MENDORONG ANAK GIAT BERLITERASI
![]() |
Ilustrasi: literasipublik.com. |
Dalam setiap kesempatan mengajar saya senantiasa menantang anak-anak untuk menulis. Mereka saya minta menguraikan pandangan mereka tentang topik tertentu. Topik apa saja yang sekiranya bisa membuat mereka mengaktifkan nalarnya dan menuangkannya dalam sebuah tulisan.
Suatu ketika saya melihat tong
sampah yang ada di dalam kelas. Maka seketika itu juga saya beri mereka
tantangan untuk menyatakan sudut pandangnya. Bahwa seorang guru itu harus siap
menjadi tong sampah bagi orang lain, terutama murid-muridnya.
Saya beri mereka satu minggu
menuliskan apa yang ada dalam hati dan pikiran mereka tentang topik tadi. Ini
bukan materi ujian. Bukan juga tugas kuliah. Sama sekali tidak ada hubungan
dengan matakuliah yang saya asuh. Saya hanya ingin mereka belajar berekspresi
melalui tulisan.
Tidak ada paksaan dalam hal
ini. Siapa saja yang bersedia dan mau menerima tantangan boleh lakukan. Siapa
saja yang mau meluangkan waktu untuk belajar menulis, dipersilakan. Saya hanya
mau mendorong mereka untuk bisa menulis sebaik mereka berbicara. Karena
begitulah sejatinya seorang guru. Berbicara dan menulis adalah dua sisi dalam
sebuah koin.
Tidak semua mahasiswa tertarik
menantang dirinya untuk menulis. Dari sekian banyak mahasiswa, hanya satu yang
tergerak untuk mencobanya. Namanya: Maria Y. Sasi. Tulisannya dia kirimkan
kepada saya melalui aplikasi WA. Tidak banyak yang diuraikannya. Tapi sudah ada
alur berpikir yang runut. Hanya belum detail.
Oleh karena itu, saya
kembalikan kepadanya dengan beberapa catatan. Catatan itu berupa koreksi
(arahan atau masukan tepatnya). Saya juga berikan beberapa poin tambahan yang
bisa dipakai untuk melengkapi apa yang sudah ditulisnya. Semoga dia bisa
melakukannya dengan baik.
Tentang arahan atau
masukan, saya hanya memberitahunya tentang bagaimana membentuk sebuah alinea.
Saya sampaikan bahwa setiap alinea hanya memiliki atau memuat 1 pokok pikiran. Karena
itu, ia cukup berisi 3 kalimat paling sedikit atau paling banyak 5 kalimat. Sebuah
kalimat ditandai dengan tanda titik di akhirnya.
Beberapa hari kemudian
dia menyerahkannya (mengirim) kembali pada saya. Berikut ini adalah tulisan
hasil kreasi buah nalarnya. Saya hanya memperbaiki keelokan bahasa dan
pungtuasi atau tanda bacanya bila ada yang kurang tepat. Sedangkan substansi
dan idenya saya biarkan seperti itu.
Karena itu pembaca yang
terhormat, sekiranya Anda menemukan apa yang kurang pas, mohon berkenan
koreksinya biar saya sampaikan padanya. Sebab, bagi saya, pembaca adalah guru
terbaik. Ia mampu melihat segala kelemahan dan kelebihan. Kelemahan yang patut
dibetulkan atau diperbaiki dan kelebihan untuk dikembangkan pun tingkatkan.
Berikut
tulisan lengkap Yuni, sapaannya!
GURU
ADALAH TONG SAMPAH YANG BAIK
Menjadi
seorang guru berarti harus selalu siap menjadi seorang pendengar yang baik.
Menjadi pendengar yang baik artinya ada kerelaan menyendengkan telinga bagi
keluhan orang lain. Orang lain dalam hal ini adalah para siswa dan/atau guru
lainnya.
Seorang
guru juga tidak dilihat dari seberapa tinggi gelar yang dimiliki. Tapi
bagaimana cara ia membimbing para siswa dengan baik. Yaitu bagaimana ia berbagi
pengetahuan dan keterampilan. Dan juga bagaimana ia berbagi rasa dengan mereka
sehingga mereka mendapatkan sentuhan yang manusiawi.
Menjadi
seorang guru bukan tentang sebuah profesi semata. Tapi sebuah panggilan. Karena
menjadi guru tak semudah seperti yang dibayangkan. Bukan semata tentang cara
seseorang mengajar. Ia juga harus menjadi seperti seorang teman, kakak, ibu, atau
ayah untuk muridnya.
Seorang
guru wajib mengajari muridnya dengan baik. Mereka harus dibuat sadar dan bangga
pada diri mereka sendiri. Yaitu dengan memberitahu apa yang menjadi kelebihan
dan kekurangannya. Lalu memotivasi mereka agar melakukan yang lebih baik lagi.
Jangan
hanya memarahi ketika mereka keliru atau berbuat salah. Apalagi menjejali
mereka dengan kata-kata kotor yang tidak mendidik. Sebab, itu akan membuat
mereka merasa bodoh yang berpengaruh pada kekokohan mentalnya.
Guru
haruslah menjadi seorang pendengar yang baik. Agar bisa mendengar keluh kesah
mereka. Ia diibaratkan seperti sebuah tong sampah yang selalu menganga siap
menampung segala apapun yang tidak baik. Tidak berkenan.
Seorang
guru akan selalu dihadapkan dengan tantangan yang datang dari para murid. Bukan
hanya tentang kenakalan mereka tapi juga tentang apa yang mereka rasakan. Yaitu
semua kesedihan, kegembiraan, ataupun sukacitanya.
Seorang
guru sebaiknya mengesampingkan harga diri dan keegoisannya. Ia tidak selayaknya
bersikap mentang-mentang dalam berinteraksi dengan para murid. Karena itu, ia haruslah
seseorang yang mampu mengontrol emosi dengan baik ketika berhadapan dengan
mereka.
Dengan
demikian seorang guru harus bisa diandalkan oleh murid. Diandalkan dalam hal
mendengarkan, membimbing dan mengarahkan mereka dengan baik. Ya, guru adalah seorang
pribadi yang terbuka sebagaimana sebuah tong sampah dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Semoga ia, seterusnya, semakin giat
berliterasi. Dan semoga pula ketercapaiannya ini dapat mempengaruhi yang lain
untuk mengikuti jejaknya. Sehingga dengan demikian generasi mereka (yang ada di
NTT, Kupang khususnya) menjadi pegiat literasi yang aktif dan berdampak.
Tabe!
Tilong – Kupang, NTT
Kamis, 1 April 2021 (09.52 wita)
Comments
Post a Comment