NYUCI SEMBARI NULIS


Loh, kok nyuci sembari nulis. Kebalik kali. Nulis sembari nyuci mungkin. Tapi sama aja. Masa nyuci sambil nulis atau nulis waktu nyuci? Kan tangan pada berair semua. Kok bisa? Ya, bisalah. Lagi nyuci trus kecapean, aku rehat. Ngaso dan tarik napas sebentar. Di saat rehat itulah aku keringin tangan lalu mainkan jari-jariku di keyboard laptop. Aku terpaksa harus kerjain bersamaan sekaligus karena dua-duanya penting. Nyuci penting. Nulis apalagi, penting bangat.

Karena pentingnya aku nyuci sekaligus nulis. Nyuci biar bersih. Nulis biar kemampuanku tetap terasah dan makin lancar mainin kata. Dengan gitu aku terus belajar membolak-balik kata dan dijadiin kalimat lalu disatuin jadi alinea. Dan semoga, syukur-syukur jadi satu cerita bagus. Soal hasil biarinlah. Itu urusan nanti. Itu urusan atau penilaian pembaca. Urusanku nulis aja. Ya, sekarang nyambungin aja kata-katanya di sela-sela nyuci baju.    

Kenapa kutulis ini hari ini. Apa istimewanya? Gini. Bagi anak kos macam aku, hari Sabtu adalah hari mencuci nasional. Tak bisa diganggu. Tak bisa digeser. Gak boleh ada aktivitas lain, kecuali nyuci. Nyuci pakean yang sudah kotor dan bau pastinya. Kenapa harus hari Sabtu? Kan ada enam hari lainnya. Kenapa bukan Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, atau Minggu sekalian yang nota bene tanggal merah. Kalau Sabtu itu kan persiapan malam minggu. Malam minggu adalah lagu wajib bagi anak muda. So, kenapa mesti Sabtu?

Alasan pertama, karena pakaian sudah bertumpuk selama satu minggu. Sementara stok terbatas habis kepake jadi harus dieksekusi, dicuci. Kalau tidak segera diselesaikan berarti kagak pakai apa-apa. Kan gak mungkin gak pake pakean. Kedua, Sabtu gak ada kegiatan terjadwal. Kegiatan yang sengaja diagendain. Yang ketiga, air mengalir seminggu sekali doang. Ya, hari Sabtu itu baru air mengalir keluar. Jadi sambil nyuci, sambil ngalirin air di bak penampungan untuk persediaan seminggu ke depan.

Padahal ini air PAM loh. Seharusnya jalan terus. Gak boleh seminggu sekali. Karena setiap bulannya aku bayar meteran. Aku gak bayar langsung PDAM, tapi bayar ke yang punya kos. Laen hal kalau gak bayar, wajarlah. Tapi suer, aku gak pernah nunggak bayar meteran air PDAM. Gak tau kenapa sampai ngalirnya pelit bener. Tapi udahlah, apa mau dikata. Memang begitulah keadaan kami soal air PAM di Kupang sini.  Jadi karena alasan-alasan itu maka Sabtu adalah hari wajib cuci pakean.

Kalau aku cuci pakean proses dan prosedurnya selalu sama, kagak berubah. Gini. Pertama, aku pilih-pilah pakean-pakean itu menurut jenis bahan dan bentuknya lalu masukin dalam wadah masing-masing. Maksudnya, kalau kaos aku tempatin sendiri; pakean dalam sendiri; kemeja dan celana resmi satu tempat sendiri; jeans dan jaket kelompok tersendiri. Kalau ada pakean yang luntur, aku pisahin sendiri biar gak ngerusakin, ngelunturin yang laennya.

Kemudian aku tuang air juga diterjen ke wadah-wadah dengan kelompok pakean masing-masing lalu kubiarin sampai beberapa lama. Maksudnya supaya kotorannya yang pada nempel mudah rontok sehingga nyucinya gak perlu keluarin banyak tenaga. Biasanya kurang lebih setengah jam. Setelah itu baru aku cuci kerahkan konsentrasi dan sedikit tenaga maka pakean-pakean akan terlihat kinclong dan segar.

Pas lagi nunggu rendaman pakean itu, aku nulis. Nulis apa aja. Yang penting nulis ngeluarin yang ada di dalam pikiran dan perasaan. Nulis selama masa atau waktu rendam pakean. Karena rendam setengah jam maka nulis awal setengah jam juga. Selama setengah jam menulis, berapa pun kata atau kalimat yang bisa kuhasilkan gak masalah. Yang penting ada urutan berpikirnya. Ada jalan ceritanya. Atau yang kata orang pintar, asal logikanya nyambung. Udah. Cukup. Gitu aja terus sampai abis. Abis cucian, abis juga tulisannya. Semoga!

Ya, seperti ini buktinya. Setelah semua pakean terjemur tergantung di jemuran, tulisan ini juga selesai kutulis. Soal bagus apa kagak, enak dibaca apa enggak, berkualitas atau tidak, ngalir gak idenya aku gak mikirin. Asal aku udah bisa selesain aja udah cukup. Nanti kapan-kapan kalau ada waktu luang yang memang longgar aku akan buka lagi baca dengan teliti. Maksudnya perhatiin secara detail sampai yang kecil-kecilnya. Kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki, ya, diubah. Barangkali ada yang mau ditambahin biar renyah, ya, ayo aja. Seumpama ada yang harus dihapus karena gak enak atau ganggu bangat, ya, buang aja. Sekarang intinya adalah biar jadi apa adanya.      

Maka karena jadinya gini doang, ya, maaf kalau belum enak bacanya. Aku cuma mohon pengertian pembaca. Mohon makhlum. Namanya juga nyuci sembari nulis. Artinya nulis dalam keadaan kagak diam di tempat. Nulis pindah-pindah. Nulis lari-lari. Nulis bentar, pergi ngucak pakean. Nulis dikit, tinggalin untuk bilas. Nulis gak lama, mesti jemur. Ya, gitu aja ganti-ganti posisi dan peran sampai tulisannya habis tuntas seperti yang Anda baca.


   
Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Sabtu, 16 Mei 2020 (14.07 wita)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

TEACHER

Image
Gambar: Dokpri Sekitar bulan Oktober tahun 2002 saya diberi hadiah oleh salah seorang murid bernama Hulda. Waktu itu dia masih duduk di kelas delapan alias kelas dua SMP. Dia datang mendekati saya sambil memberikan hadiah yang berbentuk kotak kubus kecil. Kemasan kotaknya rapi dan kokoh. Bagus dipandang. Itu dilakukannya di lapangan ketika saya akan melatih basket dalam kegiatan ekstrakurikuler SMP. Kegiatan ekstrakurikuler ini berlangsung di sore hari sekitar jam tiga wib. Yaitu sehabis jam pelajaran. Sesudah bel pulang sekolah berdentang. Dan akan berakhir di jam lima kurang lebih.   Senang sekali saya menerimanya kala itu. Karena menurut saya ini spesial. Spesial karena saya belum lama mengajar di sekolah itu. Sebab saya baru bergabung tanggal satu September 2002. Artinya baru satu bulanan saya mengajar mereka. Entah apa yang mendorongnya memberi hadiah spesial itu kepada saya. Entahlah! Tapi apapun motivasinya saya menerimanya dengan sukacita dan berbinar-binar. Saat meny...
Read more

BERIRING

Image
Ilustrasi: travel.tempo.com. Beriring adalah kebiasaan orang Timor. Terutama kami yang hidup di kampung pedalaman. Satu kebiasaan yang – mungkin – tak dipunyai teman-teman dari suku lain di se antero nusantara ini. Sekali lagi, kebiasaan itu adalah berjalan beriringan. Dari mana dan ke mana saja selalu beriring. Dari rumah ke tempat-tempat ibadah dan sebaliknya. Mau kondangan dan sepulangnya. Menuju ke tempat keramaian apapun ataupun kembalinya. Semua dilakoni dengan berjalan beriring. Beriring artinya setiap individu berada dalam satu barisan panjang. Satu banjar yang mengekor ke belakang. Beriring dalam suka maupun duka. Beriring saat senang pun susah. Mereka selalu berjalan beriring dalam satu iringan panjang mengular. Dalam beriringan itu, masing-masing membawa dirinya dalam diam membisu. Kecuali ada sesuatu yang mendesak untuk diomong. Maka omongannya akan disampaikan secara sekedar. Ala kadar. Yaitu dibicarakan tanpa tatap muka. Mereka bercakap tanpa kontak mata. Banjar y...
Read more

CINTA=KENTUT

Cinta itu bagaikan kentut, Bila ditahan sakit perut, Kalau dilepas jadi ribut! Aku mengutip kata-kata itu dari dinding salah satu gubuk yang ada di sekitar kampusku. Gubuk-gubuk itu adalah tempat beristirahatnya para ball boys , pemungut bola. Mereka bekerja di kampus. Tapi di sore hari mereka menawarkan jasa sebagai pemungut bola tenis saat orang latihan. Waktu itu kira-kira tahun delapan empat. Karena kelelahan sehabis kuliah, aku mengaso sambil berbaring dalam gubuk tersebut. Secara kebetulan mataku mengarah ke bagian dinding yang ada goresan itu tadi maka kubaca. Aku membacanya puluhan tahun yang silam. Sekalipun sudah sangat lama rentang waktu sejak kubaca hingga sekarang, namun masih segar dalam ingatanku. Ia masih tetap kuingat karena cukup menggelitik. Menggelitik karena lucu namun sarat makna. Setidak-tidaknya itu menurut penilaianku. Tulisannya hanya dengan arang bekas. Tidak artistik. Hanya goresan seadanya yang menggambarkan emosi orang yang menulisny...
Read more