RAKNAMO

Terpacu untuk bisa naik ke loteng, aku mulai belajar memanjat. Awalnya mulai dari pohon-pohon kecil. Setiap pulang sekolah aku pasti memanjat pohon dengan alasan mengambil buahnya. Padahal aku sedang melatih diriku, fisik dan mental.

Teman-teman tidak mengetahuinya. Yang mereka tahu aku sedang memetik buah untuk dimakan. Tak jarang akibat kegiatan panjat-memanjat ini aku pulang rumah dengan badan tergores dan luka serta pakaian kotor dan sobek.

Menyangkut latihan mental ini, aku lakukan dengan cara memalak teman-teman. Memaksa mereka untuk memberikan barang-barangnya kepadaku. Barang-barang yang kuminta hanya berupa makanan yang mereka bawa.

Itupun Cuma jagung rebus atau jagung bakar. Pokoknya hanya makanan. Uang tidak. Karena waktu itu jarang yang membawa dan/atau diberi uang jajan. Tidak ada warung pula. Waktu itu kami belum mengenal jajan.

Aku lakukan ini hanya kepada teman laki-laki dan yang besar-besar saja. Cewek tidak. Rata-rata mereka takut. Mereka takluk bukan karena aku jago. Tapi kemungkinan karena aku anak guru.

Orang yang berstatus guru di kampungku pada waktu itu sangat dihormati dan disegani. Guru memiliki status sosial yang tinggi. Ia sederajat dengan pendeta/ulama atau rohaniwan dan pejabat pemerintahan setempat.

Ya, mungkin karena aku anak guru sehingga mereka tak berani. Atau mungkin juga mereka geli dan kasihan karena badanku kecil ceking. Entah! Yang jelas mereka bertekuk lutut. Maka jadilah aku seorang preman kampung yang disegani di lingkungan teman-teman se kelas.

Suatu saat semua anak laki-laki membawakan jagung yang aku serukan. Jagung yang aku mintakan sebelumnya. Aku kewalahan. Tak sanggup kuhabisi sendiri. Akhirnya kuajak semua, laki dan perempuan untuk makan bersama. Prasmanan. Pesta kecil-kecilan. Begitulah metode latihan yang kurancang sendiri.

Jadi secara fisik dan mental aku sudah siap untuk ‘naik kelas.’ Namun aku mendapat kabar buruk yang mengejutkan sekaligus menjengkelkan. Kami harus pindah. Semua. Satu keluarga besarku. Papa dipindahtugaskan ke lain kampung.

Perjalanan ke kampung itu, tempat tugas Papa yang baru, memakan waktu sekitar dua jam. Kami berjalan kaki dari Noekele melalui jalan-jalan setapak. Tidak bisa menggunakan kendaraan bermotor.

Alat transportasi yang paling efektif waktu itu adalah kuda. Medannya cukup berat dan sulit. Melewati kali yang lebar dan dalam. Bukit yang terjal dan lembah yang curam. Batu karang yang kokoh angkuh menjulang sebesar rumah.

Kami juga harus melewati belukar dan hutan lebat. Belukar berduri yang akan mencabik menggaret tubuh bila tak mawas kala menerabas lewat. Pohon-pohonnya tinggi besar dan angker. Semua itu menyebabkan bulu kuduk bergidik bila melintas. Seram!

Letak kampung tujuan kami pindah lebih jauh ke pedalaman sebelah utara Noekele. Raknamo namanya. Desa yang sekarang menjadi salah satu tempat tujuan wisata yang keren di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Ia berada di kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang. Di sana terdapat sebuah bendungan besar yang diresmikan oleh Presiden Ir. Joko Widodo pada bulan Desember 2017. Bendungan ini dibangun dengan cara membelah beberapa gunung.

Kami menempati sebuah gubuk dekat sekolah. Di belakang sekolah. Kira-kira sepuluh meter sebelah selatan rumah terdapat kali kecil. Kali yang mengalirkan air bersih nan bening ini berada di kaki bukit yang terjal.

Di sanalah tempat kami mengambil air minum dan tempat kami mandi. Ketinggian atau kedalamannya sekitar lima belas meter dari rumah kami dari permukaan tanah. Segala keperluan yang berhubungan dengan air kami ambil dari sana.

Di sekeliling rumah kami ini masih hutan lebat. Pohon-pohonnya telah berusia ratusan tahun. Tingginya mencapai belasan bahkan puluhan meter menjulang menggaruk langit. Besar lingkarannya kira-kira lima kali rangkulan manusia.

Kebanyakan pohonnya adalah mangga hutan, kapuk hutan, pohon ara dan enau/aren. Pohon-pohon besar itu biasanya dihuni oleh burung-burung dara. Sedangkan pohon enau/aren adalah tempat bersembunyinya kera-kera liar yang tak terbilang jumlahnya.

 Kami menyebutnya burung dara karena secara fisik (bentuk dan warnanya) memang persis burung dara yang dijual di pasar. Hanya ia dua kali lebih besar. Suaranya bisa terdengar dari radius satu kilo meter. Bunyi suaranya seperti melafalkan huruf ‘M’ yang panjang.

Bukan hanya burung dara dan kera yang banyak waktu itu. Tetapi di lingkunganku itu masih banyak berkeliaran kawanan babi hutan. Babi hutan menjadi musuh bebuyutan para petani. Rusa dan kijang juga banyak di kawasan kami tinggal.

Kini burung dara, kera, babi hutan, rusa dan kijang sudah tidak ada lagi. Hilang entah ke mana. Itu semua akibat sering diburu dan ditembaki. Selain itu juga karena tempat itu sekarang telah dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman penduduk.

Bekas tempat tinggal binatang-binatang liar tadi dapat dijadikan tempat wisata. Di sana terdapat air terjun yang tinggi dan indah. Di kaki air terjun itu terdapat kolam yang dalam. Bisa berenang dan aktivitas lainnya yang memanfaatkan media air.

Volume air yang terjun bebas itu kurang banyak. Mungkin kalau kalinya dibersihkan dan ditata dengan baik akan menghasilkan debit air yang besar. Tempat di sekeliling air terjun itu sangat rindang. Nyaman untuk beristirahat/berekreasi bila dirapikan dan ditata.

Kami semua pindah ke lokasi baru ini pada akhir tahun Sembilan belas tujuh puluh.


Comments

Popular posts from this blog

TEACHER

BERIRING

AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU