HARI-HARI NIRKARYA
![]() |
Ilustrasi: kompasiana.com. |
Kurang lebih dua hari ini aku lalui tanpa karya tulis untuk dipublikasi. Itu karena aku harus menjalankan tugas mulia menyunting tulisan teman-teman pegiat literasi. Para literat yang tergabung di GWA MBI (grup WA Menulis Buku Inspirasi).
Karya tulis
para pegiat literasi ini bertemakan: Terima Kasih Guruku. Mereka diberi
kesempatan mengekspresikan rasa bangga dan terima kasih untuk para gurunya.
Para pahlawan tanpa tanda jasa yang telah menjadikan manusia berbudi luhur.
Bahwa karena gurulah mereka ada sebagaimana mereka ada hari ini.
Karya-karya
ini akan dijadikan sebuah buku antologi. Rencananya akan ada lebih dari satu buku
antologi karena banyak teman guru sangat antusia untuk bertutur tentang sang
guru. Dan buku ini menjadi hadiah
terindah bagi para guru di Hari Guru nanti.
Sampai hari
ini belum tuntas proses penyuntingan itu bersebab masih menunggu setoran. Ada
beberapa teman yang tulisannya belum sampai di meja ‘redaksi.’ Maksudku meja
penyunting. Aku sengaja pakai kata ‘redaksi’ biar kedengarannya keren saja.
Kesan yang
didapat dengan menempelkan kata itu adalah sangat profesional. Mungkin juga bereputasi
nasional atau malah internasional. Padahal kenyataannya tidak sedemikian heboh
dan sementereng itu. Sebab aku sebagai penerima tugas prestisius dan bergengsi
tersebut hanyalah seorang guru kecil yang tinggal di kampung terpencil, Tilong.
Kembali lagi
ke substansi coret-coretan ini tentang hari-hari nir karya. Aku masih menunggu
karya yang lainnya. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan. Barangkali karena
kemacetan lalu lintas yang mencegat di tengah jalan. Aku kurang tahu pasti.
Maka di hari
kelengangan tanpa suntingan ini, aku manfaatkan untuk menulis sedikit.
Mengisahkan serbasedikit tentang apa yang aku rasakan sehubungan dengan
kegiatan penyuntingan naskah. Baik segala sesuatu yang menyenangkan pun yang
sebaliknya.
Sejujurnya hal
menyunting itu sangat menyenangkan. Tidak ada hal yang menyebalkan atau
menjengkelkan. Yang ada adalah hal-hal yang kadang membingungkan atau kurang
meyakinkan. Karena itu, aku agak kesulitan menerka alur berpikir teman-teman
penulis.
Hal yang
kurang enak dibaca itu tidak di seluruh tulisan. Enak dibaca yang aku maksud
adalah adanya penggambaran ide yang jelas. Artinya dapat dipahami oleh khalayak
pembaca kelak. Sebab karya intelektual ini akan dinikmati banyak orang dari
segala kalangan. Entah orang berpendidikan rendah, sedang pun tinggi.
Karena itulah,
maka apa yang tertulis itu sebaiknya memberi kelegaan bernalar. Sebisa mungkin karya
tulis yang ditayangkan tidak memaksa pembaca mengernyitkan kening. Mereka mengerutkan
dahi sebab tidak bisa menangkap idenya.
Memang kondisi
ini tidak terdapat pada semua karya. Hanya di bagian-bagian tertentu dari
tulisan tertentu pula. Secara menyeluruh, semua karya memberi informasi yang
menggelitik dinding nalar dan rasa pembaca. Bahkan mengusik budi dan emosi.
Kenapa bisa
demikian? Sebab setiap penulis menyatakannya dari apa yang mereka rasa dan
alami. Sebab ia berasal dan tercipta dari pengalaman hidup sang penulis. Dan,
pastinya, ia bukanlah sebuah karya rekaan yang melayang-layang.
Atas
pengalaman dan kekayaan batin yang aku peroleh dari hasil menyunting itu, aku
ingin berbagai. Aku ingin menyampaikan kembali hal-hal kurang pas yang membuat
tulisan kurang enak dibaca.
