DITUNJUK DAN DIVITAKOMPLI SEBAGAI KEPALA SEKOLAH

Guru-guru laki SMP Dian Harapan Mentawai, Tangerang
Gambar diambil awal tahun ajaran 2006/2007, dokpri

Pada hari Selasa tanggal enam belas Mei dua ribu enam aku dipanggil untuk menghadap Dra. Surjaningsih Gunawan, M.Pd., dan Ir. Lucky Tanubrata, M.Pd. Mereka adalah dua petinggi sekolah Dian Harapan yang bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup sekolah tersebut.  

Ibu Gun, panggilan akrab dari Dra. Surjaningsih Gunawan, M.Pd. adalah Koordinator seluruh SDH. Sedangkan Pak Lucky adalah salah satu staff Yayasan Pendidikan Pelita Harapan di mana Dian Harapan bernaung; beliau juga adalah mantan Head of School DH Makassar.

Setelah bertemu di ruang Ibu Gun, beliau langsung membeberkan maksudnya memanggilku. Ia menjelaskan semuanya setelah aku menempati kursi kosong di depan mereka. Aku hanya diam mendengarkan dan menyimak semua yang disampaikan.

“Terus terang Pak, kami berdua mewakili tim Manajemen, meminta Bapak untuk menjadi Kepala SMP di Makassar,” kata Bu Gun tanpa basa-basi layaknya kebanyakan orang Indonesia. Mereka menawarkan tapi lebih cenderung memerintahkan atau menugaskan.

Saat itu aku kehilangan kata-kata karena sungguh di luar dugaan. Aku merasa seperti sedang melayang terlempar dari lantai empat belas menara pencakar langit. Kemudian mendarat dengan menghantam bumi.

Melihat ketidakstabilanku demi mendengar tawaran itu, beliau berdua berusaha menenangkan. Mulutku bagai terkancing dengan gembok berlapis. Takmampu aku mengeluarkan pendapat. Sekata pun taksanggup aku berucap.

“Bicarakanlah dulu dengan keluarga di rumah,” lanjut Bu Gun. Belum juga ia selesai dengan kata-katanya, Pak Lucky menimpali: “Tapi saya harap Bapak tangkap itu.” Aku benar-benar blank! Yang ada dalam pikiranku kala itu hanya sebuah pertanyaan: “Mengapa saya?”

Kenapa pertanyaan itu terbesit di kepala dan benakku? Pertama: Aku baru empat tahun bergabung dengan Sekolah Dian Harapan. Walaupun aku pernah menjadi Pembantu Kepala Sekolah (PKS) bidang Humas.

Aku (berdiri paling kiri) selaku PKS, dokpri.

Kedua: Latar belakang pendidikanku adalah Olahraga. Sebuah bidang ajar yang belum mendapat tempat yang layak dibanding mata pelajaran lainnya. Hanya sebuah mata pelajaran pendamping. Bidang ajar penggembira saja. Sehingga di mata orang lain guru ini tak memiliki kemampuan.

Ketiga: Pikiranku cepat berputar ke minggu pertama bulan September dua ribu dua lalu. Ketika aku baru mulai mengabdi di SMP Dian Harapan Karawaci. Waktu itu kampusnya masih berlokasi di Jalan Gunung Rinjani, Lippo Karawaci, Tangerang. Sebuah komplek perumahan elit di wilayah Tangerang.

Flash back-nya begini!

Pada hari Jumat pertama September dua ribu dua, aku menghadiri rapat reguler SMP. Di DH, setiap Jumat adalah hari yang dikhususkan untuk konsolidasi masing-masing Departemen di unit manapun. Karena aku guru baru, aku hanya mengikuti arak-arakan gelombang kepergian guru ke ruang yang telah disiapkan.

Di tengah perjalanan, Ibu Dra. Esi Sarah Ibrahim, Kepala SMP Karawaci, nyeletuk kepadaku yang secara kebetulan ada di sampingnya. Sambil sedikit menoleh ke arahku ia bilang: “di sini (DH, pen.), Olahraga nggak dianggap, jadi jangan terlalu berharap.”

Tidak ada penjelasan tambahan apa maksudnya. Hanya itu. Titik. Mendengar pernyataan itu aku tidak membantah atau menjawab. Responku Cuma satu huruf yang mewakili banyak kata: “O.” Tidak lebih.

Aku sangat percaya beliau tidak bermaksud untuk meremehkan apalagi melecehkanku. Tetapi itulah yang tertangkap di pendengaranku. Apapun itu, apapun kata orang, aku tetaplah aku, seorang guru Olahraga. Aku tetap dan angat cinta pada bidang ajar pilihanku.

Secara pribadi aku sadar, sesadar-sadarnya akan hal itu semenjak aku masih di bangku kuliah. Karena memang demikianlah adanya. Aku tidak tahu entah dari mana mulanya. Aku pun tidak tahu persis kapan tercipta penilaian dan perlakuan itu terhadap kami, para Guru Olahraga. Mereka, kalau dikastakan mungkin berada di lapisan paling bawah dalam kelompok masyarakat guru.

Menghadapi kenyataan itu, aku menyikapinya dengan mematrikan satu tekad sederhana. Suatu tekad di dalam ruang nalar dan batinku. Dan tekad itu semakin kuat setelah lulus dan dinobatkan sebagai Sarjana Olahraga.

“Aku mau dan harus menghargai profesi yang aku pilih. Dan aku pun akan berusaha supaya orang lain – minimal murid-muridku – menghargainya juga.” Maka, seperti kata orang-orang pintar, batinku pun mendesiskan kata-kata ini: “I just do my best.”

Setelah percakapan dengan kedua petinggi Dian Harapan itu aku bergegas kembali ke lantai bawah. Percakapan itu hanya berlangsung dalam hitungan menit. Kira-kira sekitar sepuluh hingga lima belas menit.

Dengan tergesah dan dada naik turun karena pengaruh lari dan berita ini, aku menyeruak ke dalam ruangan Bu Esi. Takpakai introduksi, aku langsung menghujam memberondongnya dengan pertanyaan. Kelakuanku membuatnya kelimpungan. Tapi terpaksa aku harus melakukannya.

“Kenapa jadi begini Bu? Kenapa saya? Bukannya masih banyak senior saya yang lebih kompeten? Bukankah mereka lebih layak, baik dalam hal pendidikan juga pengalaman?” Ibu Esi Terkelu sejenak mendengar semua lontaran pertanyaanku.

Beliau cukup kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Setelah menarik napas, ia menjawab. Dengan hati-hati ia berucap: “Saya memang mengusulkan nama Bapak. Tapi selanjutnya yang memilih dan yang menentukan adalah Tim Manajemen.”

Aku hanya tertunduk dengan pergolakan batin yang bergelut dalam pikiran sendiri. Sulit dipercaya. Tapi kenyataannya demikian. Atas dasar semua keberadaanku dan flash back yang sudah aku uraikan di atas itulah aku merasa tidak mungkin jabatan itu nangkring di bahuku.

  

Comments

  1. Sebuah tulisan yang menarik untuk di baca pak djami, menurut dari sudut pandang saya, apakah ini salah satu rencana Tuhan untuk meregangkan kemampuan seorang guru olahraga untuk menjadi pendidik manusia? or dengan kata lain "Menggembalakan anak-anak"

    Be Blessed

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Edwin sudah membaca n berkomentar.

      Menggembalakan anak2, ya! Saya adalah gembala Dari murid2 yang Saya asuh.

      Thanks a lot, anyway. And Gb!

      Delete
  2. Pembantu kepala Sekolah sama dengan Waka?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca, Pak Sarastiana.

      Ya, sama. Itu terminologi atau sebutan yang dipakai di delilah itu. Pembantu kepsek memiliki tupoksi seperti wakepsek.

      Thanks n Gb!

      Delete
  3. Sebagai kawan ini suatu motivasi ada pada setiap orang untuk memberikan segala yang ada pada dirinya untuk kemajuan bersama, tetapi tentu ada asas-asas yang membatasi atau yang saya sebut : kausa prima , kemudian pada diri orang atau subyek tersebut sendiri atau yang disebut capacity dan capability dan ini tidak dilihat oleh subyek tersebut tetapi oleh inner cicle maupun out cicle dari subyek tersebut. Inilah sesungguh faktor atau Vektor yang menjadi pendulum seseorang hadir ataupun di hadirkan sebagai pemimpin dan hal ini harusnya teruji dari kemampuan memanage diri, pikiran dan perbuatan baik dalam inner cicle maupun out cicle. Begitu pikiran saya pak Yolis semoga bersesuaian. Tuhan Yesus memberkati

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Pak Dar. Sudah membaca dan memberi komentar.

      Gb!

      Delete
  4. Terima kasih Pak Yolis, tulisannya sangat detail, deskriptif karena sangat menggambarkan kejadian saat itu, sangat hidup karena berangkat dari pengalaman hidup, dan saya tahu persis tulisan ini, karena sudah pernah Bapak bagikan kepada saya sewaktu saya sebagai mahasiswa praktek tahun 2007 dan saat saya menjadi guru pemula mulai tahun 2008 di bawah kepemimpinan Bapak. Apa yang Bapak bagikan ini sangat konsisten dengan yang saya dengarkan bahkan baca waktu itu, karena sempat Bapak membagikan tulisan mengenai pengalaman ini. Saya sangat diberkati, sangat menggugah, menginspirasi dan memotivasi. Tulisan Bapak ini betul-betul Bapak hidupi, saya tahu persis karena saya melihat bagaimana Bapak memotivasi guru-guru di bawah kepemimpinan Bapak, yang mungkin dianggap kurang kompeten (sering diabaikan karena dianggap tidak mampu) bahkan memercayakan posisi kepada beberapa guru tersebut dan dapat membuktikan bahwa guru-guru tersebut ternyata mampu mengembangkan diri dan excellent mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugasnya (ini juga berangkat dari testimoni beberapa guru tersebut).

    Teruslah jadi berkat dan menginspirasi dimanapun Tuhan tempatkan Pak. Emas tetaplah emas sekalipun bukan di tempat terbaik…

    Tuhan memberkati Bapak dan keluarga selalu…

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow...Saya sangat tersanjung dengan pujian yang membesarkan kepala dan hati Saya. Saya dibuat terbang melayang di awang2. Semoga itu sungguh2 bermuara dari hati Ms. dan teman2.

      Saya juga berdoa Agar Tuhan pun mengangkat n menempatkan Ms n teman2 lebih dari yang pernah Saya raih.

      Dan kiranya Dia pun menjadikan Ms n teman2 sebagai perpanjangan tangan-Nya untuk menjangkau jiwa2.

      I long to have that very good moment again. But...just let the time tells. Gb!

      Delete
    2. Hehehe... btw komentar saya memang yang sebenarnya saya dan rekan-rekan guru sewaktu di SD Makassar rasakan Pak, sewaktu Bapak jadi Kepala Sekolah. Fokusnya tentunya bukan pada pencapaian akan posisi tetapi pada respon ketika Tuhan percayakan. Dibalik respon selalu ada tujuan mengapa dan bagaimana mengerjakannya, dan impact jangka panjang bahkan kekal adalah ketika Teaching si Touching (berkenaan dengan pribadi-pribadi atau jiwa-jiwa)...

      Semangat Pak...

      Delete
    3. Ya. Yang terpenting dari mengajar dan mendidik bukan menghabiskan materi tetapi menyentuh pribadi dan menjangkau jiwa peserta didik.

      Delete
  5. Idolaku bro Yolis. Tetap menulis..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur suwun, Mas Yo.

      Ya aku hanya memanfaatkan waktu yang masih tersisa yang entah sampai kapan Tuhan beri.

      Biar aku isi dengan hal sederhana yang Moga2 bermanfaat.

      Actually, you have the very best ability to write. So just make it, Man!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TEACHER

MAU JADI GURU

POIRHAQIE de KRISSIEN