TERKONDISI SEBAGAI ORANG SISA-SISA
![]() |
Gambar:tribunews.com |
Aku
percaya bahwa pengalaman-pengalaman itu bukan sengaja direncanakan untuk
diterapkan kepadaku. Mungkin hanya kebetulan. Atau mungkin aku salah
menginterpretasi. Mungkin pula, aku terlalu sensitif dan berprasangka buruk
dalam menilai keadaanku.
Namun
demikinlah kenyataannya. Tapi tidak masalah. Karena setiap orang senantiasa
mengalami naik-turunnya hidup. Hidup tidak selalu aman nyaman. Tidak juga
selalu pahit getir. Setiap kita mendapatkan porsi yang pas adil berimbang dari
Tuhan Sang khalik, Pencipta kita.
Bila aku menengok ke
belakang sejak kecil, dalam hal tertentu aku diperlakukan lain. Yang kuingat
cukup kental dalam kepalaku adalah masalah uang. Mungkin Papa dan Mama tidak
bermaksud demikian.
Mungkin juga karena aku
tak pernah meminta, apalagi merengek sehingga tidak diberi. Prinsipku, kalau
dikasih aku terima. Kalau aku tidak diberi, ya, sudah. Aku tak mau menuntut.
Sebagai missal.
Kakak-kakakku diberi uang sendiri-sendiri untuk membayar uang sekolah, ongkos
dan jajan ketika mereka menginjak usia sekolah menengah. Tetapi ketika aku
sudah di SMP pun aku tak diberi kebebasan untuk mengelola sendiri.
Uang sekolah dibayar
langsung oleh Papa. Ketika itu aku berpikir mungkin aku masih kecil sehingga
mungkin menurut Papa aku belum mampu mengelolanya. Secara fisik, aku sangat
kecil. Beratku hanya sekitar dua puluh limaan kilogram.
Namun adikku yang persis
di bawahku justru dengan bebas mengurus uangnya sendiri. Papa Mama memberinya
kebebasan ketika duduk di bangku SMP. Aku mencoba menilai lagi dengan sikap
mental positif.
Aku meyakinkan diriku
bahwa mungkin Papa bersikap demikian untuk memotivasinya agar rajin sekolah.
Memang ia sering membolos. Itu pula yang membuatnya kandas. Ia tidak dapat
menyelesaikan pendidikannya di sekolah lanjutan.
Perasaan sebagai yang
terabaikan itu seolah tetap mengikuti hingga aku beranjak dewasa. Hingga aku
berada di kampus. Ketika sudah di bangku kuliah sekitar tahun keempat (semester
delapan), aku ditawari untuk menjadi asisten dosen.
Penawaran itu datang
dari Drs. Mashoed, MP (almarhum). Beliau adalah Ketua Jurusan POR (Pendidikan
Olahraga) FPOK-IKIP Jakarta kala itu. Tetapi aku baru dapat mengajar setelah
lulus.
Aku membantu mengajar
mata kuliah: Senam Dasar & Senam
Artistik, juga Sosiologi Keolahragaan.
Aku menjadi asisten dosen selama enam tahun. Sejak tahun delapan delapan hingga
sembilan empat. Sebagai asisten, tenagaku dibayar setahun sekali. Jumlahnya
hampir sebesar dua ratus ribu rupiah.
Sambil membantu berbagi
ilmu kepada adik-adik kelas di almamaterku, aku melamar untuk menjadi pegawai
negeri sipil. Untuk menjadi dosen. Pada tahun pertama aku tidak lulus. Aku
ditempatkan sebagai cadangan. Artinya pada saat ada penerimaan lagi aku
diprioritaskan untuk diangkat menjadi dosen.
Tahun berikut aku ikut
lagi. Gagal maning. Dosen senior yang
mempromosikanku berjanji bahwa tahun berikut aku akan segera diangkat. Setelah
ikut tes, kandas deui. Begitu
seterusnya sampai tahun sembilan empat. Enam tahun sudah menjadi asisten.
Agar tidak membuang
waktu sia-sia aku memberanikan diri menghadap Dekan FPOK. Kala itu dijabat oleh
Prof. Dr. Bernard Edward Rahantoknam. Aku menghadapnya untuk mengetahui ihwal
kenapa aku tidak pernah lulus. Tidak pernah sukses menjalani tes masuk menjadi
pegawai negeri sipil.
Pada waktu aku
menyampaikan niat ini dia memberiku respon yang tak kuduga. Dia justru
menyarankan agar aku mencari pekerjaan lain di luar kampus FPOK-IKIP Jakarta. Induk
semang yang telah membesarkanku.
“Berarti kamu tidak
cocok di sini,” jelasnya. Aku menelan ludah seperti paku yang melewati
kerongkongan ketika mendengar perkataannya itu. Aku kehilangan kata. Seketika
aku kelu. Gagu. Bisu. Semua kata-kata macet di pangkal lidah.
Padahal kawan, beliau adalah
salah satu dosen favoritku. Ia sangat kukagumi dalam banyak hal. Di antaranya
adalah kebijaksanaannya. Ia seorang yang sangat bersahabat dengan siapa pun.
Ya, kekagumanku padanya bukanlah mantra ajaib yang bisa membuatnya berubah
melembut. Tapi tak apa. Ijinkan aku lanjutkan cerita tentangnya.
Penampilannya dalam
mengajar merasuk pribadiku. Pengetahuannya luas. Sikapnya tegas. Aku telah
‘jatuh hati’ padanya sejak ‘pandangan pertama.’ Yaitu ketika ia memberikan
kuliah perdana saat kami di semester pertama memasuki kampus.
Ketertarikanku pada
sosok ini dan materinya mendorongku membuahkan satu artikel. Materi yang
mengingatkan kami bahwa kami bukan anak sekolah lanjutan lagi. Tentang
bagaimana kami harus menempatkan diri di rimba pelajaran kampus. Ia kuberi
judulnya: Prospek Belajar di Perguruan Tinggi. Tahun delapan tiga.
Aku yakin ia tidak
bermaksud menghancurkan karirku. Mungkin karena sayangnya padaku maka ia
bersikap demikian. Ia menyarankan demikian supaya aku tidak memeloroti waktu
dengan percuma.
Mungkin di luar sana aku bisa punya kesempatan lebih baik. Kira-kira begitu jalan pikirannya. Aku belajar menerima semua kenyataan itu dengan lapang dada dan pikiran positif. Kiranya Tuhan bermurah hati padaku kelak setelah aku keluar.
Comments
Post a Comment