KAMU KELUAR DULU
Aku menjadi siswa kelas
satu sesungguhnya pada tahun sembilan belas tujuh satu. Aku terdaftar sebagai
salah seorang pelajar di Sekolah Dasar Inpres Raknamo. Ini adalah tempat tugas
Papa yang baru setelah dipindahkan dari Sekolah Dasar Negeri Besle’u.
Selama masa belajar di
sekolah ini aku tak menemui hambatan yang berarti. Itu disebabkan karena aku
telah menguasai materi kelas satu dengan khatam. Aku sudah belajar dari Papa
saat membuat buku ajar. Dan juga aku telah belajar serius di sekolah ketika
masih di Noekele.
Karenanya aku melewati
masa belajar di kelas satu tanpa masalah. Aku selalu terdepan. Naik kelas
dengan predikat terbaik. Nilaiku terpaut jauh dengan semua temanku. Bahkan
selisih nilai dengan pesaing terdekatku pun bag jurang yang menganga lebar.
Kenaikan ke jenjang
berikut yaitu ke kelas dua dan tiga terasa mulus saja. Aku selalu menjadi yang
terbaik di kelas. Karena alasan itu maka ketika duduk di kelas tiga aku hanya
sempat belajar selama tiga bulan.
Selanjutnya aku didorong
dinaikkan ke kelas empat. Selain aku ada juga siswa lain mendapat kehormatan
serupa yaitu Wilhelmina Ndoki. Hanya kami berdua memiliki kualifakasi lompat
kelas. Semacam naik percobaan begitu. Artinya bila mengalami kendala maka harus
kembali ke kelas tiga lagi.
Di kelas empat Papa yang
mengajar kami. Hari itu adalah pelajaran berhitung. Sebuah pelajaran yang
ngeri-ngeri sedap. Ngeri bila tak mampu menyelesaikan persoalannya. Sebaliknya
sedap bila menguasai rumus dan penerapannya dengan baik teliti.
Hari itu benar-benar
neraka bagi penduduk kelas empat. Hari yang menyakitkan. Persoalannya kami sekelas,
entah kenapa tidak konsen pada pelajaran. Hampir semua pertanyaan tidak bisa
kami jawab. Boss marah. Emosi meluap
tidak terbendung. Tidak tertahankan. Tak terkendali.
Kemarahan Papa sedang
memuncak menghadapi kebebalan kami. Tangannya semakin ‘gatal’ untuk mencambuk.
Pada saat-saat kritis itu bel istirahat berbunyi. Orang Inggris bilang: We were saved by the bell. Kami semua
terselamatkan. Semua senang. Girang.
Tapi bel itu merusak
rasa Papa. Saking emosinya ia
meletakkan rotan yang ada di tangannya ke atas meja guru dengan setengah
melempar. Sesudah itu ia berbalik dan meninggalkan kami semua tanpa sepatah kata.
Kami diberi kesempatan beristirahat untuk menenangkan hati dan pikiran.
Satu per satu kami
keluar ruangan dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Diam seribu bahasa.
Kami seperti pesakitan yang lunglai ketakutan berjalan di hadapan aparat yang
mengawasi. Satu-satu beriring merunduk menuju tempat tertentu.
Setelah menghirup udara
segar di luar baru kami saling berbicara. Maksudnya saling minta tolong untuk
mencabuti sisa-sisa serat bambu. Serpihan serat yang tertinggal tertancap di
kulit badan.
Rasanya perih dan ngilu
tak terperi. Merinding saat serat-serat itu dicabut. Badan bergaret merah
kehitaman saling silang bekas ‘parkir’ bambu. Rotan bambu yang terlecut pecut
dari tangan kekar Papa.
Dengan beristirahat Papa
berharap kami bisa berpikir segar, jernih dan baik. Sehingga apa yang kami
pelajari tadi bisa membekas di otak. Dengan demikian ia dapat melanjutkan ke
topik bahasan berikut dengan leluasa tanpa sendat.
Tapi apa lacur nasi
sudah jadi bubur. Selama istirahat kami hanya sibuk membersihkan badan dari
‘kotoran’ serat bambu. Kami tidak mengulangi apa yang diajarkan tadi. Semua
berbaris satu banjar ke dalam kelas dengan pikiran karut marut. Otak kosong.
Kami kembali menempati
bangku-bangku di kelas tanpa konsep. Tidak ada persiapan yang matang baik. Yang
ada di kepala kami hanyalah bayangan rotan bambu yang mengerikan. Pelajaran
tidak menyangkut di kepala sedikit pun. Nihil.
Emosi Papa tidak semakin
mereda. Malah sebaliknya terus meluap dan meninggi. Terutama terhadap mereka
yang sama sekali tidak bisa menjawab. Aku termasuk satu di antara beberapa siswa
yang terbebas dari rotan setelah mengaso
di luar.
Welhelmina Ndoki, teman perempuan
yang naik kelas percobaan denganku menjadi korban. Ia menjadi tumbal keganasan
Papa. Sangat mengenaskan. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Papa sampai
beberapa kali kesempatan.
Anak perempuan berpostur
tinggi yang menurut perkiraanku terjangkung se sekolahan ini kena damprat. Ia
tak berkutik. Ia dibentak dan dihardik dengan keras. Ia hanya menjalankan
perintah Papa.
“Kamu keluar dulu. Nanti
kalau sudah ingat, masuk lagi,” kata Papa setengah berteriak setelah ia sendiri
bosan dan capek memukulnya. Ia, Welhelmina temanku ini keluar. Tapi bukan
sebentar. Ia langsung pulang rumah. Dan sampai kami lulus sekolah dasar, ia
tidak muncul. Bahkan baunyapun tak tercium. Sungguh
tragis! Sadis!
Akhirnya yang berhasil
lulus hanya kurang lebih enam orang. Yang pasti tidak sampai sepuluh. Banyak murid
yang ketika belajar di kelas enam keluar. Alasannya macam-macam. Ada yang
keluar karena trauma. Malas. Kawin. Dan lain sebagainya.
Yang jelas bukan alasan
uang sekolah. Karena selama kami belajar di sekolah dasar itu, setahuku, semua
siswa bebas SPP. Sekolah gratis. Orangtua siswa tidak dimintai biaya. Tidak ada
pemungutan biaya apapun.
Aku lulus dengan
predikat terbaik. Peringkat satu. Lumayan. Hitung-hitung untuk menambah modal
percaya diri di jenjang berikutnya.
Comments
Post a Comment