TUMBANG DI TANGAN ADIK

Kami mempunyai pekarangan yang luas. Rumah kami berada di tengah. Artinya di depan, belakang dan sampingnya masih tersisa tanah kosong. Maka untuk ‘menyemarakkan suasana’ – menghijaukannya – pekarangan itu ditanami bermacam-macam tanaman oleh Papa.

Tanaman semisal: Kelapa, papaya, jeruk, nangka, pisang, jagung, singkong, dan lain-lain. Karena itu, aku sering melihat bagaimana caranya Papa menggunakan alat-alat pertanian. Alat-alat seperti: Cangkul, golok, dan lainnya.

Suatu ketika, sehabis makan siang selepas pulang sekolah aku terdorong untuk mencangkul. Kira-kira jam duabelas siang. Matahari pas di ubun-ubun. Papa, Mama dan saudara-saudaraku menyaksikan dan mengawasi dari dalam rumah. Maksudnya di teras. Mereka sambil berangin-anginan di sana.

Melihat keasikanku mencangkul adik laki-laki yang persis satu tahun di bawahku ikut nimbrung. Kami mengambil posisi saling berseberangan. Artinya, mencangkul mengepung kumpulan rumput yang berada di tengah-tengah kami.

Jadi kalau dia berada di sebelah utara, maka aku di bagian selatan. Dan bila ia di sisi timur, aku di barat. Demikian seterusnya sampai habis rumput yang kami kepung. Kemudian berpindah bergeser ke tempat lain sampai seluruh halaman rumah terbebas dari ‘penghuni’ liar yang tak disukai itu.

Dasar anak kecil. Kami tidak memperhitungkan kalau ada bahaya yang mengintai. Kami tidak memperkirakan hal-hal buruk yang bakal terjadi. Yang kami tahu dan lakukan adalah terus mencangkul sambil bercanda dan tertawa. Riang gembira.

Saking girang dan bersemangat, kami lupa mempertahankan jarak. Jarak dari posisinya dan aku saat mencangkul. Dan tidak terasa jarak itu bertambah sempit di antara kami dan makin rapat. Kami telah saling berhadapan.

Maka dengan satu ayunan yang tak terduga dan sama sekali tak kusangka cangkulnya tersangkut menancap di alis mataku. Entah kiri. Entah kanan. Aku lupa. Karena salah satu alisku memang cacat sejak dalam kandungan. Sejak lahir. Lengkaplah kedua alisku menjadi ‘penyandang’ cacat yang sempurna.

Mendadak sontak semua kegiatan terhenti. Darah segar mengucur lancar. Aku terkapar. Knock out dan pingsan. Setelah sadar hari telah berganti. Kepala sudah berbalut dan remahan daun papaya yang menyumbat bekas luka telah mengering. Kulit di sekitar mataku kaku. Rasa yang masih tertinggal hanyalah perih dan nyut-nyut.


Comments

Popular posts from this blog

TEACHER

BERIRING

AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU