CUACA YANG TAK TERPREDIKSI MENYEBABKAN SULIT BEREKSPRESI
![]() |
Sumber: republika.co.id. |
Selama Bulan Januari dan Februari cuaca tak terprediksi. Dalam situasi langit cerah tetiba bisa hujan lebat selebat-lebatnya. Atau awan gelap menggelantung tapi takada hujan setitik pun. Sungguh kondisi yang sulit diterka.
Memang sekarang ini kita
masih berada di musim penghujan. Itu sebabnya curah hujan yang turun sungguh
luar biasa derasnya. Selain curahnya yang deras, ia juga tak berhenti mengalir.
Bisa sepanjang hari bahkan sampai beberapa hari tanpa henti.
Bagi para petani curah
hujan demikian membawa kebahagiaan yang tak terkira. Karena sawah dan ladang
mereka membutuhkannya. Mereka dengan riang menerimanya dan bahagia sekali
melihat tanamannya tumbuh dengan sehat.
Sebaliknya bagi mereka
yang berkarya di kantor dan/atau lembaga-lembaga tertentu, itu suatu hambatan.
Sebab mereka akan mengalami kesulitan mencapai tempat kerjanya. Apalagi mereka
yang harus pergi dan pulang kantor dengan kendaraan umum. Atau bagi mereka yang
berkendaraan roda dua (motor).
Tapi begitulah hidup.
Segala situasi merupakan anugerah bagi sekelompok orang tertentu. Tapi di sisi
lainnya, merupakan musibah bagi sekelompok lainnya. Sekali pun demikian ia
tetap harus diterima dan syukuri. Dan, tak bisa ditolak karena itu adalah
peristiwa alam.
Kendala karena cuaca dan
hujan tidak hanya dialami oleh para pegawai kantoran. Tapi juga merupakan suatu
halangan bagi seorang atau mereka yang suka menulis yaitu yang pekerjaannya
menulis. Ia merupakan halangan besar bagi saya pribadi. Kok, bisa?
Saya biasanya langsung
menulis di laptop. Menulis secara lengkap runut untuk menghasilkan artikel
utuh. Atau tulisan apa saja. Yaitu tulisan yang siap saji. Siap dinikmati oleh
orang lain. Siap tayang bila akan ditujukan ke media online.
Yang jadi persoalan
adalah baterai laptop sudah tak berfungsi menyimpan energi untuk beberapa lama.
Padahal, yang normal sesuai peruntukannya adalah kita dapat menggunakan laptop
hingga beberapa jam. Akibatnya, ketika saya menulis harus selalu konek dengan
listrik layaknya PC.
Kenapa saya tidak bisa
atau tidak berani menulis di kala hujan menerpa bumi? Itu karena saya pernah
mengalami trauma. Karena itu, saya takut sekali menggunakan alat-alat
elektronik yang konek dengan listrik saat hujan.
Bagaimana traumanya?
Pada suatu ketika saya sedang menikmati acara televisi. Entah apa acaranya. Yang
pasti saya sedang bersantai di depan layar bergambar itu tanpa menghiraukan
situasi. Dan saat itu mendung serta air hujan yang mulai menetes dan terus
menderas.
Tetiba televisi yang
saya sedang tonton mati. Ia kehilangan gambar. Hanya warna hitam yang nampak.
Selain itu terlihat asap dari sekitar kabel penghantar listrik ke televisi.
Aroma hangus pun bertebar di seluruh badannya hingga menyebar di seluruh
ruangan.
Saya pun tak bisa
berbuat banyak. Kecuali hanya terpaku menatap tak berdaya. Akibat kejadian itu,
setiap kali hujan, saya tidak berani menggunakan barang-barang elektronik yang
sedang konek dengan aliran listrik. Saya jera.
Nah, dengan cuaca yang
tak menentu itu membuat saya takmampu berekspresi menulis. Sebab cuacanya
terkadang terang benderang tapi ia dapat juga berubah gelap dalam sekejap yang membuat
saya gugup. Malah takut mengalami trauma yang sama.
Tetapi saya tak berhenti
menulis. Saya tetap memanfaatkan kondisi cerah tak berawan. Artinya ketika
langit meriah dengan awan cerah yang bersahabat, saya menulis. Jika gelap, saya
matikan dan tutup laptop. Stop menulis.
Karena itu, rasa dan
nalar saya berkali-kali dibuat takkaruan. Ia bercampur baur antara rasa jengkel,
geram dan bingung. Itu akibat permainan cuaca yang tadi itu. Tidak menentu.
Sesuka-sukanya. Dia berubah tanpa aba-aba. Berubah dengan interval yang tidak
konsisten.
Oleh karena itu, saya
berusaha menyiasati interval perubahannya yang tidak jelas itu. Di saat cerah
saya buka laptop dan mulai menulis. Sayangnya, ketika ide sedang mengalir
deras, tetiba hujan mendera. Saya pun berhenti dan menutup laptop.
Tapi baru sekejap laptop
ditutup, dia cerah lagi. Saya membukanya lagi dan mengeluarkan isi kepala dengan
mengetik ketuk huruf-huruf di papan bersimbol. Ketika gairah menelorkan ide
sedang meninggi dia berubah gelap lagi. Begitu seterusnya.
Situasi seperti ini yang
saya bilang menimbulkan paduan rasa yang tidak karuan. Kondisi ini mengingatkan
saya pada sebuah anekdot yang pernah disampaikan oleh Pendeta Chris Manusama.
Begini ceritanya!
Ada seorang petani
cengkeh di Ambon yang sedang riang menjemur hasil panennya yang melimpah. Ia
dengan sukacita menebar semua cengkehnya rata di atas tikar penjemur lalu menepi
dan rehat di bawah pohon. Ia duduk bersiul sumringah dengan bersandar di pohon
itu sambil mengibas kipas capingnya demi menghalau rasa gerah karena panas.
Belum juga rasa gerahnya
mereda, tetiba awan gelap gejala mau hujan. Ia pun beranjak mengumpulkan
kembali cengkehnya yang barusan ditebar. Setelah terkumpul bertumpuk menjadi
beberapa gunungan, awan cerah lagi dengan terik yang menyengat.
Dia pun urungkan niat
mengarungkan tumpukan cengkeh yang bergunung-gunung kecil itu. Malah dengan
serta merta ia menebarnya kembali hingga rata seperti semula. Kemudian balik
lagi ia menepi menetralkan rasa lelah penatnya seperti yang dilakukan tadi.
Bersandar di pohon, bersiul dan mengipaskan caping ke wajahnya biar adem.
Tapi belum sempat
wajahnya berasa adem langit berangsur
cerah dan terus terang. Dia mulai agak kesal. Namun dilakukannya juga urutan
kerja dan rehat seperti yang sudah-sudah. Hingga beberapa kali putaran.
Dengan begitu dia mulai
kehilangan rasa riang. Sukacitanya pun menguap lenyap dari hatinya. Malah mulai
timbul jengkel dan geram karena seolah dipermainkan oleh cuaca yang kurang
ajar. Biarpun begitu, ia sabar-sabarkan dirinya yang mulai taksabar.
Hingga kali yang
kesekian dipermainkan cuaca, ia berkacak sembari mendongak ke langit menantang
Tuhan. Dengan lantang dia bilang: “Kalo
se seng bisa ator itu cuaca, mari sini ator ni cengke!”
Begitulah kira-kira yang
saya rasakan ketika dipermainkan oleh cuaca. Hanya saja saya tidak menantang Tuhan
dan menyuruh-Nya untuk datang mengetik.
Sebagai gantinya, saya
menuliskan di buku semua ide yang berdesakan keluar. Saya catat secara runut
runtut biar tidak hilang setelah hujan reda. Sesudah situasinya kondusif nyaman
baru saya pindahkan ke laptop.
Yang sedihnya adalah
akibat permainan cuaca itu pula maka satu tulisan baru bisa selesai dalam
beberapa hari. Okelah, yang penting masih bisa menghasilkan jejak pikiran yang
tertoreh.
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang,
NTT
Selasa, 9 Februari 2021 (22.45 wita)
Comments
Post a Comment