MENJADI ATLET
Cerita tentang menjadi
atlet ini tadinya ingin aku tampilkan di bagian sebelumnya. Sebab ia serangkai
atau berdampingan dengan sub judul Tae Kwon-Do. Namun aku berubah pikiran dan
menempatkannya di sini. Karena menjadi atlet adalah bagian dari sebuah karir.
Setelah berhasil
memprakarsai lahirnya Tae Kwon-Do IKIP Jakarta kami berlatih serius. Latihannya
dua kali seminggu di kampus Timur gedung FPOK lantai dua. Kami yang sembilan
orang itu dibimbing dengan disiplin dan keras. Baik dalam hal teknik maupun
soal performa fisik.
Kami dimotivasi untuk
bertarung di arena setelah memperoleh sabuk kuning polos. Sabuk kuning adalah tingkataan kedua
setelah putih. Berarti kami baru naik satu anak tangga. Dengan demikian
keterampilan dan pengalaman belum mumpuni. Belum siap untuk bertarung di arena
kejuaraan. Namun kami bertekad untuk ikut.
Kejuaraan antarmahasiswa
ini diselenggarakan oleh Upancas (Universitas Pancasila). Waktu itu kampusnya
masih berlokasi di sekitar jalan Proklamasi. Upancas dengan sendirinya menjadi
tuan rumah. Kejuaraannya berlangsung pada tahun delapan lima.
Menghadapi kejuaraan itu
frekwensi latihannya ditambah. Porsinya menjadi lebih banyak dua kali lipat
dari biasanya. Lebih banyak secara intensitas maupun bebannya. Kami latihan pagi
dan sore.
Dengan persiapan
demikian kami merasa siap. Aku diturunkan di kelas Bantam dengan berat badan
sekitar 53-an kilogram. Kalau aku tidak salah ingat. Aku sudah tidak ingat lagi
dari mana lawanku kala itu. Yang masih kuingat ia berikatpinggangkan sabuk
hitam. Entah benar atau tidak ia penyandang sabuk itu? Yang jelas aku ciut.
Aku hanya pemegang sabuk
kuning. Polos lagi. Berarti baru tiga bulan mengenal gerakan-gerakan Tae
Kwon-Do. Namun aku tak bisa menghindar. Sudah di tengah arena. Semua pasang
mata tertuju kepada kami.
Akhirnya aku kerahkan
segala daya upaya dan pengalaman yang serbaminim dalam blantika baku pukul ini.
Ternyata aku harus mengakui keunggulannya. Aku ditundukkan. Kalah angka mutlah.
Kawan, biar kuuraikan
sedikit tentang tingkatan dalam Tae Kwon-Do. Seperti yang aku ketahui. Tingkatannya
pada masa itu ditandai dengan warna sabuk. Diawali dengan putih. Kuning polos.
Kuning strip. Biru muda. Biru muda strip. Biru tua. Biru tua strip. Merah
polos. Merah strip satu. Merah strip dua. Baru terakhir hitam.
Karirku di dunia per-Tae
Kwon-Do-an tidak lama. Aku hanya mampu mencapai sabuk biru muda polos. Itu
karena aku tak mampu mengatur waktu dengan baik. Selain itu aku juga harus
berjibaku mencari biaya hidup yang menyita waktu dan perhatian.
Itu adalah pengalamanku
yang pertama dan yang terakhir. Aku tak pernah bertanding lagi hingga aku
selesaikan kuliahku. Aku tak ikut lagi akibat cedera yang aku alami pada
pertandingan di Upancas dulu. Cedera di lutut kanan yang menimpa diriku itu
merupakan kenangan yang masih dan terus membekas sampai sekarang.
Rasa sakitnya mengerogot
ke seluruh lingkaran dengkulku. Mungkin juga karena dibiarkan saj. Tidak diurut
perbaiki hingga tuntas. Aku tak bisa lagi memfungsikannya secara maksimal.
Jangankan untuk menendang, melompat atau berlari pun sakit. Berjalan saja aku
harus bersusah payah. Pelan-pelan.
Menjalani profesi
sebagai guru olahraga pasti berhubungan dengan gerak fisik. Karenanya aku
selalu terlibat dalam urusan mengaktifkan gerak badan siswa. Seperti yang sudah
kuceritakan pada lembaran-lembaran sebelumnya.
Itu kulakukan demi
membangkitkan motivasi siswa. Dan juga demi menumbuhkan rasa cinta mereka
terhadap subyek yang aku ajarkan ini. Kecintaan kepada mata pelajaran olahraga.
Mata pelajaran yang memberi penghidupan kepadaku.
Karena itu tak jarang
aku bergabung dan bermain bersama mereka. Aku dan anak didikku selalu bermain
bersama. Apakah sepakbola, basket atau lainnya. Apakah di saat jam pelajaran
olahraga atau saat jam-jam bebas. Bermain bersama mereka sangat menyenangkan.
Itu juga yang kami
lakukan pada perayaan hari kemerdekaan RI ke lima puluh tiga. Kami bermain bola
dalam rangka memperingati HUTRI di tahun sembilan delapan. Aku bermain
sepakbola dengan ‘teman-temanku.’ Dalam pertandingan itu lutut kiriku cedera
pula. Maka lengkaplah penderitaanku.
Cedera itu terjadi ketika
aku mengajar di SHB – Sekolah Harapan Bangsa Tangerang, Banten. Kedua lututku
cedera yang membuatku harus tertatih kala melangkah. Namun demi kehidupan
segenap keluargaku aku tetap menjalani profesi itu.
Aku berharap suatu saat aku mendapatkan dan menjalani sebuah pekerjaan lain. Pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan penggunaan kaki sebagai faktor utama. Faktor penentu dalam menghasilkan uang.
Sukses menjadi atletnya...tetap berlatih dan semangat
ReplyDeleteTerima kasih, Pak Aswin sudah membaca n memberi komentar. Gb!
DeleteTerima kasih, Pak Aswin sudah membaca n memberi komentar. Gb!
Delete