TEMAN
“A friend in need is a friend indeed.”
Begitu bunyi pepatah Inggris yang kira-kira kalau diterjemahkan bebas berarti:
teman sejati adalah teman yang siap menolong di kala pertolongan itu sangat
kita butuhkan. Itulah yang aku alami saat aku sangat membutuhkan pertolongan
dan uluran tangan orang lain.
Suatu
ketika aku berteman dengan seseorang yang cukup baik menurut pandangan dan
penilaianku. Pada waktu itu, dia memanggilku lalu aku menghampiri dan
menyapanya dengan santun. Kami pun berkenalan.
Kemudian
sebagai tanda persahabatan, dengan senyum keramahan, dia memberiku sesuatu.
Sesuatu yang sangat aku butuhkan. Aku tidak menolak. Aku menerimanya dengan
senang hati. Dia senang. Dia lega karena aku menerima pemberiannya dengan
sangat antusias dan penuh semangat.
Saat
itu yang ada dalam pikiranku adalah dia baik. Baik sekali. Aku jarang bertemu
orang seperti ini. Itulah yang terlintas di otakku. Itulah penilaianku.
Penilaian yang apa adanya. Penilaian yang mungkin tidak dimiliki oleh siapa
pun.
Karena
aku menilai menurut apa yang aku lihat. Aku menilai seseorang tidak berdasarkan
intuisi atau istilah ilmiah lain yang memusingkan menurut orang-orang yang
bersekolah tinggi.
Pokoknya,
kalau aku diperlakukan baik pada pertemuan pertama berarti dia baik untuk
seterusnya. Begitulah cara berpikirku. Cara berpikir yang – menurut orang lain
– polos dan jujur.
Singkat
cerita, dia menjadi sahabatku yang baik dan aku pun menjadi temannya yang penuh
perhatian – yang kata orang gedean –
berdedikasi. Ya, aku berusaha melakukan segala sesuatu sesuai posisiku.
Demikian
sebaliknya dia. Semacam ‘take and give.’
Aku diperlakukan layaknya saudara sendiri oleh temanku ini. Aku boleh dengan
bebas bermain, makan dan tidur di rumahnya.
Sesungguhnya
aku dapat menjadi teman baik. Sebagaimana yang lainnya, maka bila aku
diperlakukan dengan ramah dan penuh kasih sayang, aku akan membalasnya juga
dengan lemah lembut. Sebaliknya bila diperlakukan dengan kasar, aku akan sangat
menyesali perbuatan itu.
Aku akan memprotes
dengan berteriak sekeras-kerasnya
sambil berlari ke sana ke mari. Seperti mahasiswa jaman sekarang yang berdemonstrasi dengan cara turun
ke jalan-jalan. Aku akan
melampiaskan emosiku yang sedang meluap.
Memang
begitulah temperamenku. Kata orang tua, itu bawaan sejak lahir. Itu karakter
yang sulit aku hilangkan. Bahkan tidak mungkin dilakukan oleh siapa pun juga. Termasuk orangtuaku sendiri
tak mampu mengubahnya.
Aku
sungguh-sungguh merasa tersanjung dan boleh dikatakan sangat dimanjakan
olehnya. Akupun membalas kebaikannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
dapat aku lakukan sebatas kemampuanku. Dan aku didukung sepenuhnya. Aku
dipercaya penuh dalam melaksanakan tugas yang harus kuemban.
Sebenarnya,
aku bukan tipe pekerja keras, tetapi juga bukan pemalas. Artinya aku bekerja
tetapi tidak segiat orang lain. Namun apabila keadaan darurat, mendesak dan
menuntut untuk kulakukan, maka aku akan bekerja lebih giat. Bahkan lebih giat
dua kali lipat dari yang dilakukan orang lain.
Aku
tidak perduli siang atau malam, hujan atau panas, aku akan melakukannya sampai
tuntas. Itulah sebabnya, terkadang aku menggunakan kesempatan untuk molor sepuas-puasnya, kalau tidak ada
pekerjaan yang harus kuselesaikan. Dan juga bila temanku tidak berada di rumah.
Mengetahui
keadaanku yang demikian – suka molor
– temanku mulai berlaku agak kurang enak.
Ia mulai dingin dan cenderung kasar padaku. Aku mencoba untuk
bertahan sembari merenung dan introspeksi.
Aku
bertanya pada diri sendiri. Adakah kesalahan besar yang telah kuperbuat yang tidak terampuni? Tidak
bisakah dia bicara padaku secara fair,
terbuka dan bersifat kekeluargaan? Bukankah aku telah dianggapnya sebagai
keluarga sendiri?
Aku
tidak menemukan jawaban. Aku berusaha dan berusaha lagi. Aku menguras
daya pikirku yang pas-pasan ini untuk menganalisis dan mencari pemecahannya.
Tetapi semakin aku berpikir, kian bertambah buntu rasanya.
Sebaliknya,
temanku ini semakin tidak mempedulikan diriku. Dia bahkan membiarkan keadaan ini menjadi lebih buruk lagi.
Lagaknya bak malaikat yang suci, tanpa cacat tanpa dosa.
Karena
tidak ada jalan keluar yang memuaskan yang bisa kutempuh, akhirnya aku banting
stir. Aku yang tadinya penurut, polos dan jujur, kini aku mulai mengarah kepada
sikap kurang ajar.
Aku
mulai belajar membalas sikap kasarnya secara tidak langsung. Aku tidak langsung
menghantam orangnya, tetapi apa yang berharga yang dia miliki. Aku mulai
memanfaatkan fasilitas yang ada.
