawas terhadap batu-batu cadas tajam. Batu-batu yang dapat merobek kaki kami jika ceroboh. Atau batu-besar yang menghadang di depan kami. Mereka bag penjaga istana yang berdiri kokoh bergeming di tempatnya.

Papa terus menebas semak-semak di depannya untuk membuka jalan. Agar kami bisa lalui dengan nyaman. Aku juga ikut membereskan tangkai atau rumput yang tak terselesaikan oleh papa. Aku juga menyabit sisa-sisa yang tak tersabet papa.

Ketika kami sibuk menyibak menyabet aku melihat tupai. Tupai atau kelompok tupai itu berlari berkejaran di bambu. Mereka berkejaran karena terkejut melihat aku dan papa datang. Mereka terus menuju puncaknya dan menghilang. Entah ke mana?

Burung-burung tekukur dan perkutut merasa terusik. Mereka beterbangan mencari tempat yang lebih aman. Mereka beterbangan secara berkoloni. Dan hampir saja aku ditambrak. Mungkin karena kaget atas kedatangan tamu-tamu asing.

Dengan perjuangan berat akhirnya kami pun sampai di tempat yang dituju.  Kami tiba di rumpun-rumpun bambu yang bagus-bagus. Bambu dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Cocok sebagai wadah lilin nanti.

Bambu-bambu itu memiliki ruas yang panjang. Mulai dari yang ukuran kecil-kecil. Ukuran sedang. Dan yang besar sekali. Semua ada di antara pepohonan berumpun itu. Aku dan papa bebas memilih.

Papa memilih dan memotong bambu yang diperlukan. Yaitu yang sebesar jempol kaki. Harus seukuran itu agar lilin bisa masuk. Bisa masuk artinya tidak kesempitan atau tidak kesesakan bila memasukkan lilin.

Aku juga mencari, memilih dan memotong yang kuperlu. Aku mencari yang sebesar paha. Yang rongganya besar. Aku perlu seukuran itu supaya bisa dijadikan meriam. Meriam bambu dengan rongga besar menghasilkan dentuman yang memuaskan.

Masing-masing kami disibukkan dengan kepentingan sendiri-sendiri. Kepentingan yang berhubungan dengan pemanfaatan bambu-bambu itu. Karena sibuk aku dan papa seolah tidak saling menghiraukan.

Setelah ketemu yang kumau aku tak bisa memotongnya. Terlalu susah dijangkau. Aku hanya membersihkan sekelilingnya dulu. Sambil memikirkan bagaimana mengeksekusinya sampai tumbang. Tetap aku tak bisa. Kuminta papa membereskan menyelesaikannya.

Selain sebesar paha orang gede ia juga harus panjang dan lurus. Panjangnya kira-kira dua meter kurang lebih. Juga harus tebal agar tidak gampang pecah akibat bunyi yang dihasilkannya sendiri. Gelegar bunyi meriam bisa merobeknya. Jangan sampai senjata makan tuan.

Setelah memperoleh semua yang kami perlukan kami pun pulang. Kami kembali menyusuri jalan setapak yang kami buat tadi. Tetap papa di depan dengan bebannya sendiri. Aku di belakang dengan memanggul meriamku. Aku melihat bangkai ular tadi yang terpotong-potong tergeletak di sisi jalan.

Sesampai di rumah aku langsung mendandani meriamku. Aku rapikan bagian luar bambu. Sedangkan bagian dalamnya aku bolongi dengan linggis dari bagian ekor. Maksudnya agar buku-buku pembatas ruas bambu bagian dalam lobang.

Kecuali buku terakhir di kepala meriam kubiarkan utuh. Itu sebagai penahan agar bahan bakarnya tidak tertumpah. Di ruas terakhir di kepala meriam dibuat lubang kecil tempat mengisi minyak tanah.

Dari lorong lobang itu akan melesat keluar suara dentum yang mengagumkan. Suaranya dihasilkan dari panas api dan minyak tanah. Kedua unsur itu akan berdesakan keluar lobang panjang bambu. Dan di ujung ekor bambu ia berkonversi menjadi suara dentum yang menggelegar. Dentuman itulah letak sensasinya.

Bunyinya akan semakin keras seiring meningkatnya suhu minyak dalam meriam. Bila makin panas makin kencang gelegar dentumnya. Untuk memanaskan minyak dalam meriam itu butuh usaha ekstra keras juga kesabaran yang sungguh ekstra.   

Caranya agar minyak cepat panas maka api dalam bambu harus dibiarkan lama terperangkap. Supaya api lama terperangkap, lobang pembakaran harus ditutup dengan telapak tangan yang dibalut kain tebal.

Ketika api dalam meriam mati akan meninggalkan banyak asap. Asap itu harus dibersihkan dengan cara ditiup dari lobang pembakaran. Dan Asap yang ditiup akan terdorong keluar. Sesudah bersih dari asap, bakar lagi. Begitu seterusnya hingga menghasilkan dentuman yang diinginkan.

Aku membakar lalu menutup lobang pembakaran. Kemudian meniupnya dari lobang yang sama yang kututup tadi. Saat aku meniup untuk kesekian kalinya api menyambar mukaku. Dan: “Adaaooww.” Aku mengerang kepanasan. Kurasa pipiku ditepuk dan sayup suara terdengar: “Kamu mimpi lagi, ya?” Ah, mama!


Tilong-Kupang, NTT

Rabu, 24 Juni 2020 (23.43 wita) 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL