TIDAK PAKE JUDUL
Hari ini aku
menulis hanya mau menulis saja tanpa judul. Aku mau menulis mengalir saja ke
mana jari-jari ini mengetik. Huruf apa saja yang dia ketuk ketik agar jadi
kata, ya, itu sudah. Aku tak membatasinya. Jadi hari ini pikiranku mengikuti
petunjuk jari jemariku berkarya. Jari-jariku menari mengikuti alunan irama yang
dihasilkan dari bunyi ketukan ketikan huruf.
Pikiranku lagi
tidak mood. Dia mengunci diri. Lockdown, katanya. Karena dia kesal.
Pikiranku kesal dengan beberapa hal yang sepele sesungguhnya. Tapi karena tidak
ada kejelasan akhirnya dia menutup diri. Dia tak mau menuntun jari-jariku untuk
menulis yang bagus. Dia membiarkan jari-jariku bikin apa yang dia mau tentang
menulis.
Pikiranku katanya
kesal sejak kemarin sore. Awalnya karena mendapat esemes dari seorang teman.
Isinya dia menanyakan apakah aku diundang bos untuk pertemuan hari ini.
Kubilang tidak. Sambil jawab begitu, aku bertanya. Apa agenda pertemuannya.
Atau apa yang mau dibicarakan. Tapi tidak ada balasan. Kesal pertama.
Karena tidak ada
jawaban, aku tanya teman lainnya. Ada empat orang teman yang aku tanyakan
mengenai hal ini. Nihil. Tidak ada jawaban juga. Malah ada seorang temanku yang
bilang hari ini libur, jadi dia tidak akan pergi. Lalu kutanya libur apa? Loh, kan libur lebaran. Katanya dengan
nada heran. Ya, ampiun. Corona telah
membuat pikiran tidak berjalan normal. Sampai hal sukacita pun pikiran ini
lupa. Itu kesal kedua. Tidak ada jawaban yang memuaskan sehubungan dengan
pertanyaan yang aku ajukan.
Masih dalam keadaan
kesal, kuhubungi lagi salah satu sohib atau sahabat sekaligus atasan.
Pertanyaannya sama. Tapi juga tak ada jawaban. Ini adalah kesal kesekian.
Akhirnya karena kesal, aku pergi tidur. Sebabnya karena tidak ada jawaban yang
meyakinkan. Jawaban mereka tak menyinggung substansi yang aku maksudkan. Maka
aku matikan hape dan terlelap. Dan ketika aku tersadar melek, jam sudah
menunjuk jam empat tiga pulu dua pagi. Aku bangun bangkit dari petiduran dan
meninggalkannya.
Setelah berdoa,
membaca kitab suciku dalam saat teduh yang sungguh teduh baru aku beraktivitas
normal. Aku menyalakan hape untuk mengetahui informasi apa yang masuk selama
aku matikan sejak tadi malam. Ternyata ada jawaban dari orang terakhir yang aku
hubungi. Dia bilang oke jam delapan pagi kita ketemu di sana. Padalah bukan itu
maksudku. Tapi sudahlah. Aku tak mau bertanya lagi. Aku pun berangkat.
Sampai di TKP
ternyata pintu masih terkunci. Aku tak bisa masuk. Kekesalan bertambah satu
lagi jumlahnya. Aku terpaksa menunggu di parkiran. Kira-kira setengah jam
temanku datang. Kami saling menyapa ala covid. Hanya dari jauh saling
mengangguk. Lalu kusampaikan bahwa pintu kantor masih terkunci. Beliau mencoba
membuka. Bisa terbuka karena tidak terkunci sejak malam. Entah apa yang
dikerjakan di dalam. Tiba-tiba dia membawa bendera, menautkannya pada tali yang
menggelantung di tiang tempatnya berkibar dan menaikkannya. Ia makin lama kian
tinggi melambai girang mengejekku yang kesal.
Sesudah itu beliau
mengajakku ke lantai tiga. Tak dinyana ia mengajakku bermain tenis meja. Memang
tenis meja adalah salah satu permainan kesukaanku. Tapi aku ke sini bukan untuk
bermain tenis meja sebenarnya. Aku ingin memenuhi undangan seperti yang
diesemes temanku kemarin. Tapi apa lacur sudah terlanjur berhadapan dengan meja
tenis yang membujur. Kami pun bermain.
Sebagaimana biasa,
bila akan berolahraga harus didahului dengan pemanasan. Jadi kami melakukan
pukulan-pukulan ringan agar otot-otot beradaptasi. Yaitu menyesuaikan diri
dengan pola-pola gerakan dalam permainan tenis meja. Kira-kira setengah jam,
kami beradu keterampilan. Kami bertanding. Permainan yang lumayan seru dengan
saling menyerang selama enam set. Sekalipun bermain dalam keadaan tidak stabil
sebab kesal, aku menang dengan skor empat melawan dua. Aku menang empat set.
Beliau memperoleh dua set. Kami pun berpisah. Beliau pulang karena ada rapat di
tempat lain. Aku tidak pulang. Tetap menunggu dengan keringat yang mengucur dan
kesal yang mendongkol.
Jam sebelas aku
ajak teman-teman yang ada untuk ketemu bos. Aku ajak karena setelah kutanya
tentang agenda tak satupun dari mereka yang tahu. Walaupun kami hanya
segelintir, aku memaksa mereka untuk menemui yang terhormat komandan. Kami pun
berada dalam ruangannya. Beliau membuka pertemuan. Katanya walau hanya sekian
orang kita mulai saja. Ternyata isinya tidak se-wah yang aku bayangkan. Apa
boleh buat. Aku sudah dalam kumpulan itu. Makin banyak lagi kesalku.
Kenapa kesalku
banyak begini? Ya, seperti yang sudah diceritakan jari-jariku di beberapa alinea
sebelumnya. Dan yang paling mengesalkan adalah aku tak bisa menulis dengan
nyaman. Ya, seperti ini. Pikiranku menutup diri. Tak mau berkolaborasi dengan
jari-jari untuk menghasilkan tulisan yang berbobot. Jadi tulisannya hanya ala
kadar begini. Tulisan yang cuma melampiaskan kekesalan pikiran. Tulisan tong
kosong.
Karena pikiranku
memblokir jalan berpikir yang mengalir maka tulisanku juga tak ajeg acak-acakan. Puntang cerenang.
Centang perenang. Selain itu, karena jari-jariku saja yang kegirangan
menari-nari di atas tuts huruf makanya dia tidak memberi judul. Tidak pake
judul. Dia hanya mengetik ketuk demi terbentuk kata, kalimat, alinea dan cerita
acakadul seperti ini. Semoga pembaca
sekalian yang budiman mafhum atas situasi pikiranku yang lagi kikir berpikir.
Semoga nanti, besok
atau besoknya lagi atau kapan-kapan pikiranku mau membuka diri lagi. Bila dia
sudah membuka diri aku akan mohon padanya bekerja sama dengan jemari tanganku
untuk menulis yang pantas. Dari sini aku bisa mengambil suatu hikmah bahwa: “Memang, jika pikiran kikir berpikir akan
fakir mengukir kata bergulir.”
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Jumat,
22 Mei 2020 (16.26 wita)
Semoga kita dimudahlan dalam berbagai urusan
ReplyDeleteAmin, Omjay!
Deletehidup terkadang berjalan menurut jalan yang kita hindari
ReplyDeleteThanks, bu!
Delete💯 menulis bisa menjadi motivasi bagi orang yang ingin sukses berkarya melalui tulisan.
ReplyDeleteC7. Karena itu, menulislah! Terima kasih, Pak Guru Keyn sudah membaca n tinggalkan komentar.
Delete