GOODBYE AND SO LONG NOEKELE!

Ilustrasi dari id.pinterest.com

Kami menempati sebuah rumah setengah tembok milik Opa di Noekele. Rumah setengah tembok itu maksudnya sepertiga dari dinding rumah itu tembok. Sepertiga itu mulai dari fondasi ke atas. Sisanya ditutupi dengan papan atau bebak.

Rumah itu diapit oleh rumah keluarga Ruben Ome di sebelah Timur. Di sebelah Barat keluarga Luis Sula. Di Selatan keluarga Felipus Muni. Dan agak jauh di sebelah Utara melintasi sebuah got kecil terdapat rumah keluarga Daud Thao dan keluarga Filipus Tanau.

Lorrinne sekolah di SD Negeri Besleu. Ia duduk di kelas satu walau baru berusia lima tahun. Terpaksa ia belajar di kelas satu karena sekolah itu yang paling dekat dengan rumah. Jaraknya sekitar kurang lebih tiga kilometer. Juga karena tidak ada TK di sana. Sewaktu di Jakarta ia pernah belajar di TK. Jadi menurutku tidak masalah.

Istriku sibuk mendaftarkan diri mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil. Ya, untuk menjadi guru. Setiap hari ia ‘mengukur’ jalan dengan rute yang sama. Yaitu dari Noekele ke Kupang pergi pulang yang berjarak 90 kilometer.

Ia akhirnya lulus dalam ujian itu. Hanya tidak sempat menjadi pegawai negeri di Kupang karena keburu kembali ke Jakarta. Seminggu sebelum SK (surat keputusan) turun kami telah berada di ibukota. Di Jakarta.

Setiap pagi selama tinggal di Noekele aku selalu mendengar lagu rohani Ambon. Puji-pujian yang mengalun dari balik dinding rumah Papa Ruben Ome. Tetangga di Timur rumah kami.

Dan di sore hari suara merdu Jimmy mengalunkan lagu favoritnya: “S’lamat Tinggal Masa Lalu.” Jimmy adalah anaknya Daud Thao. Ia keponakanku. Suaranya terbawa angin dari atas pohon ketika ia mengumpulkan daun untuk makanan sapi.

Ya, selamat tinggal masa lalu. Aku sedang mencoba menggapai masa depan yang cerah. Namun apa mau dikata. Semuanya tidak berjalan mulus seperti yang diangankan. Seperti yang kuharapkan.

Apa yang telah kukonsep dengan rencana yang lumayan sistematis tidak berjalan dengan baik. Semua di luar dugaan. Aku gagal. Cita-citaku menjadi petani kecil dan guru ‘besar’ pupus kandas terbengkalai.

Selama proses perintisan program penjaskes/olahraga di UKAW aku tidak mendapat gaji alias gratis. Seng ada kepeng. Aku hanya hidup dari belas kasihan saudara dan orangtua. Aku malu pada diri sendiri, juga pada istri.

Sisa tabungan di tangan semakin lama makin terkikis. Terus menipis dan habis. Istri frustrasi. Ia tidak tahan. Emosinya kadang kebablasan tak terkontrol. Aku praktis tidak bisa berkonsentrasi. Kami kembali ke Jakarta.

Semua ‘harta’ kutinggalkan kecuali pakaian di badan. Kekayaanku hanya berupa buku. Barang-barang elektronik dan mesin tik. Peralatan makan dan dapur. Kaset dan album foto serta beberapa potong pakaian lainnya.

Tak sanggup kubawa semua karena tak ada ongkos. Hal yang masih kusesalkan adalah keluargaku menyingkir menjauh satu demi satu. Padahal kami sedang dalam kebingungan. Kami dalam keadaan frustrasi menjalani hidup di desa kecil itu.

Mereka hanya bergeming melihat kami dalam kondisi terpuruk seperti itu. Bahkan sampai kami pulang kembali ke Jakarta. Mereka seperti tidak memperdulikan kami. Tapi sudahlah. Semuanya telah berakhir.

Kami mendarat lagi di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Jakarta pada pukul 21.00 WIB. Angka di kalender menunjukkan tanggal tujuh November sembilan lima. Tahun sembilan lima inilah yang kusebut sebagai tahun cerah-bersinar-benderang dan tahun suram-kelam-mengharukan di lembaran-lembaran sebelumnya.

Di sinilah bagian suran-kelam-mengharukan itu. Aku memulai dari nol kilometer lagi. Aku harus merangkak dari anak tangga paling bawah. Aku kembali mengumpulkan tenaga untuk menyusun kembali mozaik hidup yang berserak. 

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL