KELAS SATU MELULU

Seperti sudah kuceritakan sebelumnya bahwa sejak berusia kurang dari empat tahun aku telah mengenal bangku sekolah. Walaupun itu sifatnya masih ikut-ikutan. Hanya bermain-main sesukaku. Tidak serius belajar dan tidak selalu di ruang kelas yang sama.

Tetapi memasuki usia mendekati lima tahun aku mulai belajar serius. Aku sudah menetap di ruang kelas satu hingga usai jam pelajaran. Aku mulai bisa berkonsentrasi pada apa yang sedang disajikan. Pada semua diajarkan oleh guru.

Ditambah pula bukan Papa lagi yang mengajar di kelas satu. Jadi aku harus taat dan patuh pada sang guru. Aku sudah lupa entah ibu guru atau pak guru yang mengasuh kami pada saat itu. Yang pasti bukan Papaku.

Secara pribadi aku telah mempunyai peralatan tulis-menulis sendiri. Waktu itu tidak ada buku cetak. Hanya ‘buku’ catatan. Itupun terbuat dari batu. Cuma satu lempengan batu tempatku menulis. Satu lagi berbentuk ramping, lonjong dan lancip sebagai ‘pensil’nya.

Semua mata pelajaran ditulis di situ. Karena Cuma satu ‘buku’ tulisnya maka cepat menjadi penuh. Itu sebabnya sebelum mengganti topik atau mata pelajaran, catatan yang ada harus dihapus terlebih dahulu.

Cara menghapusnya cukup dengan memercikkan sedikit air lalu dilap. Siap lagi untuk ditulisi. Kami selalu dan pasti membawa air di botol-botol kecil bekas obat atau di botol plastik. Masing-masing anak harus membawa airnya sendiri. Maksudnya agar selalu tersedia ‘penghapusnya.’

Aku tergolong pandai. Semua pelajaran dapat kucerna dengan baik dan cepat. Dan selalu lebih dahulu selesai dibanding anak lainnya dalam hal mengerjakan soal dari sang guru. Nilaiku selalu unggul. Angka minimal yang kuperoleh adalah delapan.

Tidak ada PR (pekerjaan rumah). Apa yang kami pelajari selesai dalam kelas. Tapi itu hanya berlaku bagi anak yang lain. Tidak bagiku. Di sekolah aku belajar dengan guru kelasku. Di rumah dengan Papa.

Beliau, Papaku selalu menerapkan program remedial. Ini dia lakukan demi terus mengasah ketajaman nalarku berpikir. Seingatku yang kupelajari waktu itu hanya calistung. Baca. Tulis. Hitung. Tidak ada yang lain.

Aku tidak nakal. Tidak pernah membolos, apalagi alpa. Nilai mantap. Namun anehnya aku tidak pernah naik kelas. Terus di kelas satu. Heran. Tanda Tanya besar dalam benakku. Tapi aku tak punya nyali untuk bertanya, baik pada guruku maupun Papa.

Aku berusaha menemukan jawabannya namun nihil. Semakin kuat usahaku menemukan jawabannya semakin tak ada jawaban yang kudapat. Tapi aku tak putus asa. Aku terus mengamati segala gejala yang timbul di sekolah.

Pada suatu hari saat jam istirahat, aku hanya duduk di ruang kelas. Entah lagi malas, entah sakit. Anak-anak yang lain sedang berlarian ke sana ke mari penuh riang. Ada yang bermain di halaman. Bahkan ada yang lari-lari di loteng. Kok, bisa?

Kerangka gedung sekolah kami pada waktu itu terbuat dari kayu atau balok yang besar dan kokoh. Dindingnya terbuat dari bebak yaitu pelepah daun gewang yang disatukan. Tidak ada plafon atau langit-langit sehingga anak-anak bisa memanjat ke loteng. Bahkan dapat berlari-lari kian ke mari meniti di balok-balok itu.

Suasana ini bagai suatu mujizat yang mengilhamiku. Situasi yang akan mengungkap misteri ketertinggalanku di kelas satu. Aku memperhatikan secara saksama dan teliti. Kulihat semua tindak tanduk dan gerak-gerik setiap siswa yang berlarian itu.

Tentang tinggal kelas kelak setelah aku besar baru Papa memberitahukan bahwa itu adalah permintaannya. Dia minta agar aku tidak dinaikkan ke kelas berikut (dua). Itu dilakukannya berhubung dengan faktor usiaku yang masih terlalu dini.

Sekalipun demikian biarkan kulanjutkan cerita ini hingga tuntas. Biar kawan tahu bagaimana aku berjuang mengejar ketertinggalanku. Biar tuan-tuan dan puan-puan pembaca bisa mengikuti jejak si anak yaitu aku dalam memecahkan persoalannya. Ya, misteriku.

Berikut lanjutan ceritanya!   

Melihat anak-anak lain berlarian di loteng nalarku menganalisis dan menyimpulkan: “Mungkin aku tak naik kelas karena aku tak pernah naik ke loteng di atas sana.” Aku termenung. Aku bermenung memikirkan. Argumentasi ini berlarian di pikiran.

Dada terasa perih dan sakit. Sakitnya tuh di sini! Demikian penggalan sebuah lirik lagu yang pernah kondang beberapa waktu lalu. Ia menunjukkan betapa sakit yang menusuk jantung. Itulah yang kurasakan. Itu yang kualami. Apa boleh buat!

Kutengok diriku. “Kamu terlalu kecil dan sangat lemah untuk melakukan itu.” Hati kecilku mengingatkan dalam monowicara. Ya, sudahlah. Semua telah berakhir. Semua telah lewat. Aku tak dapat mengubah situasinya lagi. Itu telah menjadi kenangan. Aku membatin dalam lirih nan pedih.

Akulah yang harus berubah. Aku harus memaksa diri demi meraih apa yang seharusnya kuperoleh. Aku harus mengejar apa yang semestinya menjadi milikku. Kutuntut diriku betul-betul. Tak ada pilihan lain. Tekatku kuat dan bulat untuk itu.


Comments

Popular posts from this blog

TEACHER

BERIRING

AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU