WELCOME NYORA

Witeng tresno jalaran soko kulino. Pepatah Jawa ini mempunyai arti cinta itu timbul karena terbiasa. Yaitu terbiasa dengan sering bertemu. Sering bertatap muka. Juga terbiasa dengan sering berkomunikasi.

Dengan kata lain, walaupun tidak suka. Tidak cinta. Tetapi kalau sering bertemu dan bercakap-cakap lama-kelamaan benih cinta itu akan tumbuh. Benih-benih suka dan cinta akan terus berkembang.

Yang aku rasakan justru lebih. Karena pada dasarnya aku suka. Seperti bunyi ungkapan dalam bahasa Inggris: I was head over heels in love with her. Aku mabok kepayang. Ditambah lagi, kami sering bertemu. Maka ibarat api yang tadinya cuma sejilatan akhirnya menjadi berkobar.

Frekwensi pertemuan yang paling sering adalah di kampus. Kami sering bertemu dan mengobrol di kantin atau taman di sekitar kampus atau perpustakaan. Dalam setiap pertemuan kami tidak hanya ngobrol.

Kami juga tak jarang menyelesaikan tugas kuliah bersama-sama. Buktinya, kami lulus dan wisuda pada hari dan tanggal yang sama. Yaitu hari Sabtu tanggal dua puluh tujuh Februari delapan delapan.

Semakin hari pertemuan-pertemuan itu makin melebar. Bukan hanya di kampus tetapi juga di rumahnya. Aku mulai berani berkunjung ke kediamannya. Aku memperkenalkan diri kepada orangtuanya. Sekaligus aku ingin memproklamirkan diri sebagai ‘pemilik perusahaan.’

Kunjunganku yang pertama terjadi pada tanggal sebelas Januari Sembilan belas delapan empat. Tanggal itu kami tetapkan sebagai tanggal resmi kami berpacaran. Sebaiknya tidak kupakai kata pacaran dengan menjalin pertemanan penuh kasih.

Pada kunjungan itu aku menyatakan isi hatiku sesungguhnya kepadanya. Sembari berharap ia mau menerima aku sebagai pacarnya. Yang aku ingat dia tidak langsung menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menunjukkan dengan perlakuan dan perhatian. Kami menjalin memadu kasih selama kurang lebih lima tahun.

Kami pun akhirnya mengikat janji suci pada tahun delapan sembilan. Tepatnya pada hari Jumat tanggal tujuh Juli. Welcome Nyora. Nyora adalah sebutan hormat kepada perempuan yang telah bersuami di kampungku.

Biasanya dengan menambah marga di belakang kata itu. Misalnya: Nyora Djami. Nyora sama dengan nyonya. Nyora cenderung disematkan hanya kepada mereka (ibu-ibu) yang mempunyai status sosial di atas rata-rata – kalau segan dibilang tinggi. Seperti: guru, pendeta/ulama atau pejabat pemerintahan. 

Pelayanan pemberkatan nikah dipimpin oleh Pendeta Johanes Takain yang biasa dikenal dengan Pdt. John Takain. Ia berasal dari Oekabiti, kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, NTT.

Sebelum pemberkatan, kami menandatangani surat nikah (akte pernikahan) terlebih dahulu. Penandatanganan ini disaksikan oleh pegawai catatan sipil (pihak pemerintah), pihak gereja dan wali dari pihak kami berdua.

Setelah upacara di gereja kami makan bersama di rumah Om Yos Rona di daerah Cempaka Putih. Om Yos Rona yang bertindak selaku waliku waktu meminang dan waktu menikah. Ia adalah salah seorang Penginjil.

Pestanya hanya begitu. Tepatnya, kumpul-kumpul bersama keluarga. Tidak di restaurant terkenal dan mahal. Tanpa musik. Cukup dengan masakan sederhan yang disediakan oleh keluarga Rona.

Dan yang lebih hebat dan dahsyat lagi adalah tanpa tenda besar. Hanya di ruang tamu yang kira-kira berukuran empat kali lima meter persegi. Mungkin kurang dari itu. Ya, lumayanlah untuk merayakan pesta pernikahan kami.

Bulan maduku cukup di Tambun saja. Di Bekasi. Di rumah mertua. Tidak ada perjalanan ke luar daerah. Misalnya ke Bali atau ke tempat-tempat wisata terkenal lainnya. Apalagi ke luar negeri.

Kenapa? Karena aku tak mempunyai uang ekstra untuk itu. Sehingga tidak mungkin kami merancang sebuah pesta pernikahan yang mewah. Atau berbulan madu ke tempat-tempat yang menyenangkan seperti yang kusebut.

Itu sebabnya aku berharap dan berdoa kiranya Tuhan memberi kami umur panjang sampai kakek-nenek. Dan kiranya kami dapat merayakan hari ulang tahun emas (50 tahun) pernikahan kami. Ya, semoga!


Comments

Popular posts from this blog

TIDAK PAKE JUDUL

POIRHAQIE de KRISSIEN

TERKONDISI SEBAGAI ORANG SISA-SISA