SI JAGO MERAH
Kala itu, tahun ajaran
baru dimulai pada setiap bulan Januari. Aku duduk di bangku sekolah menengah
pertama pada usia sebelas tahun. Tepatnya pada bulan Januari sembilan belas
tujuh enam.
Aku menyelesaikan pendidikan
di sekolah dasar hanya dalam waktu lima tahun. Tidak seperti biasa yang
seharusnya enam tahun. Kenapa bisa begitu? Itu gara-gara aku lompat kelas dari
kelas dua ke kelas empat. Bukan atas kemauan sendiri. Tapi dorongan guru
kelasku.
Papa mendaftarkanku di
SMP Negeri II Kupang yang beralamat di jalan Tompelo. Aku dimasukkan di sekolah
ini karena dekat dengan tempat tinggal kami. Aku dan kakakku yang sekolah di
Kupang menyewa satu rumah di dekat SMPN II.
Ketika aku bersekolah di
SMPN II ini yang menjadi kepala sekolahnya adalah Ibu Karels-Suek. Beliau
adalah sosok yang aku kagumi karena cerdas, tegas dan disiplin. Dia salah satu
tokoh yang mempengaruhi pribadi keguruanku. Ia telah dipanggil pulang oleh Sang
Khalik. Yang Empunya kehidupan.
Prestasiku
di sekolah menengah tidak segemilang di sekolah dasar. Bahkan buruk sekali.
Bayangkan selama tujuh semester di SMP hanya satu semester yang bebas ‘polusi’
merah. Yaitu di kelas dua semester pertama. Semuanya bernilai enam. Pas modal.
Semester selebihnya
yang lainnya paling sedikit satu angka berwarna merah, lima. Bahkan pernah
terjadi entah di kelas berapa, lebih dari setengah daftar mata pelajaran yang
ada di rapor merah. Kecuali Agama, PMP, Bahasa Indonesia dan Olahraga.
Prestasi yang merosot
dan melorot tajam itu adalah akibat tidak belajar. Aku baru mau belajar kalau
akan ada ulangan. Ulangan umum maksudnya. Itupun semalam sebelum ulangan baru
belajar. Sekedar melihat-lihat buku catatan. Tidak serius belajarnya.
Yang sering aku lakukan
hanyalah bermain. Bermain Gala Asin atau Gobaksodor.
Hampir setiap malam. Apalagi kalau bulan bundar penuh. Dengan diterangi
cahayanya, kami, anak-anak seusiaku di lingkungan tempat tinggalku bisa bermain
sampai tengah malam. Memang mengasyikkan!
Ada kejadian konyol-menyebalkan
yang kualami sewaktu duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Yang pertama dengan Pak Gomang, guru Olahraga. Aku masih duduk di
kelas dua – sekarang disebut dengan kelas delapan. Sedang dalam jam istirahat.
Hampir semua anak berhamburan di luar ruangan. Hanya ada beberapa yang tetap
tinggal dalam ruangan termasuk aku.
Entah karena girang atau
lagi kesal salah seorang temanku memukul-mukul meja dengan kedua telapak tangan.
Mirip seperti sedang menabuh gendang atau drum. Kami yang lain menyaksikan.
Tidak dinyana Pak Gomang lewat di depan kelas.
Dengan langkah mantap
meyakinkan walaupun perutnya agak menonjol ia mampir. Herannya ia langsung
menuju ke arahku. Tanpa tanya ia meraih kedua tanganku. Meletakkan di atas meja
dengan posisi telapak tangan ke bawah.
Ia mengayunkan rotan
yang selalu dibawanya dan membenturkan ke punggung jari-jemariku. Hanya satu
kali. Tapi rasanya seperti seribu kali. Wow,
sakitnya nggak ketulungan.
Setelah itu ia pergi
begitu saja seolah tak terjadi sesuatu. Innocence
sekali. Ia merasa biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Aku dongkol bukan main. Tapi
nyaliku tidak cukup kuat dan berani untuk berontak.
Bagaimana mungkin mau
melawan? Melihat orangnya saja aku ngeri. Posturnya pendek dan kekar. Badannya
tegap kalau berjalan. Kulitnya hitam legam. Rambutnya keriting. Walaupun sering
dan selalu diminyaki rambutnya tetap berdiri seperti Don King.
Biar kuberi tahu sedikit
tentang sosok ini! Don King adalah promotor tinju Amerika yang sangat terkenal
sampai awal tahun sembilan puluhan. Ia banyak menjaring petinju-petinju
berbakat besar. Salah satu yang bersinar di tangannya adalah Mike Tyson yang
dijuluki si leher beton.
Ya, begitulah rambut Pak
Gomang. Hanya di bagian atas depan telinga saja yang tertidur rapat lengket
dengan kulit kepala. Mungkin porsi minyak untuk bagian itu dua kali lipat lebih
banyak dibanding bagian lainnya.
Ditambah pula, ia selalu
mengenakan akar bahar di pergelangan tangan. Akar bahar adalah sejenis karang
laut yang berwarna hitam. Belum lagi kumisnya yang jabrik. Lengkaplah penampilannya yang seram menakutkan.
Sekalipun aku
diperlakukan seperti itu aku tidak mendendam, apalagi membenci. Buktinya aku
mengikuti jejaknya menjadi guru olahraga. Aku suka dengan pelajarannya dan
caranya mengajar. Ia kejam dalam penampilan, tapi lembut dalam bertutur kata.
Bagiku, dia seorang guru dan pembimbing yang baik juga humoris.
Yang kedua dengan guru seni suara. Ketika itu aku sudah
duduk di kelas tiga atau kelas Sembilan sebutan jaman sekarang. Pada jam seni
suara. Gurunya perempuan. Cantik. Mungkin paling cantik di sekolah itu.