Bahkan
tidak jarang aku mulai belajar mengambil barang milik temanku ini tanpa
seizinnya. Aku mulai nakal. Aku mulai mencuri. Segala apa yang menjadi
kesukaannya yang merupakan kebanggaan bagi dirinya kuhancurkan. Kuhabiskan.
Keadaan
ini dibiarkan oleh temanku begitu saja. Entah dia sengaja, entah tidak peduli.
Entahlah! Aku tidak tahu. Atau mungkin dia ingin meyakinkan dirinya bahwa
barangnya yang hilang bukan karena dicuri.
Ya, bukan dicuri tetapi mungkin terselip
atau kelupaan di suatu tempat tertentu. Begitu seterusnya setiap kali dia
kehilangan
sesuatu. Sampai akhirnya suatu ketika yang sangat memalukan.
“Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya
jatuh juga.” Demikian kata pepatah. Begitu pulalah aku. Aku telah berusaha untuk menutupi segala kelakuanku
yang buruk itu dengan sikap yang manis.
Aku telah berusaha
sekuat tenaga untuk tidak diketahui oleh temanku ini tentang perlakuanku yang
tidak senonoh itu. Tapi apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Aku
tertangkap basah ketika sedang beraksi.
Maka,
bukan alang kepalang marahnya dia padaku. Aku diomeli habis-habisan.
Aku dicaci. Aku diperlakukan dengan kasar sekali. Aku dipukuli, ditendang dan
seterusnya. Aku tidak menolak. Aku pasrah. Aku memang bersalah.
Dasar
aku keras kepala. Tidak tahu malu. Berkarakter sangat buruk. Sulit diperbaiki.
Aku ulangi lagi perbuatan itu berkali dan berulang kali. Aku diomeli lagi.
Dicaci lagi. Ditendang lagi. Dan begitu terus.
Pada
puncaknya ketika aku melakukan perbuatan burukku untuk yang ke sekian kalinya,
temanku sudah tidak sanggup mengatai aku lagi dengan kata-kata. Lalu dengan
setengah berteriak dia memanggilku.
“Greggy,
ke mari.”
Dengan
sikap gentle aku datang mendekat. Walau dengan
perasaan tak menentu dan tubuh yang agak gemetar aku datang.
Aku diam. Aku membisu.
Tanpa sepatah pun. Bergumam pun tidak. Bahkan nyaris tak bernapas.
Aku
pasrah. Aku siap menerima
apa yang bakal terjadi. Bencana apa yang akan melanda diriku? Apa yang akan di
lakukan terhadap diriku? Pikiranku terus mereka-reka apa yang bakal terjadi.
Setelah tepat berada di depannya.
“Ini.”
Wajahnya merah padam dan mata melotot karena amarah yang memuncak. Lalu dengan
sikap dingin dan kasar dia menyodorkan makanan padaku.
“Makan! Setelah itu
terserah kamu.” Katanya
membentak sambil membalikkan badan lalu pergi. Aku merasa geli mendengar
kata-katanya kendati suasana batinku tegang.
“Kayak iklan aja,” celetukku dalam hati.
Walau
dengan rasa menyesal yang teramat sangat, aku habiskan juga kedua potong roti
itu. Yang aku rasakan roti itu manis dan harum baunya. Harumnya sungguh
menggoda siapa saja yang berada di sekitar situ.
Rasanya
benar-benar selangit. Kulibas habis tanpa malu. Setelah habis baru aku sadar. Aku diberi
minuman keras. Aku diracuni.
Oleh
karena aku bukanlah pemabuk, bahkan sebelumnya, seumur hidupku, aku tidak
pernah mencicipi. Aku tak pernah
menenggak minuman beralkohol, barang haram itu. Maka sedikit demi sedikit,
perlahan namun
pasti, tubuhku mulai merasakan pengaruh reaksi benda asing ini.
Berangsur-angsur
kepalaku terasa pening. Mata terasa berat. Pandangan mulai kabur. Otot dan persendian terasa lemas. Berdiri tak
kokoh. Goyang. Jalan tidak lurus dan tidak stabil.
Aku
mencoba berkonsentrasi mengumpulkan kekuatanku yang masih tersisa untuk
berjalan. Tapi
semakin kuat usahaku, semakin sempoyongan jalanku. Lalu mulai miring dan akhirnya aku jatuh
terkulai.
Aku
tidak sadarkan diri. Dalam keadaan terkapar yang sangat memprihatinkan itu,
temanku datang sambil tertawa.
Ia terbahak-bahak sembari menudingku dan berkata dengan
sinis nan sadis.
“Rasain! Gua bikin mabok lu.
Dasar anjing, tetap aja anjing. Dibaikin malah ngelunjak.”
Setelah
terbangun sadar, aku mengambil posisi duduk dan berdiam sejenak. Aku menarik
napas dalam dan berdiri. Sambil mengelus dada, aku pergi meninggalkan rumahnya.
Aku mengayun langkah seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Aku seolah tak percaya akan apa yang baru kualami. Aku
berjalan dengan rasa putus asa dan tak berharga. Aku
pergi tanpa tujuan.
Telingaku
mendengar kata-kata ini meluncur begitu saja. Kata-kata
yang menghambur dari mulutku
yang berbau alkohol
ini: “Temanku sayang, temanku curang. Kau garang.”
Glodok, 19 Maret 1992
Ceritanya mengalir tp kl yg mabok2 kok gmn gt
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca. Terima kasih pula atas komentarnya. Masih Belajar!
DeleteCerita yang mengispirasi ... smg kt berteman sejati
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Nani sudah membaca. Amin!
Deletebahasanya enak dibaca, renyah gurih gitu loh… keren
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Arum untuk pujiannya. Gb!
Delete