KEBIASAAN KEBERSAMAAN ORANG TILONG

 

Ilustrasi kebersamaan: wulanvalen.home.blog.

Sukacita dan dukacita adalah mata uang kehidupan yang tidak terpisahkan tidak terelakkan. Ia selalu dan senantiasa menghampiri hidup anak manusia di kolong langit ini. Maka adalah lumrah jika dalam kehidupannya ada perayaan-perayaan tertentu. Apakah itu ucapan syukur kebahagiaan atau ungkapan haru dukacita.

Perayaan kebersamaan itu sebagai penanda adanya suatu kehidupan dan kepedulian antarsesama anggota masyarakat tertentu. Demikian halnya dengan orang-orang yang ada di Tilong. Di saat-saat tertentu ada momentum kebersamaan yang dihelat. Momentum itu bisa ada karena dua sisi kehidupan tadi, sukacita pun dukacita.

Ada beberapa suasana sukacita yang biasa kami, masyarakat Tilong helat sebagai ucapan syukur. Suasana itu antara lain, seperti: Upacara pernikahan, sesudah seseorang diwisuda atau dinobatkan sebagai sarjana, pengangkatan dan pentahbisan seseorang sebagai pemimpin rohani dan terkadang juga ulang tahun bagi orang-orang tertentu.

Sedangkan ungkapan keharuan kesedihan kami sehubungan dengan rasa dukacita adalah pada saat ada kematian. Maka bila ada anggota masyarakat yang berduka kami akan datang memberi penghiburan dengan doa. Kami akan datang menyatakan rasa simpati, empati dan kesedihan yang sama terhadap keluarga yang berduka.

Ada dukungan lain selain penghiburan dalam doa-doa yang kami panjatkan. Dukungan yang dimaksud adalah mempersiapkan liang lahat sebagai tempat peristirahatan abadi bagi mendiang. Orang-orang terdekat akan menggali liang itu di tempat tertentu sesuai petunjuk keluarga yang berduka.

Sebagai pemakluman kepada pembaca bahwa keluarga yang berduka lebih suka menguburkan jasad orang-orang tercinta di sekitar rumah. Tidak banyak anggota masyarakat yang merelakan jasad orang yang mangkat di TPU. Tempat Pemakaman Umum.

Alasan mereka pernah kudengar sangat remeh temeh. Yaitu agar selalu dan tetap dekat dengan keluarga yang masih hidup. Biar orang-orang yang masih ada bisa duduk berkongko-kongko di atas makam sehingga selalu mengingatnya. Dan alasan lainnya yang serupa itu.

Padahal pemerintah telah mengeluarkan aturan tentang hal ini. Yaitu agar masyarakat tidak menguburkan anggota keluarganya yang wafat di halaman rumahnya. Bila tidak mengindahkan aturan ini akan dikenai sanksi. Sekalipun demikian masyarakat masih tetap melakukannya.

Sehubungan dengan acara ucapan syukur karena sukacita, ada tiga unsur yang selalu melekat erat di dalamnya. Di setiap suasana kebahagiaan itu mesti dan selalu ada ketiga hal ini sebagai bagian pentingnya. Ketiga hal yang saling berkelindan itu adalah: Pesta, musik dan variannya serta alkohol.

Pesta

Pesta, menurutku, adalah ungkapan kegembiraan bersama yang diwujudkan dengan tanggapan bersahaja. Tapi supaya dapat pemahanam yang lengkap biar kukutipkan pendapat Mbak Wikipedia. Ia berkata: “Pesta adalah sebuah acara sosial yang dimaksudkan terutama sebagai perayaan dan rekreasi.”

Selanjutnya Mbak Wikipedia memberi kategori, demikian: Pesta dapat bersifat keagamaan atau berkaitan dengan musim, atau, pada tingkat yang lebih terbatas, berkaitan dengan acara-acara pribadi dan keluarga untuk memperingati atau merayakan suatu peristiwa khusus dalam kehidupan yang bersangkutan.

Apa pun kategorinya, pesta selalu ada suguhannya. Mesti ada makanan untuk menjamu tetamu yang berkenan ada di tenda sukacita itu. Hidangan yang disediakan tidak harus mewah. Dan juga bukan berasal dari para penjual jasa penyedia makanan. Orang kota menyebutnya dengan isltilah keren: Catering.

Kenapa? Karena fokusnya bukan pada makanan tapi kebersamaan. Sekali lagi, seperti kata Mbak Wikipedia, ia merupakan kesempatan untuk berbagai interaksi sosial. Yaitu tadi, kebersamaan antaranggota masyarakat yang ikut merayakannya. Secara sederhana, mereka membahasakannya dengan: Duduk kumpul-kumpul dan berbagi cerita satu sama lain.

Musik

Selain pesta dan makan-makan ala kami, di sana pasti ada musik. Dan seperti kebiasaan, ia bisa musik langsung atau tidak langsung. Langsung artinya ada pemain musik dan biduannya sekaligus yang menghibur. Sedangkan tidak langsung adalah memutar kembali musik rekaman dari media tertentu. Misalnya: Telepon pintar, laptop, USB (universal serial bus) yang dalam bahasa Indonesia, standar bus serial atau flashdisk.

Ketika musik sudah berkumandang berarti di sana ada varian ikutannya. Apa itu? Kami menyebutnya dengan istilah: Badansa. Istilah bahasa Indonesianya adalah berdansa, berjoget, atau menari. Badansa itu selalu berpasangan. Umumnya laki dan perempuan saling berpegangan dan meliuk mengikuti dentuman nada yang mengalun.

