MALAM RABU HARI "COOL"
Cool Filadelfia: dokpri
Tadi malam aku
tinggalkan rumah dan menuju barat. Menunggangi motor tuaku dan menggelinding
perlahan. Sebab memilah pilih menghindari lobang dan bebatuan di jalan yang
tidak utuh rata. Selain itu, juga harus berhati-hati menghadapi sinar lampu
jauh kendaraan dari depan. Cahayanya sangat menyilaukan mata. Terpaksa aku
harus pelan.
Tidak mengapa
jalan pelan, yang penting selamat hingga tujuan dan sekembalinya. Aku suka
bahasa Jawanya: Alon-alon asal klakon.
Semoga aku tidak keliru menuliskannya. Maka kubiarkan dia menuntun membawaku ke
rumah Pak Guyub yang berada di bilangan Penfui, Kupang. Aku harus menempuh
jarak kekira sepuluhan kilometer sekali jalan.
Keluar dari
Tilong aku mengambil jalan baru arah kampung Oetete. Aku berhenti sejenak di
puncak bukit Oetete untuk menikmati kerlap-kerlip lampu di kejauhan. Cahaya
kunang-kunang kota dari rumah di sekitar Bimoku dan Penfui serta dari rumah
pangkap ikan di laut lepas Bolok dan Tenau.
Sesudah di
cabang Surya, aku berbelok kiri. Lalu menyusur jalan Timor Raya melalui Tarus
dan Manikin kemudian berbelok ke Bimoku. Jalan menanjak menuju Tugu Burung
simpang empat Penfui. Lima puluh meter sesudahnya aku berbelok masuk yang
kutuju yang kebetulan berada di sebelah kiri jalan.
Aku ikat kuda
besiku di tempat yang sesuai dan melangkah masuk. Di ruang tamu telah ada tuan
rumah dan beberapa teman sedang berbincang ringan. Aku memberi salam kepada
mereka gaya mas covid. Yaitu hanya dengan saling menyentuhkan tinju kemudian
menempati salah satu kursi yang telah disiapkan sang empunya rumah.
Aku lalu
membuka dan mengambil senjata yang biasa kubawa setiap malam Rabu hari “Cool” itu. Bukan senjata yang
membahayakan orang lain, teman. Tapi senjata berdawai yang memberi ketenangan
jiwa. Ya, benar sekali tebakanmu, teman. Gitar. Ia adalah senjataku untuk mendendangkan
gita Surga.
Aku selalu
membawa dan memainkan gitarku di setiap “Cool.”
Karena selalu membawa sendiri maka aku tidak pernah tidak bermain gitar di “Cool” di mana pun itu. Selain alasan
itu, aku merasakan atmosfir yang berbeda saat memetik dawai gitar. Kata yang
biasa kami pakai adalah: Mengundang hadirat Tuhan.
Apa
sesungguhnya “Cool” itu? Sedah cerita
dari tadi tapi belum tau apa itu “Cool.”
Aku paham itu, teman. Ini aku mau jelaskan padamu. Tapi sudah terlanjur
kautanyakan. Ya, kelihatannya Anda tak bisa sabar menunggu. Jadi biarlah
kujelaskan padamu, sohibku!
Cool itu adalah sebuah akronim dalam
bahasa Inggris, yaitu: Community of Love.
Kalau aku terjemahkan bebas menurut pemahamanku, kekira: Perkumpulan kasih.
Yakni kumpulan beberapa orang percaya yang bersepakat untuk memuji, menyembah
Tuhan dan mendengarkan firman-Nya. Begitu, kawan! Semoga keteranganku cukup
mencerahkan.
Cool ini kami lakukan di setiap hari Rabu
malam yang dimulai pada pukul 19.00 wita. Waktunya sangat fleksibel tapi tidak
sampai larut. Paling lama satu setengah jam. Artinya bisa kurang dari itu,
tidak boleh lebih dari. Kecuali ada kesepakatan lain dan mulainya lebih tempo.
Lebih awal, maksudku.
Pertemuannya tidak
melulu di tempat yang sama, selalu berpindah setiap minggunya. Itu pun
berpulang kepada anggota kelompok, siapa yang bersedia rumahnya dikunjungi.
Jadi tidak ada pemaksaan dan juga tidak menjadi suatu keharusan di rumah siapa.
Tadi malam ada
diskusi seru sesudah kami panjatkan doa, pujian dan penyembahan. Diskusinya
dilandaskan pada kehidupan Nuh yang terambil dari kitab Kejadian 6:9-22. Kami
membedahnya dengan pertanyaan penuntun ini: Apakah kita memperoleh kasih
karunia Tuhan? Apakah kita sudah hidup berkenan di hadapan Tuhan? Dan, apakah
kita sudah menuruti perintah Tuhan?
Setiap kami
diberi kesempatan menyatakan pendapatnya. Atau lebih tepatnya, masing-masing
kami memberi kesaksian hidup berlandas pada 3 pertanyaan tadi. Kami dengan sukarela
dan sukacita mengungkapkannya secara bergiliran. Bergantian menurut arah
perputaran jarum jam.
Kesimpulan
yang didapat adalah: Pertama, setiap kita telah dan selelau mendapat kasih
karunia Tuhan. Kita menikmati hidup sehat, ada damai sejahtera dalam menghidupi
kehidupan yang kita hidupi, Bahkan napas kehidupan yang kita hirup secara bebas
adalah bukti kasih karunia Tuhan.
Kedua, soal hidup berkenan kepada Tuhan itu
tergantung pada sikap hidup kita sehari-hari. Seberapa erat hubungan seseorang
dengan Tuhan. Apakah di setiap langkah hidup kita bergantung sepenuhnya pada
Tuhan? Yang mengetahui secara pasti adalah individu yang bersangkutan dan Tuhan
Sang Mahatau.
Yang terakhir, tentang hidup menuruti firman
Tuihan. Inipun kembali ke pribadi masing-masing. Sebab untuk bisa hidup
menuruti firman Tuhan, dia harus melakukan langkah-langkah ini: Membaca dan
renungkan firman Tuhan itu setiap hari.
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang,
NTT
Kamis, 16 September 2021 (15.51 wita)
Terimakasih atas Pencerahannya. Bapak Dosen.
ReplyDeleteSemoga Kita semua selalu Dekat dengan Tuhan dan Selalu Yakin akan Kebesaran Tuhan
Amin. Terima Kasih, Bu. Dan memang Tidak pilihan lain kecuali Tuhan Pencipta langit Dan bumi tempat Kita sandarkan hidup.
DeleteTerima Kasih sudah mampir n berbagi pendapat.