Tapi ini bukan
hasil bedahan secara teoretis akademik ilmiah. Ini hanya berdasarkan secuil
pengalamanku bergelut dengannya. Sehingga bisa saja ia tidak benar. Oleh karena
itu, apa yang kusampaikan ini bukanlah suatu keharusan untuk diikuti. Ini hanya
sekadar berbagi informasi.
Dari pengalaman
itu, hal-hal inilah yang aku dapati.
Kata Bahasa Asing
Menyelipkan kata
bahasa asing dalam tulisan adalah sebuah kekayaan. Tapi mesti dengan cara yang
semestinya dan sekiranya belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Supaya
tidak terkesan bahwa bahasa asing itu lebih keren lagi wah dibanding bahasa Indonesia. Atau yang lebih parah lagi adalah
agar orang tahu bahwa kita hebat.
Aku dengan
hormat dan kerendahan hati mengajak teman-teman untuk giat berliterasi menggunakan
bahasa Indonesia. Mari berbangga menulis menyampaikan isi hati dan pikiran
dalam bahasa Indonesia di setiap tulisan kita. Sebisa mungkin tidak membiarkan kata-kata
asing berseliweran dalam tulisan.
Kenapa? Pertama, agar orang yang membaca tidak
tersendat terganjal kata asing. Kedua,
sebagai wujud bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa. Ketiga, demi mengimplementasi UU No. 24
Tahun 2009. Intisarinya adalah, (www.kemendikbud.go.id.): “Utamakan
bahasa Indonesia, lestarikan bahasa Daerah dan kuasai bahasa Asing!”
Kita diimbau,
tepatnya diperintahkan, oleh undang-undang untuk menguasai bahasa asing. Tapi
bukan untuk mengambil alih kedudukan bahasa Indonesia dalam keseharian kita.
Apakah dalam bertutur secara lisan dan/atau tertulis.
Kalimat dan
Alinea
Tujuan menulis
agar orang menangkap kandungan hati dan pikiran penulis. Yaitu sebuah ide di
setiap kalimat dan alinea yang dibangun. Sehingga sesudah itu, pembaca dapat
menarik satu kesimpulan, manfaat atau pembelajaran bernas dari tulisan kita.
Agar gampang
dicerna, sebaiknya tidak banyak kata dalam sebuah kalimat. Itu imbauan dari
para maestro yang sudah kupraktikkan. Mereka mengatakan antara delapan hingga
sepuluh kata. Kisarannya demikian. Itu bukan sebuah harga mati. Tapi idealnya
begitu.
Tapi terkadang
bisa bablas kelewatan di kala asik mengulik kata. Oleh karena itu, perlu
dilatihkan sesering mungkin agar makin hari kian terampil. Cara berlatih yang
efektif adalah menyatakan sesuatu secara langsung pada obyeknya. Jangan
berputar-putar dan melebar ke mana-mana.
Demikian juga
dengan alinea. Ide atau pokok pikirannya mudah ditangkap jika alineanya tidak
menggelembung. Maka jumlah kalimat di dalamnya harus diperhatikan. Yaitu
berkisar antara tiga hingga lima kalimat saja. Itu sudah cukup merangkum sebuah
pokok pikiran yang ingin disampaikan.
Kata Depan dan
Awalan
Penulisan kata
depan dan awalan perlu dan wajib dikuasai. Yaitu kapan ia diposisikan sebagai
kata depan dan sebagai awalan. Menurutku, ia ditempatkan sebagai kata depan jika diikuti oleh dan
terpisah dengan kata keterangan. Sebagai awalan
jika ia di depan dan menyatu menempel dengan kata kerja.
Contohnya, ‘di’ sebagai kata depan. Di masa pandemi ini, kita harus tinggal di rumah. Di mana ada Papa, di sana
pasti ada Mama! Yang berikut, ‘di’
sebagai awalan. Cara ini disampaikan
oleh para pakar. Hadiah disediakan
oleh panitia! Dan masih ada kata depan lainnya yang perlu diketahui dan
digunakan secara benar.
Ini adalah cara
lain untuk mengetahui apakah ia adalah kata depan atau awalan. Ambil contoh, ‘di.’ Coba menggantikannya dengan ‘me.’ Kalau enak dilaval saat membaca
berarti itu awalan. Tapi kalau terasa janggal ganjil saat diucap berarti kata
depan. Sebaliknya jika nyaman dikatakan maka ia adalah awalan.
Misalanya: Di masa menjadi memasa. Di saat jadi mesaat. Apakah kata memasa dan mesaat dapat
dipakai dalam tuturan dan bisa dipahami? Yang berikut: Diambil jadi mengambil.
Disimpan jadi menyimpan. Disangkal jadi menyangkal. Apakah mengambil, menyimpan
dan menyangkal bisa digunakan dan dipahami? Anda putuskan!
Penempatan
Tanda Baca
Sebagai
penulis, penguasaan penempatan tanda baca adalah sebuah keniscayaan. Yang aku
maksudkan adalah cara meletakkan atau menempatkannya. Dan menurutku tanda baca terbagi
dalam dua golongan sehingga cara menempatkannya pun harus disesuaikan.
Yang pertama, aku menyebutnya sebagai tanda
baca primer. Yaitu: Titik (.), koma
(,), titik koma (;), titik dua (:), tanda tanya (?),
tanda seru (!). Yang kedua, aku menyebutnya tanda baca
sekunder. Yaitu: Tanda petik (“),
apostrof atau tanda koma atas (‘).
Tanda baca
yang masuk golongan primer ditempatkan menempel pada kata yang diikuti. Sedangkan
yang sekunder harus yang terakhir ditempatkan bila didahului oleh tanda baca
primer. Contoh: Siapa yang bilang begitu? Dia suka baca, bercerita, menulis.
Katanya: “Kamu harus menulis dengan cara yang benar!”
Semua yang sudah kuutarakan dan uraikan, sekali lagi kukatakan, bukanlah sebuah kajian ilmiah. Ia datang dari pemahaman dan pengalamanku saja. Itu pun karena sering kulihat dan baca dari tulisan-tulisan para senior yang juga adalah pakar. Jadi aku hanya membahasakannya kembali dengan cara yang kumampu.
Untuk
sementara itu yang bisa kuutarakan padamu, sahabat. Barangkali masih banyak hal
yang belum terdeteksi dan kuungkap. Biarlah itu menjadi bagian teman-teman lain
yang lebih jeli meneropongnya. Kita tunggu saja. Saatnya pasti akan datang.
Harapanku,
semoga uraian ini bermanfaat bagi teman-teman pegiat literasi. Terutama untuk
para pembaca yang berkeinginan menulis berolahnalar dan berolahrasa. Semoga
pula apa yang kutulis tidak menggurui. Tetapi kalau ada, maafkanlah!
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang,
NTT
Senin, 6 September 2021 (15.05 wita)
Kereen Pak, terimakasih sudah berbagi ya Pak.Semoga kami bisa menjadi penulis hebat seperti Bapak🙏
ReplyDeleteTerima kasih kembali, Bu Mei. Semoga bermanfaat. Ibu pasti bisa. Malah bakal melebihi saya. Gb!
DeleteTetap berkarya di hari-hari nirkarya, luar biasa!
ReplyDeleteTerima kasih, Bung atas apresiasinya. Orang muda harus lebih keren.
DeleteKereen Pak Dosen, banyak ilmunya. Terima kasih yaa
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Lilis karena sudah membaca Dan tinggalkan jejak apresiasi yang membanggakan. Gb!
DeleteBermanfaat sekali Pak tulisannya.👍👍👍
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Dwi sudah mampir n beri apresiasi. Gb!
DeleteTerima Kasih Pak Guru, saya sudah mulai untuk menulis setiap hari seperti Bapak 👍👍👍
ReplyDeleteTerima kasih kembali, Bu Lily sudah membaca n tinggalkan jejak.
DeleteMantap. Terus berkarya tinggalkan jejak jntelektualitas bagi Generasi selanjutnya. Gb!
Sangat bermanfaat untuk penulis pemula..
ReplyDeleteTerimakasi bapak..
Terima kasih, orang muda atas apresiasinya. Gb!
DeleteSangat bermanfaat sekali. Terimakasih ilmunya bapak. 🙏
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Mardiyah sudah membaca n tinggalkan jejak. Gb!
DeleteKEREN sekali bapa! Selalu menginspirasi.👍
ReplyDelete