Aktivitas badansa ini tidak dibatasi usia, jenis kelamin, dan status. Siapa pun yang tergerak ingin mengekspresikan dirinya melakukan gerakan-gerakan berirama, disilakan. Dan seluruh arena akan penuh dengan berpasasang-pasang kaki yang menghentak-hentak bergerak dan terus berpindah hingga musiknya selesai.

Kalau musik berhenti, semua yang badansa akan kembali ke tempatnya. Dan akan bangkit lagi memperlihatkan kebolehan di tengah arena. Lalu duduk lagi. Begitu seterusnya hingga pesta usai yang tak jarang sampai matahari merekah.

Menyangkut musik, ada satu hal yang mungkin tidak dipunyai teman-teman dari daerah lain di Indonesia. Yaitu suara musik yang keluar dari pengeras suara sangat menggelegar. Suaranya tidak hanya memekakkan telinga orang yang ada di acara itu, tetapi bisa kedengaran hingga radius satu kilometer. Bahkan pohon-pohon seperti mau terbantun karena getaran dentuman basnya.

Alkohol

Masih ada satu kebiasaan lagi yang tersisa selain jamuan makan dan badansa, yaitu alkohol. Yang aku maksud adalah minuman beralkohol bukan alkohol untuk membersihkan sesuatu. Yakni minuman yang memabukkan jika dikonsumsi secara berlebihan.

Ada banyak jenis minuman beralkohol yang beredar walau sudah ada larangan untuk itu. Dari banyak jenis itu, yang paling sering tersuguh di kampung kami ini adalah sopi dan laru. Sopi adalah keturunan dari laru. Sedangkan laru terlahir dari nira. Hebat, bukan?  

Prosesnya kekira begini. Nira yang berasal dari pohon lontar atau gewang bila difermentasi dengan akar-akar pohon tertentu akan menghasilkan laru. Ia juga bisa didapat dari rendaman air gula (campuran air dan gula cair olahan dari nira) dan akar pohon tertentu.

Laru itu bila disuling akan mengahsilkan sopi. Cara menyulingnya, ala kami di Tilong, adalah dengan menuangkan laru ke dalam wadah besar dan tertutup rapat dengan api terus menyala di bawahnya. Di tutupnya hanya diberi lobang kecil untuk pipa penyulingan dengan panjang tertentu. Pipa ini akan menghantar uap dari didihan laru dan menetes ke botol sebagai wadah penampung sopi.

Sopi yang dihasilkan pun ada tingkatannya. Ada kelasnya. Tingkatan teratas dengan kadar alkohol tertinggi biasa dinamai sopi kepala. Kawan, minuman ini mirip sepritus bisa terbakar. Menurut tuturan para sahabat yang kebetulan karib dengannya mengatakan bahwa orang bisa tumbang hanya dengan beberapa tegukan.

Ketika mereka akan minum sopi atau laru, mereka akan duduk dalam formasi melingkar. Satu orang di antara mereka dipercayakan untuk bertindak sebagai pembagi. Sebutannya yang disematkan adalah bandar.

Tugas seorang Bandar adalah menuang minuman dengan takaran yang sama. Ia juga yang menyerahkannya mereka yang terlibat secara bergiliran yang tetap. Ini mesti dilakukan karena gelas atau cangkir yang dipakai hanya satu. Selain itu juga agar pembagiannya merata dan takada yang terlewatkan.

Sungguh luar biasa, bukan? Apa luar biasanya, kawan? Mereka mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Yaitu sikap berkeadilan sosial yang merata dan sama rasa bagi seluruh anggota yang duduk bersama dalam lingkaran.

Dalam situasi ini aku berhayal dan berandai-andai. Kiranya suatu saat nanti para petinggi bangsa ini bisa merelakan diri datang ke Tilong. Mereka bisa menengok dan melakukan apa yang teman-teman atau saudara-saudaraku buat. Terutama yang menyangkut dengan implementasi nilai-nilai Pancasila tadi. Maka niscaya Indonesia sejahtera karena tidak ada orang miskin dan melarat. Sebab mereka diperlakukan secara adil merata sama rasa.   

Demikian sobat pembaca yang budiman, cerita dari Tilong yang bisa kubagikan pada hari ini. Anda bisa menyaksikan langsung sekiranya tuan-tuan dan puan-puan berkesempatan berkunjung ke ‘negara’ kami ini. Atau boleh juga terlibat langsung demi merasakan kebiasaan kebersamaan orang Tilong dalam segala ‘kemegahan.’

 

Tabe, Pareng, Punten!

 

Tilong-Kupang, NTT

Jumat, 10 September 2021 (13.46 wita)

Comments

  1. Wow, tak sabar ingin menikmati Kebersamaan di Tilong nan Damai.
    Semoga budaya yg adiluhung tetap dilestarikan.
    Terimakasih Bapak.
    Salam Hormat buat Saudara kita di Tilong nan Damai.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima Kasih, Bu Tiwi. Ya. Semoga anak2 milenial bisa melestarikan hal2 yang positif memberdayakan.

      Salam hormat juga Dari masyarakat Tilong untuk teman2 di Bali!

      Delete
  2. Asli na, Pak Dosen. Next trip saya akan ke Tilong 👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap! Ditunggu kedatangannya, Bu Lily.

      Terima Kasih sudah mampir n tinggalkan jejak. Gb!

      Delete
  3. Mari kita belajar nilai pancasila yang tersirat dari duduk melingkar dan meneguk minuman yang sama banyak, rasa yang sama dan giliran yang tetap.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha...Betul itu, Pak Guru Aron. Penerapannya harus dimulai Dari kelompok kecil. Kalau sukses baru beranjak ke kelompok yang lebih besar.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL