MULAI DARI MANA?
Gambar ilustrasi: nyipenengah.com. |
Judul artikel di atas
adalah pertanyaan yang sering dilontarkan. Ia akan keluar terlontar begitu saja
ketika seseorang atau sekelompok orang diimbau untuk menulis. Pertanyaan yang tersampaikan
itu seolah mewakili ketidakberdayaan atau rasa frustrasi.
Benarkah sedemikian
sulitnya? Susah sekalikah menyatakan buah pikiran melalui tulisan? Jika menulis
sama dengan berbicara, maka seyogyanya tidak sulit. Sebab setiap saat setiap orang
berbicara menyatakan apa saja yang terkandung dalam hati dan pikirannya. Maka
semestinya segampang itu pula menulis itu.
Sebagai jawaban dari
judul tulisan ini, menurutku tidak ada rumus yang baku. Itu berdasakan sudut
pandang dan pengalamanku. Tidak ada dalil yang pasti sebagai pedoman untuk
memulai menulis. Karena menulis itu sebuah kreativitas padu antara nalar dan
rasa, maka ia bebas. Terserah penciptanya.
Penulis bebas menentukan
dari mana mau memulai. Ia bisa memulainya dari apa yang dilihat atau dari apa
yang dirasa. Boleh juga dimulai dari apa yang diraba. Tak dilarang juga kalau
mau memulai dari apa yang dicium. Bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk
mengawalinya dari apa yang didengar.
Semua yang masuk dan
tertangkap indra manusia dapat menjadi alasan logis untuk mulai menulis. Kata
pertama itu yang akan menuntun terukirnya banyak kata berikut. Sehingga kata-kata
itu akan sambung menyambung menjadi sebuah cerita unik yang enak dibaca.
Aku punya pengalaman
tentang ini.
Suatu saat ada kegiatan
sekolah yang mengharuskan kami tinggal di sekolah dan harus menginap. Ketika
anak-anak dan para guru sedang istirahat, aku tidak bisa pejamkan mata.
Pikiranku mendesak untuk menulis. Tapi aku taktahu apa dan dari mana mau
menulis.
Maka aku duduk di depan komputer
yang masih menyala. Dan mulai menulis dengan satu kata ini: Iseng! Hanya satu kata itu saja di
awalnya. Kata ini kujadikan judul tulisan yang entah bakal jadi seperti apa
nantinya. Aku terus memainkan jari-jari di atas papan bersimbol itu hingga
selesai.
Aku mulai menguraikan
perlahan bertahap dan sebisa mungkin berurut seturut nalarku. Dan kuturuti saja
ke mana nalar dan rasaku menuntun. Tidak terasa aku menyelesaikan tulisan
sederhana itu. Sesudah menyelesaikannya kuganti judulnya menjadi: Biarkan Dia Mengejawantah.
Gambar cuplikan tulisan, dokpri. |
Tulisan itu pun dimuat
di Buku Tahunan SMP Dian Harapan Mentawai, Tangerang tahun 2005. Ia ada di
halaman pertama di bagian Apa Siapa. Artikel
ini akhirnya aku masukkan dalam bukuku: Di
Mana Bumi Dipijak Di Sana Langit Dijunjung yang terbitkan oleh Bitread
Publishing tahun 2019.
Dari pengalaman ini, aku
sungguh percaya bahkan yakin seyakin-yakinnya bahwa teman-teman pembaca pasti
memilikinya juga. Karena itu, daripada disimpandiamkan saja, lebih baik
dilahirtelorkan. Biar dunia tahu bahwa Anda memiliki sesuatu yang berharga
bernilai. Sesuatu yang dapat menginspirasi banyak orang lainnya.
Misalnya seperti hari
ini. Teman-teman, saudara-saudaraku sedang merayakan Idul Adha. Para sahabat
yang merayakannya bisa menceritakan sedikit tentang hari bahagia ini. Sobat
bisa menuliskan betapa bersyukurnya karena masih diberi kesempatan
menikmatinya.
Perkenankan aku juga
mengucapkan: Selamat merayakan Idul Adha bagi teman-teman semua yang
merayakannya. Biarlah lewat tulisan ini kita bersua dan bersilaturahmi berbagi
kebahagiaan. Secara fisik kita tidak berjumpa karena memang wabah masih
merambah. Namun kiranya persahabatan kita tetap berpaut mengental mengikat sesama
anak bangsa.
Dua alinea di atas
seperti takada hubungan dengan isi tulisan ini. Dan memang begitulah. Tapi aku
mau menyampaikan padamu, sahabatku, bahwa mulailah saja dari apa yang terbersit
di kepala. Sebab selama yang kita tulis itu tercetus karena adanya semangat
berbagi, pasti bermanfaat.
Jadi, tunggu apa lagi,
sobat? Tulislah sudah kata pertama yang paling mendesak. Kata di pelupuk nalar
dan rasa yang muncul dari salah satu alat dria. Jangan ditahan-tahan. Lepaskan
saja. Biarkan kata demi kata berdatangan bergandengan bermunculan hingga
ceritanya usai tuntas.
Sekali lagi, selamat merayakan
Idul Adha. Mohon maaf lahir dan batin!
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang, NTT
Selasa, 20 Juli 2021 (10.31
wita)
Saran yg sangat bermanfaat buat saya, saya sangat bersyukur
ReplyDeleteTerima kasih karena sudah membaca Dan tinggalkan jejak.
DeleteJangan ragu untuk menuangkan pikiran sobat lewat tulisan.
Memberkkan inspirasi untuk menulis skaligus mengucapkan slamat idul adha. "Skali mendayung 2 - 3 pulau terlampaui" 😀
ReplyDeleteHahahaha...biar hemat energi. Coba disambung2in saja. Semoga gak norak. 😀
DeleteHahahaha...biar hemat energi. Coba disambung2in saja. Semoga gak norak. 😀
DeleteTerima kasih sudah membaca n berkomentar.
Masih ingat bro. Btw bukunya kok ya kebanjiran. Hahaha...
ReplyDeleteBerarti dia mengingatkan kembali ke masa enambelas tahun Lalu.
DeleteAny way, thanks for reading it. Gb!
Terima Kasih Pak Guru, mau berbagi trik, meskipun Pandemi. Meskipun kita hanya bersua lewat media, ucapan hari raya menyenangkan jiwa.
ReplyDeleteSama2, Bu Lily. Semoga bermanfaat. Ya, covid tidak boleh memutuskan Tali silaturahmi walau via medsos.
DeleteTulisan yang menginspirasi, tidak semua orang berani menulis, bersyukur juga bagi saya walaupun masih fakir ilmu, atau ilmu masih seujung kuku tapi berani menulis hingga menerbitkan buku, termasuk di Menulis NTT, salam kenal Bapak🙏
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Eti. Semoga bermanfaat bagi rekan2 yang Masih tàkut menulis.
DeleteSalam kenal juga, Salam sehat Dan Salam hormat.
Betul sekali bapak, walaupun menulis butuh waktu tapi kegiatan menulis sangatlah menyenangkan
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Nani. Ya, bàgi yang sudah terbiasa menulis, ia jadi kegiatan yang menyenangkan. Tetapi bagi mereka yang belum biasa, ada rasa takut.
DeleteSemoga tulisan ini bermanfaat bagi teman2 yang bàru mau memulai.