TANAH PUN ENGGAN BERSAHABAT (TERUS BELAJAR)
![]() |
Foto: kibrispdr.org |
Sejak kecil Papa telah membiasakan kami anak-anaknya untuk mencintai lingkungan. Caranya mengajari kami bersahabat dengan lingkungan adalah dengan menanam pohon. Tidak satu pun dari kami yang terluput dari menanam pohon di halaman rumah kami.
Papa menggali lobangnya.
Tapi kami yang meletakkan benihnya ke dalam lobang tersebut. Semua kami
diperlakukan sama. Tidak ada yang tidak menanam pohon. Walaupun hanya satu
pohon. Itu adalah suatu keharusan bagi kami anak-anaknya.
Satu hal yang
mengherankanku adalah kondisi tanamanku. Tanaman kakak dan adikku begitu subur
menghijau. Mereka tumbuh dengan gagah menjulang menjunjung langit. Daunnya
lebat berseri menggapai matahari. Buahnya banyak dan gemuk-gemuk.
Tapi tidak demikian
dengan tenamanku. Mereka seperti terseok tersendat tumbuhnya. Padahal kami
melakukannya dengan cara yang sama. Kami menanam di lingkungan yang sama.
Mendapat perhatian yang sama pula.
Melihat
perbedaan-perbedaan itu aku berpikir demikian: “Mungkin karena terlalu jauh
dari sumber air. Itu sebabnya mereka tidak tumbuh subur.” Ketika aku menanam di
pinggir kali pun kondisinya tetap tidak memuaskan. Lagi-lagi batinku mengatakan
mungkin benihnya yang kurang bagus.
Bukan hanya tanah dan
tanaman yang kurang bersahabat denganku. Binatang buruan pun tak pernah
berhasil kutangkap dengan menggembirakan. Binatang buruan semacam burung,
kalong, dan ikan yang berlimpah di kampung tak sukses kudapat.
Waktu masih di kampung
kami, anak-anak lelaki (yang masih bocah) senang berburu. Berburu burung pada
siang hari. Atau kalong di malam hari dengan katapel (di kampung kami menyebutnya kartupel).
Kami juga suka memancing
ikan di selokan. Di kali. Di danau. Di telaga. Ataupun di tempat-tempat yang
airnya terjebak daratan. Mata kail dan senar kami beli. Lalu ditautkan pada
sebilah bambu kecil seukuran jari tangan. Siap untuk mengail.
Kami biasanya masuk
hutan bersama-sama. Kami suka bergerombol menuju spot tertentu. Rerata kami masih bertalian darah. Kami berpupu. Maksudnya
agar kami bisa saling membantu bila terjadi sesuatu yang tidak terduga.
Kami selalu bersama
masuk hutan. Berburu burung bareng-bareng. Tapi herannya mereka bisa pulang
dengan belasan bahkan puluhan ekor di tangan. Sedangkan aku jangankan seekor,
bulunya pun tidak.
Memancing juga demikian
adanya. Kami berbaris di sepanjang bentaran kali memegang batang kail. Kami
semua sama-sama menunggu menanti ikan menyambar umpannya.
Saudara-saudaraku hampir
setiap menarik kailnya selalu ada ikan. Ikan kecil atau besar. Buruan yang menggeliat menggelepar
menggelantung di ujung senar. Di kail. Mereka dapat banyak sekali hanya dalam
beberapa saat.
Aku sendiri berdiri
berjam-jam. Namun tak seekor pun mampir ke umpanku. Bahkan mungkin menengok pun
tidak. Pengalaman-pengalaman itu yang membuatku tidak menikmati berburu dengan katapel dan mata kail memancing. Aku
lebih senang berburu dengan senapan angin.
Dalam kondisi seperti itu aku hanya bergumam dalam-dalam dalam kagum. Mereka memang lebih piawai dan lebih telaten. Aku harus belajar lebih giat lagi.
Comments
Post a Comment