PEPAYA TETANGGA

Aku baru tiba di rumah. Baru pulang dari sekolah. Pakaian seragam masih melekat di badan. Hanya sepatu yang sudah kucopot. Aku masih berkeringat. Maklum, jarak tempuh antara rumah dan sekolah lumayan jauh. Kurang lebih tujuh kilometer. Ditambah pula, aku menempuhnya hanya dengan berjalan kaki.

Rasa penat dan lapar telah menyengat menjalar sampai ke ubun-ubun. Tapi aku bermaksud mengaso terlebih dahulu baru makan. Aku sengaja menetralisir rasa capek dengan membiarkan keringat kering.

Belum juga menguap peluh di badan, tiba-tiba aku dipanggil.

“Olis!” Terdengar nama kecilku dipanggil.

“Iya,” jawabku cepat.

“Tolong ambilkan papaya yang masih modok (ranum) itu.” Perintah kakakku menunjuk ke arah pohon pepaya tetangga. Jaraknya kira-kira limabelas meter dari rumah kami. Dengan singkat aku balas. “Sebentar. Makan dulu.”

Hujan mulai gerimis. Makin lama tetesannya semakin banyak. Aku belum  beranjak dari tempatku menyandarkan punggung. Kepalaku pusing. Pusing memikirkan cara pengambilannya.

Pertama, itu punya orang lain. Punya tetangga tepatnya. Bukan punya sendiri. Berarti harus permisi dan meminta dengan segala hormat. Aku segan melakukannya karena belum pernah melakukan hal itu. Dan aku tidak akrab dengan pemiliknya.

Kedua, pohonnya tinggi sekali dan ceking. Aku ngeri patah. Ketiga, hujan. Licin. Aku ciut. Keempat, aku belum makan. Perut keroncongan. Badan gemetaran. Lemas. Tak ada tenaga.

Aku sementara berpikir bagaimana dan apa yang harus kulakukan terlebih dahulu. Makan atau minta papaya modok. Ketika masih merenung hening, kakak menyuruh untuk yang kedua kalinya.

“Iya. Sebentar,” jawabku sambil melangkah menuju pintu depan siap keluar. Hujan makin menjadi. Saat berada di pintu, keempat kendala tadi memenuhi kepala. Silih berganti menyerang logikaku.

Langkahku macet di situ. Malah kedua tangan kugayutkan ke balok kusen yang berada di atas kepala. Aku terpaku.

“Sudah, sana.” Serunya semakin tak sabaran.

Kan ujan,” balasku tak mengacuhkannya.

Mendengar jawabanku ia dengan serta merta berjingkat merayap menempel melalui dinding rumah. Ia berjalan menempel di dinding supaya terhindar dari basah. Ia sedang menuju pohon kapuk yang tumbuh di halaman samping rumah.

Ia menjulurkan tangan di antara air hujan yang jatuh dari ujung atap rumah. Meraih salah ranting yang terjangkau lalu mematahambilkannya. Sesudahnya ia kembali masuk rumah dengan cara yang sama. Berjingkat menempel di dinding hingga tak menimbulkan bunyi langkah.

Dengan ranting kapuk di tangan yang daunnya sudah digugurkan, ia menghampiriku. Tanpa suara. Dari arah belakang ia langsung mengayunkannya ke badanku. Aku kaget bukan kepalang.

Rasanya seperti tersengat aliran listrik voltase tinggi. Perih. Perih karena ranting kapuk. Perih karena lapar. Keduanya bertemu di ubun-ubun. Aku keluar rumah tanpa alas kaki. Aku paksa menabrak hujan.

“Tunggu.” Responku sambil berlalu meninggalkannya dalam rumah.

Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Sejam. Dua jam. Sampai sore aku tak kunjung pulang. Aku langsung cegat mobil dan pulang kampung. Kampungku itu di Raknamo. Waktu itu aku tinggal dengan kakak tertua, Susi Nona, dan suaminya di Kuanino, Kupang. Aku naik mobil dengan telanjang kaki, pakaian kuyup dan lusuh.

Badanku yang kecil dan kurus itu semakin tak bermodel diterpa angin dan hujan. Aku menggigil kedinginan. Aku tidak ditagih ongkos oleh kondektur. Entah kasihan, entah jijik? Yang pasti aku tidak membayar. Dan memang aku tak punya duit karena kabur tanpa persiapan.

Kok, su (sudah) pulang! Kenapa? Tanya Mama dalam aksen Kupang yang kental setelah aku tiba di rumah.

Su libur na (karena sudah libur).” Kataku singkat membalas Mama dalam logat Kupang juga. Mama percaya. Ia tidak curiga sama sekali. Ia terus melanjutkan pekerjaannya. Ia malah memintaku membantu apa yang kubisa.

Aku memang selalu jujur. Karena menurutku berkata jujur lebih nyaman. Hidup dengan sikap jujur adalah hidup yang merdeka. Tak ada hal yang mengganjal ketika menjalani hidup dengan jujur.

Tapi untuk kali ini terpaksa aku tidak jujur karena dipaksa untuk tidak jujur. Aku harus berbohong sama Mama tentang kedatanganku. Sebab rencananya kami, aku dan kakak serta suaminya, baru akan datang keesokan harinya.

Besoknya sekembaliku dari kebun, kakak dan suaminya sudah ada di rumah Papa. Mereka baru sampai beberapa menit berselang. Keduanya sedang bersantai di bawah pohon buah di samping rumah.

Aku selalu ikut berkebun kalau lagi liburan dan pulang kampung. Selain berkebun, aku juga melakukan pekerjaan lainnya seperti menggembala ternak. Kala itu kami masih memiliki kuda, sapi, kambing dan babi. Tidak banyak tapi lumayan menuntut perhatian lebih dalam memeliharanya. 

Ia mohon maaf atas perlakuannya padaku setelah aku berada di depan mereka. Awalnya aku takut mendatangi mereka karena kaburku dari Kupang. Berangkat tanpa pamit yang wajar. Aku bersyukur karena tidak didamprat.  

“Susi minta maaf. Kemarin, Susi kepingin sekali rujak.” Katanya menjelaskan ihwal perlakuannya padaku.

Susi adalah kata sapaan hormat terhadap kakak perempuan di kampungku. Kami selalu memanggil dengan sebutan susi kepada perempuan yang lebih tua. Susi dipungut dari kata bahasa Belanda, suz.

Setelah Susi Nona menceritakan semuanya baru aku tahu bahwa ia lagi ngidam. Ia sedang mengandung anak pertamanya. Aku memeluknya dalam rasa sesal yang teramat tebal. “Maaf juga, deh! Semoga aku tak melakukannya lagi.” Kataku tanpa ucap!

Rangkaian cerita ini terjadi di sekitar tahun tujuh delapan. Hari ini Susi Nona sudah berada di rumahnya yang kekal. Ia berpulang Hari Sabtu subuh tanggal delapan belas Januari dua ribu dua puluh sebelum corona mengganas.

Tentang bagaimana ia berjibaku melawan maut sudah kuabadikan dalam kisah tersendiri! 

Comments

Popular posts from this blog

TEACHER

BERIRING

AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU