MANJAKAN DIRI HINDARI "KANGARANGA"
Orang Utan bermanja: palembang.tribunnews.com |
Banyak cara
manjakan diri. Apapun itu bisa dipakai untuk manjakan diri sejauh itu positif
dan tentunya tidak merugikan orang lain. Apalagi untuk merusak, itu tidak boleh
terjadi. Manjakan diri artinya membiarkan diri sendiri menikmati apa yang
sedang diingini.
Di saat-saat
tertentu, tubuh kita butuh diikuti maunya. Seperti ketika lelah bekerja
seharian, ia minta rehat yang lelap. Atau kadang-kadang dia butuh asupan yang
membuatnya terbuai. Asupan itu bisa untuk ke perut, ke telinga, ke rasa. Bebas.
Mana saja. Sesuka-sukanya.
Dalam situasi
itu, jangan membantahnya. Ikuti saja Itu pun tergantung persediaan. Sekiranya
hal yang dibutuhkan tubuh tersedia, berilah dia. Jangan dikekang. Jangan
ditahan-tahan. Bisa runyam. Bisa membuatnya kehilangan sesuatu. Dia bagai di
padang gurun yang gersang.
Dalam kondisi
tubuh kelimpungan seperti itu, kami di Tilong menyebutnya dengan kangaranga. Yaitu melakukan sesuatu
dengan terburu-buru dan tanpa perhitungan. Akibat kebutuhan tubuh yang tidak
terpenuhi, membuat seseorang bersikap kangaranga.
Misalnya tubuh
lagi butuh kopi atau the manis. Dan karena kesibukan tidak sempat
memperhatikannya dan terlupakan. Ini bisa membuat seseorang salah tingkah. Melakukan
sesuatu dengan cara yang tidak semestinya. Bikin ini salah, buat itu salah.
Begitulah,
teman! Dalam suatu kesempatan atau waktu-waktu tertentu, diri kita mau dimanjakan.
Dia ingin keluar dari situasi yang memenatkan. Dia tak ingin diforsir dengan
kerja atau beraktivitas tanpa jeda. Orang hebat bilang: Workaholic. Yaitu mereka yang sudah kecanduan bekerja atau gila
kerja.
Seperti yang
sudah kuungkapan baris pertama tulisan ini bahwa ada banyak cara manjakan diri.
Ada yang maunya plesiran ke luar negeri, ke luar kota, da nada juga yang cukup
ke luar rumah. Terserah sesuai seleranya memanjakan diri. Dan, pastinya, sesuai
kemampuan finansial yang dipunyai.
Ada yang
bawaannya ingin belanja di mal-mal besar atau pasar berbintang. Mungkin juga di
pasar swalayan. Atau malah di pasar tradisional sekalian. Tidak masalah di mana
pun tempatnya. Sebab kata kuncinya adalah pemenuhan pemanjaan diri. Dan juga pemenuhan
kesejahteraan batin.
Ada pula orang
yang ingin makan di tempat yang jauh. Yakni harus dengan berkendara selama
sekian kilometer. Walau nanti sampai di tempat yang dituju, Cuma makan bubur
ayam di tenda atau gerobak pinggir jalan. Atau hanya sekedar minum kopi pahit
segelas.
Yang lain lagi
cukup dengan berjalan santai lempar kaki menuju penjual kerupuk. Kemudian
merogoh kocek lima ribu rupiah untuk sekantong kerupuk. Itu sudah memenuhi
hasrat memanjakan diri. Itu pun sudah cukup melegakan rasa inginnya.
Dan masih
banyak lagi lagak, gaya dan cara seseorang memanjakan dirinya. Dan itu tak
perlu ditiru. Sebab belum tentu cocok dengan pribadi yang meniru. Yang paling
sederhana dan alamiah adalah ikuti saja irama diri sendiri. Itu bukanlah suatu
aib.
Terkadang
kurang dapat diterima (oleh orang lain di luar pelaku atau mereka yang melihat).
Ada yang berkomentar entah yang terdengar keluar atau hanya membatin, jalan
begitu jauh cuma cari kopi. Atau bubur ayam. Atau kerupuk. Aneh sekali.
Memang aneh.
Dan itu tidak dapat didefinisikan secara logika orang sehat. Apalagi secara
metodologis ilmiah. Dia hanya dapat dijangkau dengan rasa. Mesti dengan afeksi
bukan kognisi. Karena itu tak perlu ditanggapai dengan emosi. Sebab pasti
berselisih.
Aku juga suka
memanjakan diri kalau suntuk melakukan suatu pekerjaan yang membosankan
memenatkan. Dalam situasi itu biasanya aku main musik. Kadang sambil menyanyi
sendiri. Walaupun timbre suara yang merusak telinga pendengar. Kekira seperti
suara kucing dan anjing lagi rebutan makanan. Tak masalah. Sing penting, hepi.
Kadang juga
hanya mengikuti suara penyanyi yang terdengar nun jauh di sana. Suara yang
keluar dari peti pengeras suara dengan radius 700-800 meter. Kendati sejauh itu
suaranya masih menggetarkan pepohonan dan dinding rumah. Malah atap rumah yang
dari seng bergemeretak seperti orang menahan rasa menggigil.
Selain bermain
musik demi memenuhi keinginan manja diri, aku siram tanaman. Atau bersihkan
rumah. Kadang menata kembali barang-barang kesukaanku. Seperti buku-buku di rak
dan/atau meja, alat-alat olahraga, dan juga alat-alat musik. Aku gunakan
pengulangan kata seolah jumlahnya segunung padahalnya cuma satu atau dua saja.
Ini juga salah satu caraku memanjakan diri.
Karena diriku
sudah minta dimanjakan dengan cara aku harus berhenti bercerita, maka ijinkan
aku mundur dulu. Biar kupenuhi dahulu dengan pemanjaan yang dia sukai. Dengan
begitu besok dan besoknya lagi ketika harus berkarya, dia tidak mogok. Dia
tidak akan bersikap kangaranga
terhadapku.
Terima kasih
atas kesediaan teman mendengar caraku memanjakan diri. Aku pamit mundur dari
hadapan Anda. Selamat malam. Selamat beristirahat dan sampai jumpa besok.
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang,
NTT
Senin, 13 September 2021 (22.22 wita)
Mantap Bapak Dosen.
ReplyDeleteDari hal biasa dikemas menjadi cerita yang luar biasa.
Sangat menginspirasi.
Terimakasih.
Terima kasih, Bu Tiwi dah mampir n tinggalkan jejak.
DeleteYa. Saya juga belajar dari para senior. Dan coba2 ja.
Anyway, thanks a lot. Gb!