BERLITERASI = BERTANI
Lahan sayuran di sebelah rumah: dokpri |
Benarkah
berliterasi sama dengan bertani? Di mana letak kesamaannya? Hubungannya
bagaimana sehingga bisa dikatakan demikian? Bukankah masing-masing memiliki
bidang dan ruang karya yang berbeda? Yang satu duduk manis di meja dan yang lainnya
harus berjibaku bertarung dengan dahsyat. Lalu?
Begitulah reaksi
pembaca ketika melihat judul di atas. Mungkin ada juga yang tidak memberi
tanggapan apa-apa. Ada pula yang hanya menengok sambil lalu saja. Tidak perlu
memberi perhatian padanya. Dan banyak kemungkinan lain. Sah saja adanya.
Pembaca yang
terhormat, aku bukan ahli literasi atau pun pertanian. Jadi aku tak bisa
menguraikannya secara seorang ahli membedah sesuatu. Karena itu, aku hanya akan
bercerita dengan cara yang aku bisa. Dan sebisa mungkin para pembaca bisa
menangkap idenya.
Begini!
Tetangga dekatku
dan beberapa keluarga tetangga lainnya membuka lahan di samping rumahku. Mereka
menebas hutan lebatnya dan kini menjadi lahan bersih. Lahan itu mereka olah
dengan alat-alat pertanian sederhana, seperti: Cangkul, linggis, parang, dan
lain-lain.
Mereka
menggembur tanah yang sudah bersih dari pohon dan gulma. Bagian-bagian yang
sudah digembur, mereka buat bedeng-bedeng memanjang. Kekira berukuran satu kali
tiga atau empat meter. Bedeng-bedeng itu dibuat berderet-deret.
Lalu mereka
menyiram hingga tanah melembut. Kemudian mereka menyemaikan bibit. Segala macam
bibit tanaman yang mereka punya, disemaikan. Ada juga yang langsung di tanam
tanpa melalui proses penyemaian. Ada pula beberapa jenis tanaman yang tidak
perlu dibuatkan bedeng. Hanya diletakkan saja di dalam lubang-lubang berukuran
kecil.
Yang mereka
budidayakan adalah beraneka sayuran, seperti: Sayur putih, kangkung, kol, tomat,
kacang panjang, dan yang lainnya. Ada juga cabai, bawang merah dan bawang putih.
Selain itu, ada pula ketimun dan pare yang kami di Tilong sini menyebutnya
paria.
Nama yang
benar menurut kaidah bahasa adalah pare. Atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan
bitter melon. Sedangkan nama latinnya
momordica charantia. Tapi kami tidak sejahtera
menyebutnya pare. Apa sebabnya? Sebab dalam bahasa Timor, pare artinya mencret.
Maka, daripada membuat orang tidak nyaman, kami memilih paria.
Kalau
tanaman-tanaman itu sudah menghasilkan akan dipanen. Hasil panenan akan
dikumpulkan masing-masing sesuai jenisnya. Kemudian mereka akan mengirim atau
mengantarnya ke pasar atau kepada pengepul untuk selanjutnya dijual. Mereka
tidak akan menumpuknya jadi satu. Tetapi, sekali lagi disatukan menurut
jenisnya.
Tujuannya
adalah agar gampang diambil dan juga memudahkan dalam penetapan harga. Selain
itu, karena masing-masingnya memerlukan perlakuan yang berbeda-beda. Demikian
juga agar ada daya tarik bagi mereka yang ingin membeli bila disatukan menurut
jenisnya.
Berliterasi
juga begitu, menurutku, khusunya tentang tulis menulis. Para penulis berkarya
mengeluarkan benih-benih kecerdasannya. Lalu diolah hingga menghasilkan tulisan
sesuai karakter dirinya. Bisa juga ia menghasilkan banyak jenis tulisan.
Sesudah ia
menghasilkan tulisan-tulisan itu, dia akan kumpulkan ke dalam berkas. Berkas
itu dipilah sesuai jenis atau ragam tulisan. Tulisan-tulisan yang memiliki
karakteristik yang sama dikumpul lalu dijahit menjadi buku. Buku inilah yang
akan dinikmati oleh banyak orang.
Ya, seperti
sekarang ini. YPTD memberi kesempatan kepada setiap penulis untuk mengurus
lahan berliterasi selama 40 hari. Bila lahan literasinya sudah menghasilkan,
akan dipanen. Yaitu dikumpulkan dan akan dijadikan buku sebagai mahkota
intelektual seorang penulis. Ada jejak kebanggaan yang ditorehkan dan
tinggalkan bagi generasi berikut.
Para pegiat
literasi yang juga penyemai kecerdasan ini terus bergiat merengkuh dayungnya.
Dan hingga kini mereka telah menyelesaikan saparuh perjalanan. Masih menyisakan
paruh kedua hingga masuk garis akhir nanti di hari terakhir bulan ini.
Para petani
menyemai bibit tanaman untuk menghasilkan makanan bergizi. Yaitu asupan yang
berguna bagi pertumbuhan sosok jasmani anak manusia. Sedangkan para penulis
berkarya menyemai bibit kecerdasan untuk menghasilkan literasi. Ia menjadi
asupan bergizi bagi perkembangan sisik rohani masyarakat bangsa.
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang,
NTT
Kamis, 9 September
2021 (13.04 wita)
Analogi yang menawan
ReplyDeleteTerima Kasih, Bung!
DeleteCoba disambung2in ja. Gb!
Mantap Bapak.
ReplyDeleteTerimakasih.
Terima kàsih kembali, Bu Tiwi. Gb!
DeleteSetuju berliterasi sama dengan bertani,. Maka perlu di pupuk semangatnya untuk menulis supaya menghasilkan buku,. dan tetap sehat our mind,.
ReplyDeleteTerima kasih banyak karena sudah membaca n tinggalkan jejak.
DeleteSalam hormat, salam sehat selalu!
Benar skali pak.
ReplyDeleteTerima kasih, Pak Guru! Ditunggu tulisannya biar bisa dibaca banyak orang!
Delete