HOW GOOD IS HIS ENGLISH?
“Kamu dipanggil Boss. Kepala Sekolah.” Kata temanku saat
aku muncul di depan pintu ruang guru.
“Ngapain?” Tanyaku menyelidik. Aku ingin tahu ihwalnya dia
memanggil.
“Entah? Pokoknya dia
cari lewat sekretarisnya tadi. Katanya kalau kamu ada supaya segera menghadap.”
Mendengar keterangannya
yang detail dan serius, aku tak bisa mengelak. Aku mengambil waktu sebentar
untuk istirahat. Kurapikan diri mulai dari kepala sampai telapak kaki. Beres. Aku
menemuinya di ruang kepala sekolah.
“Silakan!” Serunya
sambil menunjuk kursi kosong di depannya.
“Terima kasih, Pak!” Balasku
sembari menutup pintu di belakangku. Aku melangkah maju ke hadapannya dan
menempati kursi yang tersedia. Ia
berhenti menulis. Ia melepas kacamata yang sejak tadi digunakan. Ia lalu
meletakkannya di atas meja.
Perasaanku kacau
dibuatnya. Wajahnya serius. Tidak seperti biasanya. Aku hanya duduk mematung
menunggu kata-kata meluncur dari mulutnya. Entah kata-kata perintah atau ultimatum
untuk menghukum. Aku tak bisa menerka.
“Saya memanggil Anda,
karena Lee Roy menyurati saya bahwa Anda tidak mengajar. Di mana Anda saat jam
mengajar tadi?” Pertanyaannya memecah keheningan. Aku mencoba bernapak tilas
dalam pikiran. Memoriku mengatakan aku tidak meninggalkan tugas utamaku yaitu
mengajar. Aku menghela napas dan menjawab.
Tapi kawan, sbelum
lanjutkan ceritanya biarlah kujelaskan sedikit mengenai orang yang dimaksud
oleh kepala sekolah.
Orang ini bernama lengkap
Lee Roy W. English. Ia adalah Head
Teacher (semacam atasan guru-guru. Tapi kedudukannya berada di bawah kepala
sekolah). Ia berkebangsaan Kanada tapi telah menjadi warganegara Australia.
Perawakannya seperti
Presiden Donald Trump baik raut wajah, model dan warna rambutnya. Postur badan,
gaya bicara dan juga gaya berjalannya tak ada bedanya. Semuanya sama persis
dengan Donal Trump. Ia tidak bisa
berbahasa Indonesia. He only speaks
English every day.
“Di atas, Pak. Di ruang
P.E. Saya mengajar grade 2.” Jawabku
mengurai memberi penjelasan atas pertanyaan sesudah kududuk.
“Setelah itu karena
lapar, saya pergi makan. Saya tidak melalaikan tugas,” sambungku selanjutnya.
“Sebab dia mencari Anda,
dan tidak ketemu. Itu yang membuatnya marah dan menyangka Anda tidak mengajar.
Sampai dia bertanya: ‘How good is his
English?’ Itu makanya saya memanggil bapak untuk menanyakan hal ini.”
Aku hanya menundukkan
kepala. Tenggorokanku terasa kering. Aku sadar tidak memiliki kemampuan bahasa
Inggris yang baik. Setelah pertemuan itu aku bertekad dalam sanubari. “Someday, sooner or later, you will know me.
And you will be very sorry of what you are saying.” Dadaku bergemuruh.
Menyadari kekuranganku
dalam penguasaan bahasa impor ini aku tak berpangku tangan. Setelah kejadian
itu aku menuntut memaksa diri dengan belajar serius. Aku mengasah diri lewat
membaca dan menulis dalam bahasa Inggris.
Aku membaca buku-buku
cerita ringan dan serius yang kupinjam dari perpustakaan sekolah. Lewat membaca
itu pula, dengan sendirinya aku bolak-balik membuka kamus. Dengan demikian
semakin hari peerbendaharaanku terus bertambah. Walaupun tidak sehebat mereka
yang berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris secara akademik.
Tidak hanya membaca dan
menulis. Aku pun berusaha sebisa mungkin berbicara sepotong-sepotong dalam
bahasa Inggris dengan guru dan/atau murid. Salah atau benar aku tak ambil
pusing. Tak perduli. Aku libas terus
ber-cas cis cus in English.
Kenekadanku tidak
sia-sia. Suatu saat di dalam perpustakaan aku sedang bercakap-cakap dengan
seorang teman guru. Kebetulan Lee Roy berada di balik rak-rak buku yang
menghalangi.
Ia berteriak: “Yolis, is that you?”
Dengan suara nyaring,
lantang aku membalasnya: “Yes, I am. Is
there anything strange?” Dengan lancar dan percaya diri aku
menyampaikannya.
“No, I just wonder,” katanya.
“Thank you,” timpalku lumayan bangga.
Di suatu ketika yang
lain temanku Leo Lencito yang orang Filipina marah. Pangkalnya adalah kritik
dan koreksi yang menyakitkan dari kepala sekolah. Koreksi terhadap hasil
kerjanya sebagai penanggung jawab penerbitan Bulletin sekolah.
Ia menulis surat yang
isinya adalah pernyataan pengunduran dirinya sebagai penanggung jawab Bulletin. Ia layangkan surat berbahasa
Inggris itu kepada yang terhormat kepala sekolah. Orang yang sudah memporak
poranda motivasi kerjanya menerbitkan buletin itu.
“Silakan cari orang lain
yang lebih professional. Orang yang dibayar khusus untuk membuat dan
menerbitkan Bulletin,” tulisnya.
Kepala sekolah bingung. Ia panik dan galau. Ia kehilangan asa. Orang nomor satu
di sekolah itu memanggilku.
“Bapak yang selalu
menulis untuk News Bulletin kita
bersama Pak Leo. Saya mohon jangan hentikan,” pintanya padaku. Lalu ia
menjelaskan ihwal kemarahan si Filipinos,
orang Filipina itu secara runut runtut. Dalam hati aku tertawa dan berseru
kocak dalam diam.
“Dulu aku dihina soal
bahasa Inggris. Sekarang aku diharapkan meneruskan pekerjaan itu yang notabene
75 persen ditulis dalam bahasanya Pangeran Charles.” Aku geli. Tapi tak tega
untuk membalikkan kata-katanya.
Kata-kata yang dulu pernah
dilontarkannya padaku secara tak bermartabat. Ya, walaupun ia hanya sekedar
menyampaikan penilaian orang lain padaku. Tapi aku tak sanggup manyatakannya. I am not that kind of person.
And what I can learn through this experience is: Do not be
so easy to judge somebody else, whoever and whatever he/she is. Do not
criticize other people. It’s just like the Bible says.
“Judge not, that ye not be judged. For with what judgement
ye judge, ye shall be judged; and with what measure ye mete, it shall be
measure to you again.”
It’s taken from Mathew chapter seven verses one and two. The Holy Bible published by University
Press, London in 1957.
Atau dalam bahasa yang lebih mudah dicerna dalam The Living Bible Paraphrased, dikatakan: “Don’t criticize, and then you won’t be criticized. For other will treat you as you treat them.” Mathew seven verse one. The Living Bible published by Tyndale House Publishers, Wheaton Illinois in 1972.
Comments
Post a Comment