JATUH CINTA

“Ma, aku lagi jatuh cinta nih!” Kata-kata Lucky meluncur enteng begitu saja kepada Lucy, sang istri. Kata-kata itu terlecut tak terkekang di sela-sela gurauan mereka. Mendengar itu, mendadak sontak Lucy yang sang istri bak disambar petir di siang bolong.

Dari suasana santai yang ceria penuh canda, gurau dan tawa tetiba berubah dalam sekejap. Suasananya mendadak jadi buruk. Situasinya caruk maruk, centang perenang takkaruan. Tadinya ramah penuh kasih, kini marah penuh serapah.

“Apa?,” teriak Lucy sang istri memekakkan telinga sembari meloncat. Dan dalam sekejap ia telah berdiri kokoh di depan Lucky berkacak pinggang. “Jatuh cinta lagi?” Lanjutnya dengan wajah merah padam penuh emosi.

Tak hanya itu, matanya pun melotot nyaris terlontar keluar dari kelopaknya. Gigi geliginya pun bergemeretak saking geramnya mendengar hal itu. Ia seperti singa betina ganas nan lapar siap menerkam mangsa naas yang ada di depannya.

“Memangnya aku kurang apa? Kurang cantik? Aku kurang seksi? Aku kurang baik? Kurangkah pelayananku selama ini?” Nyerocosnya terus tidak putus-putus seperti bunyi knalpot motor resing. Sungguh bising.

Lucky sang suami hanya duduk mematung tak berdaya. Dia bagai seorang terdakwa yang tertunduk lesu menanti keputusan sang hakim yang mulia. Perasaannya lunglai. Jiwa mengawang. Nalar terkapar. Lidah kelu. Ia tak berkutik.

“Kurang ajar. Sialan. Dasar laki-laki buaya kampung kunyuk. Kagak tau diri. Manusia pecundang gak bertanggung jawab.” Dan masih banyak lagi kata-kata mutiara. Kata-kata takpantas yang keluar dari bibir tipis dan mulut panasnya.

Bunyi perkataan yang berhamburan itu sungguh berisik. Seperti jagung goreng yang meletup membentur tutup penggorengan. Atau seperti senapan mesin otomatis. Ia terus memuntahkan timah panas yang peluru tajam ke sasaran pesakitan di pelupuk matanya.

Dalam hati, sebenarnya, Lucky merasa geli dan ingin tertawa. Tapi itu takbisa dan tak mungkin ditunjukkannya. Ingin pula ia menyela istrinya untuk menjelaskan hal ini. Yaitu duduk persoalan yang sebenarnya. Namun melihat kondisi istrinya yang berang saat itu, ia urungkan niat. Ia berusaha menenangkan diri setenang bagan nelayan ditengah laut.

Bagaimana bisa? Baru juga ia mau bilang: “A…,” segera ia dihardik dengan keras. “Diam! Gak usah ngomong. Gak usah bersuara. Kalau perlu gak usah napas sekalian!” Ia berkata dengan jutek sambil menudingkan telunjuknya pas di depan hidung Lucky yang sang suami itu. Tetapi ia tak bereaksi negatif. Karena memang tidak ada yang permasalahan besar dalam hal ini.

Lucky sang suami membatin. Ia bermonolog dan bergulat dengan dirinya sendiri. Ia seolah menyalahkan nalarnya yang mengesampingkan rasa. “Kenapa kamu ngomong gitu? Coba kamu mulai dengan dialog yang agak halus. Misalnya: ‘Ma…bagaimana kalau aku jatuh cinta lagi? Atau bagaimana kalau ada yang bla – bla – bla. Jangan tu de poin gitu dong. Goblok. Dasar goblok kamu!” Dia mengutuki diri sendiri.

Air mata Lucy sang istri mengalir deras seiring caci makinya yang tumpah ruah tak terkontrol. Ia seperti kehilangan kesadaran. Bahkan seolah kerasukan seribu wewe gombel saat melontarkan kata-kata cacian itu. Walau begitu ada hal yang sangat disyukuri Lucky sang suami.

Yang Lucky syukuri dari keadaan ini adalah: Pertama, karena ia tidak sampai dicincang jadi perkedel saat itu. Kedua, Lucy sang istri tidak langsung menenggak racun serangga lalu mengejang dan meregang nyawa dengan mulut berbusa. Atau yang ketiga yang lebih sadis lagi adalah, dia, Lucy sang istri yang sedang memanas itu tidak membakar rumah. Sehingga mereka berdua yang sepasang suami istri ini terpanggang hidup-hidup dan mati kehangusan.

Lucky membiarkan situasi ini mereda dan kondusif baru akan dia jelaskan semuanya hingga tuntas tandas. Ia menunggu hingga ‘perang Iran – Irak’ ini mereda. Ia bengong termenung. Ia mengintrospeksi dan mengoreksi diri yang sedang jatuh cinta. Ia juga merenungkan betapa genting situasi yang sedang dihadapinya ini.

Maka dalam diam heningnya, ia panjatkan sepotong doa dan harapan. Ia lakukan itu agar Tuhan Sang Khalik berpihak padanya. Biar ada perdamaian yang abadi. Dan sedapat-dapatnya tanpa syarat ini itu. Sebisa mungkin masalahnya selesai tanpa masalah.

Sebab memang secara defakto, Lucky sang suami sedang jatuh cinta. Tidak hanya sampai di situ. Ia bahkan sangat tergila-gila dengannya. Ia sungguh-sungguh menyadari kondisi yang sedang dihadapinya itu sesadar-sadarnya. Sepenuh-penuhnya.

Dan dia takbisa menampiknya. Betapa tidak! Setiap hari, setiap jam, setiap saat, pikiran Lucky yang sang suami ini selalu tertuju padanya. Pada sosok pujaannya. Cinta dan semua rasanya dicurahkan padanya semata.

Lucky melamun. Ia membiarkan pikirannya melayang entah ke mana. Kadang dibiarkannya pikirannya kosong. Kadang ia memikirkan pula bagaimana mendekatinya. Yaitu cara mendekati sosok yang sedang ia gila-gilakan itu. Ia memikirkan bagaimana cara menyatakan isi hatinya pada sosok itu tadi.

Dan masih banyak bagaimana lainnya lagi yang fokusnya adalah dia. Dia yang membuat situasi dia dan istrinya jadi berantakan seperti ini. Dia telah menyedot banyak perhatian Lucky. Dia telah memikat hatinya.

Dalam bermenung berintrospeksi itu, dia, Lucky sang suami, juga menyadari sesadar-sadarnya bahwa ia tidak sendiri lagi. Bukan lagi seorang bujangan tulen. Ia telah berkeluarga dan mempunyai anak, malahan. Bahkan, putra dan putrinya, buah hati mereka itu kini telah beranjak dewasa. Ia merasa sangat bersalah dengan sikapnya yang membuat Lucy sang istri berang. Berang yang teramat kalap.

Karena kesadarannya itu, maka dia, Lucky sang suami berterus terang pada Lucy sang istri. Ia membuka aibnya secara gamblang. Ia tidak mau menutup-tutupi segala rahasia rasanya itu. Ia membeberkannya secara transparan. Ia berujar jujur seputar ihwal jatuh cintanya.

Tak senoktah pun ia sembunyikan apa yang terkandung dalam rasanya. Yaitu rasa dalam sanubarinya tentang jatuh cinta pada sosok lain yang bukan istrinya. Rasa yang menyebabkan Lucy sang istri menumpahkan semua serapahnya tadi. Yaitu caci makinya yang tak berperi kepada Lucky. Kini ia yang menumpahkan segala rasa sayangnya yang tak bertepi kepada Lucy.

“Ah, Papa. Kirain jatuh cinta sama siapa,” kata Lucy sang istri. Tadi ia melompat berkacak pinggang dengan berang yang meradang. Kini ia memelas bersandar memeluk Lucky sang suami. Lucy merajuk seraya menahan rasa malunya yang teramat sangat. Ia menyesal atas sikap kasarnya terhadap Lucky sang suami yang ternyata sangat mencintainya.

Lucy bersikap demikian setelah Lucky berterus terang. Ia mengatakan bahwa ia memang sedang jatuh cinta. Tapi bukan pada seorang perempuan. Melainkan ia sedang kasmaran yang tergila-gila dengan tulis menulis. Dunia karang mengarang.

“Ini dia buktinya!” Jelas Lucky sambil menunjukkan hasil karyanya kepada Lucy, istrinya. Kemudian Lucky sang suami memeluk dan mencium Lucy sang istri. Beberapa jeda berselang, mereka menuju kamar dan menutup pintu di belakang mereka!

 

Tilong-Kupang, NTT

Sabtu, 29 Mei 2021 (23.05 wita)

                                                                      

Comments

  1. Hhhhhmm, endingnya fantastis Pak Dosen 👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima Kasih, Ibu Lily n Ibu Lilis.

      Ya, namanya juga cerita. Kita mainin aja kata2 agar yang baca bisa menikmàti n mendapatkan inspirasi baru yang berbeda.

      Kan, kata orang, Tilong beda na!!!

      Terima Kasih sudah membaca n tinggalkan komentar.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL