MENULIS, BERAKSARA TANPA SUARA!

Gambar ilustrasi: kompasiana.com.


Menulis itu sejatinya adalah berujar, berbicara dan/atau berkata-kata tanpa suara. Saat menulis, kita sedang beraksara tanpa suara. Di sana kita bisa curhat. Kita bisa menyatakan kegalauan atau sukacita. Kemarahan atau kegembiraan. Ya, kita bisa berbicara tanpa suara tentang apa saja yang dirasa.

Kita bisa mencurahmuntahkan segala isi di hati tentang apa pun saat beraksara tanpa suara itu. Kita bisa menyatakan segala kegalauan dan/atau keresahan. Bisa juga kita melampiaskan kemarahan tanpa berteriak atau sampaikan kegembiraan dalam diam. Kita dapat berkata-kata, berujar atau lantang berbicara tanpa suara.

Berikut beberapa pengalaman batin sekaligus argumentasi pribadi sehubungan dengan menulis. Yang aku sebut sebagai tindakan beraksara tanpa suara. Ini bukan sebuah dalil dari sebuah olahan penelitian. Ia ada karena karib digauli setiap saat. Oleh karena itu, pembaca bisa menambah atau mengurangi sesuai pengalaman dan pemahamannya.

Menulis = Berbisik Pada Diri Sendiri

Mengapa kubilang bahwa menulis itu sama dengan berbisik pada diri sendiri? Karena ketika kita menulis kita tidak mengeluarkan suara kencang-kencang. Tetapi sebaliknya, kita hanya berbisik di dalam hati. Dan kata-kata itu meluncur begitu saja melalui jari jemari yang menari di atas papan bersimbol. Atau jari kita menarikan potlot/bolpen di sebuah kertas putih.

Sahabat pembaca pasti setuju bahwa setiap kita pernah berbicara dengan atau pada diri sendiri. Memang tidak setiap saat seseorang bercakap dengan dirinya. Ada waktu-waktu tertentu seseorang berdialog dengan dirinya. Berbisik, bercakap atau berdialog dengan diri sendiri dikenal dengan istilah monolog. Mari bermonolog di atas kertas.

Menulis, Paparkan Kejujuran

Karena menulis itu berbisik, bercakap atau berdialog pada diri sendiri maka ia pasti dan haruslah jujur berujar. Sebab tidak mungkin seseorang bermonolog berbohong pada dirinya sendiri. Adakah keuntungannya berbohong pada diri sendiri?

Apa pun yang dikatakan untuk diri sendiri pastilah sebuah kebenaran kejujuran. Entah kebenaran dan kejujuran itu menurut sudut pandangnya sendiri atau yang dilihat dari kacamata umum. Maka marilah membisik menyatakan suatu kebenaran kejujuran, paling tidak, untuk diri sendiri.

Menulis, Menyampaikan Geram Dalam Diam

Menulis juga merupakan salah satu cara menyampaikan geram dalam diam. Misalnya kita dibuat kesal sama seseorang karena suatu hal yang kelihatan sepele. Dan mungkin itu datang dari pasangan, teman atau atasan. Walau frustrasi, tidak usah berkonfrontasi. Tuliskan saja. Luapkan semua rasa geram dalam diam lewat tulisan. Itu lebih menghemat energi.

Ya, mengungkapkan rasa geram tanpa menunjukkan wajah keram adalah dengan menulis. Tapi ketika kita menyatakannya di atas kertas atau di mesin tulis bukanlah dengan cara menghina atau menyudutkan. Sampaikan saja rasa dan nalar kita dengan runut dan runtut sebagai suatu indikasi kita mampu kendalikan emosi. Itu cara memupuk integritas diri.

Menulis, Berlatih Memberi Solusi

Bukan hanya sebagai sarana dan cara mengendalikan emosi, tapi juga sebagai metode melatih diri memberi solusi. Syukur-syukur menjadi solusi yang terstruktur. Itu akan memberi umpan balik yang keren bagi yang menulis. Sekaligus juga memberi penguatan diri bagi yang mendengarkannya, mereka yang membacanya.

Memberi umpan balik yang kerena bagi penulis artinya sekaligus juga memberi penguatan. Bahwa apa yang ia uraikan dalam tulisannya sungguh bermanfaat bagi orang lain. Artinya juga bahwa buah olahrasa dan olahnalar penulis memiliki kekuatan membebaskan yang dahsyat.

Sekali lagi, menulis adalah cara terbaik memberi solusi yang runut runtut terstruktur. Ia dapat memberi jalan keluar yang melegakan bagi pembaca yang kebetulan membutuhkan informasi tersebut. Maka menulislah terus. Siapa nyana tulisan kita bisa menjadi solusi yang pasti bagi banyak orang yang terlilit masalah pelik.

Menulis itu Memberi Pertolongan

Dengan tulisan yang memberi jalan keluar itu kita telah memberi pertolongan tanpa sengaja. Sebab sesudah menulis dan menayangkannya, kita tidak tahu dan tidak usah memprediksi siapa yang bakal membaca. Biarlah dia menemui ‘karunianya’ sendiri. Biarlah dia bertemu ‘jodohnya’ sendiri yang entah siapa.

Biarkan saja tulisan kita menjalankan ‘karunianya’ dengan memberi pertolongan secara tak sengaja tadi. Dan bertemu ‘jodohnya’ artinya biarkan dia disapa siapa saja. Dalam arti mereka yang membacanya dan yang mendapatkan sesuatu darinya. Yaitu mereka bisa memperoleh solusi yang menolong.

Tulisan yang begizi tidak hanya menolong, tapi juga membangunkan yang terpuruk. Baik yang terpuruk secara mental, maupun secara sosial. Ia bahkan akan mempertebal rasa percaya diri pembaca untuk menatap kehidupan yang masih membentang.

Menulis, Jernihkan Hati dan Pikiran yang Keruh

Menulis itu juga adalah cara menjernihkan hati dan pikiran yang keruh. Ketika kita dirundung persoalan pelik yang membelit, tuangkanlah dalam tulisan. Uraikan secara rinci dan runut. Mulai ceritakan dari sumbernya, akibatnya dan cara menyelesaikannya. Lalu menutupnya dengan kesimpulan sebagai sebuah solusi. Ini akan bermanfaat saat bertemu hal serupa.

Menuliskan secara rinci dan runut isi hati dan pikiran yang kusut berarti kita sedang mengurai dan menjernihkannya. Kita membereskan hati pikiran yang puntang cerenang. Dengan begitu, kita melampangkannya dari hal karut marut dan kalut yang berkelindan.

Artinya pula bahwa dengan menulis, kita telah memberi kelegaan jiwa dan rohani. Dengan demikian kita memiliki jiwa dan rohani yang sehat. Kondisi jiwa dan rohani yang sehat ini akan memberi kekuatan baru untuk berkarya lebih giat dan lebih produktif.

Menulis, Melerai yang Bertikai

Terkadang tulisan yang kita hasilkan dapat menjadi alat pelerai sebuah pertikaian. Karena tulisan kita itu mengandung ajakan untuk saling memaafkan dan hidup bersahabat. Maka ketika orang yang membungkus pertikaian itu membaca, ia akan disadarkan. Diubahkan.

Itu sebabnya ketika menulis, sampaikanlah kebaikan dalam hal apapun. Sebab kita tidak tahu kapan ia akan dibaca dan siapa yang akan membaca. Seperti yang kuuraikan sebelumnya, biarkan tulisan kita menemui ‘karunia’ dan ‘jodohnya.’ Bukankah tulisan yang menolong orang banyak itu adalah berkah?

Menulis, Pijakan Lompatan

Menulis dapat menjadi sebuah pijakan lompatan bagi penulis dan pembaca. Bagi penulis, ia menjadi pijakan lompatan ke kebahagiaan jasmani dan rohani. Ketika tulisannya dibaca banyak orang dengan respon baik, maka itulah kebahagiaan rohani. Dan bila tulisannya terpublikasi dan mendapatkan bayaran, itulah kebahagiaan jasmani.

Tulisan yang kita hasilkan bisa juga menjadi pijakan lompatan bagi pembaca. Ia bisa saja menggunakan tulisan kita sebagai inspirasi. Yaitu untuk menghasilkan tulisannya sendiri yang lebih menginspirasi orang lain lagi.

Menulis = Memprotes Tanpa Ekspresi Ketus

Di atas sudah aku katakan bahwa menulis itu menyampaikan geram dalam diam. Artinya kita bisa menguraikan kegeraman kita dengan menuliskannya. Tidak perlu bersuara keras lantang menantang. Itu juga cara lain untuk mengontrol emosi dan meredam amarah.

Kita juga bisa memprotes tanpa menampilkan ekspresi ketus. Ekspresi merah padam karena marah yang parah kepada siapa pun yang menyebabkan hal itu terjadi. Caranya dengan menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dada dalam bentuk tulisan.

Tulisan yang terlahir dari amarah yang terkontrol dapat menjadi obat mujarab. Ia bisa menjadi panasea bagi mereka tak mampu menguasai emosi. Tulisan itu bisa memberi pembelajaran berharga para pembaca. Dalam artian mereka bisa mengikuti menusur cara berpikir kita. Alur berpikir tentang bagaimana bersikap ramah terhadap amarah.

Demikian apa yang aku rasa, alami dan lakukan. Karena itu aku membagikannya untukmu pembaca yang budiman. Kendati sesungguhnya aku meyakini bahwa para sahabat pembaca sejati telah mengetahuinya dengan lebih baik. Itulah keyakinanku.

Jadi tulisan ini hanya sekedar untuk membuka pintu gudang memori Anda. Sehingga Anda mau mengintip lagi karya-karya yang telah lama rapi tersimpan, mengambil dan meremajakannya. Lalu menghidangkannya kembali di hadapan khalayak pembaca.

Akhirnya aku ingin menutup dengan ini. Bahwa kreativitas menulis akan terus terawat dengan baik jika penulis gigih menepis kritik yang tak mendidik. Oleh karena itu, hardiklah kritik yang bikin diri bergidik agar sukma tidak terpapar trauma.

Sebab jika sukma seorang penulis mengalami trauma, ia akan kehilangan percaya diri untuk menulis lagi.  Maka jangan biarkan rasa dan nalar tersayat sembilu hujat supaya jari jemari bebas menari lahirkan karya hebat.

 

Tabe, Pareng, Punten!

 

Tilong-Kupang, NTT

Jumat, 9 Juli 2021 (12.00 wita)


Comments

  1. Replies
    1. Terima kasih, Bu Lilis. Ya, itu cuma pengalaman pribadi ja. Apa yang dirasa n dipikir.

      Semoga menginspiraai. Gb!

      Delete
  2. Terima kasih pak ilmunya. Saya nyimak ulasan bapak di group menulis. Banyak diksi-diksi yang menambah perbendaharaan kata saya sebagai penulis pemula. Keren pak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih kembali Cing Ato. Bapak lebih hebat dari saya.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL