MINTA SEKOLAH
Pintu masuk pembelajaran
yang paling ideal adalah mata. Pengetahuan paling cepat masuk dalam memori
manusia lewat indra penglihatan. Tak heran setiap belajar guru selalu minta
perhatian siswa agar melihat dengan jelas. Supaya cepat paham.
Itu juga yang aku alami.
Aku selalu melihat Papa siapkan bahan ajar yang ia buat sendiri. Itu membuatku
jadi penasaran dan ketagihan ingin tahu lebih banyak. Ditambah pula Papa sering
jelaskan tanpa lelah. Aku semakin tertarik.
Tertarik dengan cara
Papa mengajariku membaca dan menirunya menulis, aku termotivasi untuk sekolah. Aku
ingin sekolah dalam arti sesungguhnya. Karenya aku selalu merengek minta ikut
ke sekolah bila Papa berangkat.
Papa dan Mama melihat
ada animo besar dalam diriku untuk sekolah. Indikatornya jelas, rengekan yang
tiada henti. Papa dan Mama akhirnya mengabulkannya juga. Tidak hanya
mengabulkan begitu saja. Mama benar-benar perlakukan aku layaknya anak yang
sudah serius sekolah. Walaupun aku masih usia main-main.
Sebagai anak usia Play Group (kelonmpok bermain) aku hanya
ikut-ikutan. Yang penting senang beraktivitas. Apapun itu bentuk kegiatannya
asalkan aktivitasnya menyenangkan. Menyenangkan bila kulakukan entah di dalam
atau luar kelas.
Karena itu aku selalu
berpindah-pindah masuk kelas mana saja. Aku kadang ikut duduk di kelas satu.
Sebentar kemudian di kelas lain. Pokoknya ikut Papa terus ke mana dan di kelas
mana saja ia mengajar.
Aku bebas duduk
semau-mauku saja. Kadang di kursi guru yang adalah tempat Papa. Di balik meja
guru di depan kelas. Tak jarang pula aku gabung bersama para siswa yang asyik
dan serius belajar. Mereka tak menghardikku.
Mereka tidak menghardik
bukan karena aku anak guru. Tapi karena aku juga ikut-ikutan serius seperti
mereka. Sekalipun yang kuseriuskan bukan mata pelajaran yang sedang Papa
suguhkan. Intinya karena aku tidak mengganggu mereka. Aku tidak merusak
konsentrasi mereka belajar.
Setiap pagi, kecuali
hari libur, aku pasti pergi ke sekolah mengikuti Papa. Sesekali ikut Papa Ipu,
Felipus Muni nama lengkapnya. Papa Ipu waktu itu bertugas sebagai Kepala
Sekolah Dasar GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) di Tuatuka.
Papa Ipu telah
meninggal. Ia adalah suami dari Mama Mince, adik perempuan Mama yang persis
sesudahnya. Almarhumah mamaku adalah yang tertua. Kemudian Mama Minci (almarhumah),
Mama Ina (almarhumah) dan Too Ed
(almarhum). Too sama artinya dengan
paman.
Kalau ikut Papa aku ke
sekolah hanya dengan jalan kaki. Jarak rumah dan sekolah Papa kira-kira lima
kilometer. Jarak yang lumayan menguras tenaga. Tapi tak terasa lelah karena aku
senang melakoninya.
Sedangkan bila ikut Papa
Ipu aku pasti naik sepeda. Aku bersiul-siul riang di sadel boncengan di
belakangnya. Aku menikmati pemandangan yang memperlihatkan pohon-pohon
berkejaran mengikuti kami di belakang. Sungguh senang!
Aku tidak ke sekolah
kalau Papa sedang tugas ke luar daerah. Atau kalau ia sedang mengikuti
penataran tertentu. Atau menunaikan suatu kegiatan sejenis yang bukan di
sekolah tempatnya mengajar.
Menurut cerita Mama,
kalau Papa lagi tugas/dinas luar sampai lebih dari satu hari, aku pasti sakit.
Lebih sering demam, panas tinggi. Dan aku baru sembuh bila Papa kembali. Dengan
kata lain, begitu Papa menginjakkan kaki di rumah aku langsung sembuh.
Kembali lagi cerita
pokoknya tentang minta sekolah!
Aku termasuk rapi.
Sebelum berangkat sekolah aku mandi bersih. Mandinya hanya di got di belakang
rumah. Tidak ada kamar mandi kala itu. Tapi kawan, airnya sangat jernih, bening
dan sejuk. Bukan seperti got di kota-kota besar yang airnya hitam mengental.
Bau pula.
Sesudah bersih-bersih
aku mengenakan pakaian rapi dan bersih pula. Dulu tidak ada seragam sekolah. Jadi
pakai pakaian apa saja boleh asal sopan. Aku baru pakai seragam sekolah saat
masuk esempe dua Kupang di tahun tujuh puluh enam. Tentang esempe nanti aku
ceritakan di bagian selanjutnya.
Itu soal pakaian. Lain
lagi soal rambut. Anak-anak lain merapikan rambut biasanya dengan belah
samping. Bisa ke kanan atau ke kiri. Atau belah tengah. Tapi yang belah tengah
jarang sekali. Aku senantiasa menyisir rambut ala burung kakatua.
Entah dari mana ide itu
menghampiriku! Setelah mandi aku pasti meminta Mama untuk merapikan rambutku
dengan menyisirnya seperti itu. Yakni dengan menegakkan rambut yang tumbuh pas
di ubun-ubun layaknya jambul burung kakatua.
Bila sudah dibentuk
seperti itu aku bangga dan penuh percaya diri. Menurutku itu sangat modis.
Kemudian sarapan dan berangkat ke sekolah tanpa alas kaki. Hebat, bukan?
Comments
Post a Comment