Tubuhnya berukuran
sedang. Baik tinggi maupun lingkaran badannya. Jalannya tegap. Tapi pantatnya
selalu goal-geol ke kiri dan ke
kanan yang dibuat-buat. Asli dibuat-buat. Centil. Dan cenderung over acting atau kata anak muda sekarang
lebai.
Dandanannya menor,
semenor-menornya. Caranya berpakaian sangat merangsang mata lelaki untuk ogah
berkedip. Roknya tinggi di atas lutut. Gesper yang sering digunakannya
berukuran lebih lebar dari gesper lelaki Betawi.
Gesper itu melingkar mencekik
di pinggangnya hingga nyaris susah napas. Membuat orang yang melihatnya ikut
tersengal. Bajunya ketat melekat rapat dengan kulitnya. Coraknya pun kadang norak-menyebalkan.
Pada saat ia masuk kelas
kami mungkin ia diejek oleh anak-anak. Tidak ketahuan siapa yang meledeknya dan
dalam bentuk apa. Entah kata-kata, entah dengan melemparnya. Tiba-tiba si
centil marah. Tapi herannya aku yang dipanggil ke depan.
Karuan saja tanpa Tanya a, i, u, atau kunyuk, ia langsung menamparku. Oh,
sakitnya bukan kepalang. Merah semua mukaku. Kebencianku sampai ke ubun-ubun. Aku
tak ada kesempatan untuk membela diri. Aku tak diberi kesempatan untuk memberi
alasan.
Ya, sudahlah. Aku
pasrah. Apalagi tinggal beberapa bulan aku akan mengikuti ujian akhir. Aku tak
berani melawan. Kurelakan saja keadaan itu berlalu tanpa klarifikasi berarti.
Kubiarkan dia menjadi semacam sejarah kelam.
Yang ketiga dengan guru Bahasa Inggris, masalah buku cetak. Waktu itu adalah
saatnya pembagian ijazah, tanda kelulusan. STTB (surat tanda tamat belajar).
Kami masing-masing mengambilnya sendiri dengan cara mengantri. Berdiri berderet
ke belakang sesuai absen atau urutan nama.
Giliran aku mau
mengambil STTB yang telah menjadi hak milikku, justru tidak diberi. Alasannya
aku belum mengembalikan buku cetak Bahasa Inggris. Gurunya adalah wali kelasku
sendiri. Padahal seingatku, aku telah mengembalikan langsung kepadanya.
Aku telah menyerakan
kepada yang bersangkutan. Guru bahasa Inggris yang wali kelasku itu. Ialah yang
sekarang ada di hadapanku memegang ijazahku. Ia bersikeras tidak mau
menyerahkan ijazahku. Aku ngotot namun nihil. Gagal total. Apa boleh buat,
daripada tidak dapat ijazah.
Aku meninggalkan
barisan. Aku kerahkan konsentrasi untuk mengingat apakah sudah dikembalikan
atau belum. Ternyata aku ingat betul bahwa buku itu sudah kukembalikan sebelum
ujian akhir. Buku itu tidak seperti aku terima dulu. Tapi kusampul rapi. Aku memang
rapi dan sangat telaten dalam hal
mendandani buku.
Aku bingung. Galau. Dan
putus asa. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membeli buku itu? Apakah dijual
bebas di toko? Aku mengayun langkah lunglai pulang ke rumah. Pertanyaan-pertanyaan
itu berseliweran di benakku.
Untung sekali di rumah
aku punya tabungan. Aku membiasakan diri menyimpan uang. Celengan berbentuk
kotak yang kubuat sendiri dari tripleks bekas. Kurusak kotaknya lalu kuhitung.
Hampir dua ribu rupiah. Uang logam pecahan seratusan, lima puluhan dan dua
puluh limaan.
Berbekal uang itu, aku hunting ke seluruh toko buku yang ada di
seantero kota Kupang. Dari semua toko yang aku kunjungi hanya satu yang
menjualnya. Itupun tinggal satu-satunya. Harganya pun pas sekali dengan uang
yang kubawa, hasil tabunganku. Oh,
betapa leganya hatiku. Tuhan sungguh baik dan berpihak padaku.
Akhirnya dapat juga
ijazahku. Walaupun tertulis nilai bahasa Inggrisku lima. Itu adalah satu-satunya
mata pelajaran yang merah di STTB SMP. Aku menduga penyebab ‘kemerahannya’
adalah buku. Semoga salah dugaanku.
Aku lulus dari SMP Negeri
II Kupang pada bulan Juni sembilan belas tujuh sembilan. Seharusnya Desember sembilan
belas tujuh delapan. Tapi awal tahun pelajaran diubah dari bulan Januari ke
Juli. Maka terpaksa aku harus menghabiskan tiga semester di kelas tiga
(sembilan). Perubahan itu dilakukan oleh Mendikbud kala itu, Dr. Daoed Joesoef.
Ketiga guru yang
tercinta itu telah sangat menyakitiku secara psikologis. Secara tidak sadar
mereka telah merusak mengahancurkan martabatku. Tapi aku tidak membenci mereka.
Aku juga tak menaruh dendam pada mereka sedikit pun. Aku selalu berusaha
berpikiran positif. Aku tak mau membiarkan diri terjerat terperangkap pikiran
negatif.
Buktinya aku mengikuti jejak mereka. Aku adalah seorang guru olahraga sejati. Aku mampu bermain musik dan bernyanyi dengan baik walau tidak terkenal. Aku juga menguasai bahasa Inggris dengan baik dan lancar. Baik secara lisan maupun tulisan walau tidak sehebat orang lain.
Comments
Post a Comment