MENANTI SENYUM MENTARI
Aku selalu berangkat
sekolah setiap hari saat masih pagi. Yaitu saat cahaya surya masih belum
menyengat. Sekalipun jarak sekolah dan rumahku hanya sepelempar batu jauhnya.
Aku selalu membiasakan diri datang lebih awal. Karena dua alasan sederhana.
Pertama, aku tidak akan kepanasan sehingga tidak akan keringatan
saat di dalam kelas. Kalaupun keringatan aku masih bisa mengaso berangin-anginan sebelum masuk kelas. Yang kedua, aku tidak akan terlambat. Aku tidak suka terlambat
dalam hal apapun. Aku ingin mengikuti semua proses secara utuh sejak mulanya.
Bagiku lebih baik
menunggu guru dan teman-teman daripada sebaliknya. Sebab kalau ditunggu artinya
aku sudah terlambat. Kalau aku terlambat berarti ada momen tertentu yang
mungkin sangat berharga yang telah berlalu. Momen yang terlewatkan tak akan
kembali lagi.
Suatu saat di kala hari
itu masih sejuk. Butiran embun masih nampak mengkristal di dedaunan. Di
rerumputan. Matahari masih malu-malu menampakkan wajah serinya. Aku telah
mengayunkan langkah-langkah kecilku menuju sekolah menyongsong masa depan.
Aku menyusuri
jalan-jalan setapak nan sepi. Jalan yang lebarnya hanya setapak kaki. Jalan
kampung yang di kiri kanannya ditumbuhi rumput liar. Rerumputan yang dapat
menggaret meninggalkan gatal bila tak awas saat melangkah. Jalan setapak yang
membimbing menuntunku ke jalan besar beraspal.
Di ujung gang jalan
setapak yang kulalui itu terbentang jalan raya utama. Jalan yang selalu dilalui
kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Kendaraan bermotor ataupun tidak.
Jalanan masih lengang. Baru satu dua kendaraan yang melintas ketika itu.
Aku mengayunkan kaki
ringan dengan suasana hati yang riang. Aku malangkah sambil bersiul kecil
melodikan nada-nada suka yang biasa kudendangkan. Nada-nada tembang nostalgia
yang karib terdengar di telinga pendengar kala itu.
Kira-kira lima meter di
depanku ada seekor anjing putih keabuan. Perawakannya lumayan besar. Ia sedang
meringkuk melingkarkan badan di atas aspal di tepi jalan. Nampaknya ia sedang
menikmati mimpi indahnya. Barangkali ia sedang bermimpi tentang sang kekasih.
Entah!
Ia meringkukkan badan
sambil menanti senyum mentari yang akan membawa cahaya kehangatan. Ia sedang
berjemur di serat-serat cahaya surya yang makin lama makin terang. Semua
tenang. Semua nyaman. Nyaman baginya. Nyaman bagiku.
Aku terus melangkah
ringan nan riang dengan siul melodi merdu. Tanpa ada pikiran dan firasat yang
mengganggu. Terus bersiul mengembuskan nada sukacita. Makin lama langkahku kian
mendekati si putih keabuan. Ia masih terus menikmati udara segar dan hangat
sinar mentari.
Masing-masing kami, aku
dan dia melakukan apa yang menjadi kesukaan kami. Ia tidur meringkuk meletakkan
kepala di kaki belakang yang membuat badannya bulat. Sedangkan aku terus
melangkah lurus menuju sekolah menatap masa depan.
Karena ia sedang nyenyak
aku membiarkannya. Tak mengusik. Tak menjaili. Tak mengusili. Aku melangkah
melewatinya dari sisi yang lebih lebar aspalnya. Sebab kalau di sisi sebaliknya
ada got menganga. Aku takut kepeleset.
Takut kecebur.
Aku melangkah
memindahkan kaki kananku di samping atas kepalanya. Tiba-tiba ia menahan laju
langkahku. Ia menangkap menancapkan gigi kokohnya di pergelangan kakiku. Kaki
kananku. Aduh, semoga tak seburuk
yang kupikir. Benar!
Setelah memberi kejutan
dengan perbuatan tercela itu ia lepaskan gigitan. Ia balik meletakkan kepalanya
rileks di aspal. Ia tidur kembali tanpa menghiraukanku yang sedang kaget
kesakitan. Rasanya perih. Ia kembali bermimpi. Aku teruskan langkah dengan
tertatih.
Kejam kali anjing ini. Seandainya ia ada di
pihakku ia akan menyumpahi perbuatan tadi. Tapi sudahlah. Dia hanyalah anjing. Anjing
tak pernah merasa bersalah walau dia sering membuat masalah. Makanya dia tak
minta maaf. Biarlah aku yang memaafkan.
Aku hanya mengurut dada sambil menyalahkan diri sendiri. Kenapa aku harus berjalan di dekatnya? Seketika itupun aku bersumpah berikrar dalam hati. Aku berjanji untuk tidak mendekati binatang tak berperasaan itu di manapun kapanpun.
Comments
Post a Comment